Jumat, 11 November 2011

MANAJEMEN KEARSIPAN: E-MAIL SEBAGAI ALAT BUKTI


Tahun 1971 adalah tahun bersejarah dalam perkembangan dunia internet, karena pada tahun itu e-mail pertama dikirim. Ray Tomlinson penemu email berbasis internet akhir tahun 1971 di ARPAnet. Dia lahir 1941, Amsterdam, New York adalah seorang Insinyur Komputer dan bekerja sebagai insinyur komputer untuk Bolt Beranek dan Newman (BBN), perusahaan yang disewa oleh Departemen Pertahanan Amerika Serikat untuk membangun internet yang pertama pada tahun 1968.
Di dalam artikel Computerworld tahun 1996, pertama kalinya pengiriman e-mail dilakukan oleh postal mail in the U.S (David O. Stephens). Sampai saat ini email sudah menjadi alat komunikasi populer digunakan di seluruh belahan dunia. Masalah yang muncul dari e-mail adalah bagaimana menjamin kelestarian keaslian isi data atau informasi yang ada didalamnya mengingat medium eletronik sangat rentan terhadap terjadinya perubahan-perubahan yang tidak dapat terdeteksi.
Dengan kata lain perubahan-perubahan yang terjadi pada e-mail sering hampir tidak meninggalkan jejak. Keadaan ini tentu saja akan mengundang kontroversi-kontroversi baru dalam dunia manajemen kearsipan jika tidak dipikirkan usaha-usaha yang maksimal untuk menjaga agar keotentikan isi pada e-mail dapat dilestarikan atau dipertahankan sebagai fungsinya agar ia dapat diakui sebagai alat bukti yang sah.
Pengertian E-mail dan Fungsinya
Banyak definisi yang dikemukakan mengenai apa yang dimaksud dengan e-mail. Definisi yang dikemukakan oleh Sulistyo-Basuki bahwa e-mail (electronic mail) dalam bahasa Indonesia surat elektronik adalah perangkat lunak yang memungkinkan seorang pemakai mengirim berita atau surat dari sebuah computer via jaringan komunikasi ke computer lainnya, local maupun internasional. Setiap pemakai e-mail memiliki alamat yang unik. Dilanjutkan menurut Jay Kennedy dan Cherryl Schauder (1998:23) yang mengatakan bahwa e-mail dikatakan sebagai arsip elektronik adalah arsip yang terekam dalam bentuk digital yang disimpan dalam media computer baik magnetic maupun optic.
Dalam pengertian ini keberadaan arsip diperlukan demi terlaksananya aktivitas lembaga yang efisien dan efektif. Pengertian arsip elektronik tertuang juga dalam Undang-Undang No. 43 tahun 2009 tentang Kearsipan bahwa Arsip adalah rekaman kegiatan atau peristiwa dalam berbagai bentuk dan media sesuai dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang dibuat dan diterima oleh lembaga negara, pemerintahan daerah, lembaga pendidikan, perusahaan, organisasi politik, organisasi kemasyarakatan, dan perseorangan dalam pelaksanaan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Lebih rinci lagi tertuang dalam Undang-Undang No. 11 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) Pasal 1 bahwa informasi elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, Electronic Data Interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, telex, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.
Arsip elektronik juga dapat dijadikan sebagai alat bukti yang sah di pengadilan sebagaimana tertuang dalam Pasal 5, Undang-Undang No. 11 terkecuali :
1. Surat yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk tertulis
2. Surat beserta dokumennya yang menurut Undang-Undang harus dibuat akta notariil atau akta yang dibuat pejabat pembuat akta.
