Senin, 20 Oktober 2008

sdm perpustakaan kurang diberdayakan


Sebagai pusat sumber belajar yang kini kian bertumbuh pesat, perpustakaan masih dinilai belum dikelola secara profesional karena ternyata tidak diikuti perkembangan SDM-nya. Banyak perpustakaan, baik itu perpustakaan umum atau perpustakaan perguruan tinggi, yang dipimpin oleh mereka yang bukan dari kalangan perpustakaan, atau paling sedikit yang mempunyai pengalaman sebagai pustakawan.
Termasuk di dalamnya adalah para pejabat atau petugas di bawahnya. Indikatornya a.l. meski sejumlah perguruan tinggi telah meluluskan sarjana perpustakaan, namun fakta menunjukkan bahwa SDM yang muncul masih belum sesuai dengan harapan. Tentu yang dimaksud dengan SDM tersebut adalah mereka yang menguasai bidang ilmu perpustakaan dan memiliki pengalaman bekerja di perpustakaan.
Sebagaimana terungkap dari data yang dimiliki Perpustakaan Nasional, jumlah pustakawan saat ini hanya sekitar 2,600 orang (yang berstatus PNS). Dari sekian banyak pustakawan itu, yang menyandang gelar pustakawan utama (golongan IV/d – IV/e) hanya 12 orang atau 0.46%. Pustakawan madya baru (IV/a – IV/c) 190 orang atau 7.24%, sedangkan lainnya berjumlah 2,421 orang atau 92.3%.
Demikian sekilas paparan oleh Lasa Hs, Pustakawan Utama di Universitas Gadjah Mada, pada Rapat Koordinasi Perpustakaan se DI Jogjakarta yang digelar oleh Badan Perpustakaan Daerah DIY, Rabu 13 Februari 2008, di Hotel Roos Inn. Kenyataan ini tentu saja tidak sejalan dengan apa yang diamanatkan oleh Undang-undang no. 43/2007 tentang perpustakaan. Bisa saja para pengambil keputusan berdalih bahwa peraturan itu masih baru dan belum sepenuhnya disosialisasikan secara nasional, tapi informasi tentang berbagai aspek teknis kepustakawanan yang harus diikuti sudah disebarluaskan oleh Perpustakaan Nasional jauh sebelum terbitnya undang-undang tersebut.
Hal ini diungkap oleh Kepala Perpustakaan Nasional Dady Rachmananta dalam ceramahnya mengenai kebijakan pengembangan perpustakaan. Rakor yang dibuka oleh Sekretaris Daerah DIY Tri Harjun Ismaji menampilkan narasumber Setyoso dan Bayudono, selain Lasa Hs dan Dady Rachmananta, dan dimoderatori oleh Azharuddin.
Peserta sidang terdiri dari para kepala perpustakaan umum kabupaten/kota se-DIY disertai beberapa pejabat terkait di jajaran masing-masing.
Sesuai predikatnya sebagai lembaga layanan publik, perpustakaan (umum) dituntut untuk memenuhi aneka kegiatan yang tertuang dalam tugas pokok dan fungsinya, lanjutnya. Tapi survei membuktikan bahwa di berbagai perpustakaan kualitas layanannya belum maksimal karena sering terbentur minimnya pengetahuan teknis petugasnya, kurang memadainya anggaran operasional dan sarana yang tidak memenuhi standar. Kondisi ini diperparah lagi dengan diangkatnya banyak pejabat pemerintah yang tidak mempunyai latar belakang pendidikan perpustakaan atau belum pernah mengenal seluk beluk perpustakaan, tapi dipaksakan menjadi pimpinan di lembaga itu. Hal ini merupakan konsekuensi dari pengisian jabatan yang asal-asalan karena hanya didasari pertimbangan pemerataan, hutang budi, atau pertemanan.

beda pustakawan guru dengan guru pustakawan

Menurutku nich, kalo pustakawan guru adalah pustakawan yang mampu menjadi seorang guru. dalam arti dia mampu mengajar, melatih dan mendidik anak didiknya.terus kalo guru pustakawan, ya yang selama ini terjadi di dunia pendidikan.
Guru pustakawan lebih kepada guru yang diberi tugas sampingan “mengurus” perpustakaan. itu saja. tidak lebih.kalo keduanya berbeda, lantas apakah yang perlu diperhatikan untuk menjadikan pustakawan guru ato guru pustakawan bisa mengerjakan tugasnya dengan benar dan asik? hayo…siapa yang dapat menjawabnya?apakah selamanya pustakawan tidak akan “mendapat tempat” di sekolah? ato apakah selamanya guru akan berprofesi ganda sebagai pustakawan? ayo kita hapus itu semua. dengan usaha untuk menjadikan pustakawan sebagai sebenar-benarnya pustakawan dan guru sebagai sebener-benarnya guru.