Dalam Pasal 6 ditegaskan kembali bahwa informasi elektronik dan atau dokumen elektronik dianggap sah sepanjang informasi yang tercantum didalamnya dapat diakses, ditampilkan, dijamin keutuhannya dan dapat dipertanggungjawabkan sehingga menerangkan suatu keadaaan.
Masalah Sekitar Arsip Elektronik
Ketidak seragaman dalam menyikapi pengakuan arsip elektronik sebagai alat bukti terjadi di dunia. Beberapa negara telah mengkui keabsahan dokumen elektronik sebagai alat bukti sah. Sementara beberapa negara lainnya bersikap ambivalen atau bahkan tidak mengakuinya.
Swedia dan Jerman sebagai dua contoh yang saling bertolak belakang. Swedia hampir 30 tahun lalu telah mengakui keabsahan arsip rekod sebagai alat bukti. Cepatnya pengakuan ini disebabkan bahwa Swedia telah mempunyai sistem manajemen arsip berbasis kertas yang sangat baik. Dengan disiplin tinggi, penuh tanggung jawab dan konsisten organisasi di Swedia menjalankan sistem manajemen arsip mereka. Tradisi dan kultur dalam mengolah arsip yang baik ini memudahkan bagi Arsip Nasional Swedia untuk cepat menyatakan arsip elektronik sebagai alat pembuktian yang sah.
Sementara pengadilan-pengadilan di Jerman masih merasakan keraguan untuk mengakui arsip elektronik sebagai alat pembuktian. Alasan adanya manipulasi yang erat kaitannya dengan teknologi informasi itu sendiri yang memang dapat dimanipulasi kiranya mungkin dapat disusuri dari kemampuan orang Jerman dalam menguasai teknologi tinggi. Dan diantara mereka mungkin saja banyak yang menggunakan keterampilan penguasaan teknologinya untuk maksud-maksud yang tidak baik.
Untuk di Indonesia Fuad Gani berpendapat bahwa pengakuan arsip elektronik pada awalnya akan didasarkan pada kasus per kasus. Artinya ketika rekanan bisnis atau pengadilan mengetahui dan mengakui bahwa sistem manjemen arsip yang dimiliki oleh organisasi yang bersangkutan sudah baik dan dijalankan dengan penuh tanggung jawab, disiplin dan konsisten, maka tidak ada keraguan untuk mengakui arsip elektronik sebagai alat bukti yang sah.
Functional Requirements
Di dalam bab 6, Managing Electronic Mail, David Bearman menuliskan statement “how to manage electronic mail as a record.” Untuk menjawab ini, konsep records continuum oleh para pakar kearsipan dunia dianggap paling ideal yang mampu memecahkan problem arsip elektronik. Konsep records continuum yang dijabarkan dalam Standards Australia, AS4390-1996, Australian Standard: Records Management dijadikan sebagai landasan ISO 15489 yakni standar internasional bidang arsip dinamis.
International Standard untuk Records Management (ISO 15489) menyediakan bimbingan (best practice) bagaimana dokumen harus diatur untuk memastikan dokumen tersebut adalah asli, dapat dipercaya, lengkap, tak berubah dan yang dapat dipakai. Organisasi yang tidak menggunakan suatu sistem manajemen dokumen elektronik akan mengambil resiko hilangnya bukti kunci dari aktivitas bisnis mereka, dengan demikian menghasilkan suatu ketiadaan memori (perseroan/perusahaan), pemborosan, ketidakcakapan dan suatu ketidak mampuan untuk memenuhi akuntabilitas, tanggung-jawab dan persyaratan legislative.
Dengan sistem E-Record Management (ERM) sebagai Functional Requirements for Electronic Records Management Systems sangat membantu pihak pengelola arsip elektronik untuk dapat mengelola dokumen dengan baik secara efektif dan efisien, baik dalam hal penyimpanan, pengolahan, pendistribusian, dan perawatan dokumen. Sistem Manajemen E-Record Management (ERM) adalah sebuah sistem yang mampu memelihara integritas serta keaslian arsip.
Pengarsipan dokumen elektronik perlu dikelola secara elektronik untuk mendapatkan manfaat yang maksimal, antara lain :
1. Pengumpulan informasi yang lebih baik, konsisten dan mudah dicari kembali;
2. Memudahkan penggunaan dokumen secara bersama antar unit organisasi dalam lembaga pemerintah; memudahkan penyusunan informasi organisasi secara terstruktur;
3. Memudahkan pengambilan keputusan yang lebih cepat dan akurat;
4. Meningkatkan kualitas layanan publik;
5. Mengelola informasi sebagai suatu aset yang tum-buh dan berkembang;
6. Lebih responsif pada perubahan.
Jadwal Retensi Arsip Elektronik
Petunjuk teknis dan pedoman mengenai penyusutan arsip, mengacu kepada surat edaran Kepala Lembaga Arsip Nasional Republik Indonesia, No. SE/01/1981 tentang Penanganan Arsip Inaktif Sebagai Pelaksanaan Ketentuan Peralihan Peraturan Pemerintah Tentang Penyusutan Arsip.
Dokumen elektronik yang perlu disimpan dan dipelihara dalam jangka waktu yang lama harus memperhatikan kepastian aksesibilitas dokumen tersebut. Ketentuan tersebut mencakup langkah-langkah pemindaian (scanning) dokumen asli (spesifikasi, format file, metadata), pemeliharaan (dokumentasi, duplikasi, dan penyegaran media), serta keberlanjutan keberadaannya.
Arsip elektronik yang disimpan dalam media optik (CD-ROM, DVD, dan sebagainya), pemusnahan dilakukan dengan cara menghancurkan media penyimpanan secara fisik. Pemusnahan hendaknya dilakukan secara total, termasuk pemusnahan duplikat yang disimpan dalam media backup, maupun tempat penyimpanan lainnya.
Sebuah dokumen harus memiliki sifat sebagai sesuatu yang utuh dan akurat yang harus memiliki tiga karakteristik utama yaitu:
1. Konten
Merupakan informasi yang membangun sebuah dokumen yang dapat berupa kata-kata, gambar, simbol, dan sebagainya.
2. Konteks
Lingkungan di luar konten yang turut serta dalam pembuatan, penerimaan, serta penggunaan sebuah dokumen yaitu lingkungan organisasi, fungsional, dan operasional.
3. Struktur
Format fisik dan logika sebuah dokumen serta hubungan antar elemen di dalamnya.
Ke-3 syarat ini dalam dunia maya direpresentasikan dengan metadata yang mengandung unsur ”evidence”-nya, konteksnya sebagai bukti transaksi.
Ketiga karakteristik ini dapat ditandai secara digital. Salah satunya adalah watermarking, yakni suatu metode untuk membubuhkan tanda pada dokumen elektronik dalam rangka menjaga otentikasi, integritas, dan validasi tanpa mengubah bentuk ataupun isi dokumen yang bersangkutan, sehingga masih memiliki nilai legal sebagai sebuah dokumen pemerintahan.
Otentik berarti bahwa arsip elektronik yang diterima adalah dari asal yang benar. Untuk melakukan otentikasi sebuah recod, instansi pemerintah harus menetapkan dan mengimplementasikan kebijaksanaan-kebijaksanaan dan prosedur-prosedur yang mengontrol pembuatan, pengiriman, penerimaan, dan pemeliharaan record, untuk memastikan bahwa pihak pembuat record diberi otorisasi dan diindetifikasi, serta melindungi recod dari perubahan-perubahan oleh pihak yang tidak memiliki otoritas. Sebuah arsip elektronik memiliki integritas jika isinya tidak pernah dirubah, dihapus, serta memiliki akurasi dan waktu berlaku yang valid.
(Dikutip dari berbagai sumber)

BERBAGI SUMBER DAYA (RESOURCE SHARING)


Di ringkas Oleh:
Yusri Fahmi (0906587382)
Mufid (0906587432)


Menurut American Library Association (ALA), resource sharing adalah :
“activities engaged in jointly by a group of libraries for the purposes of improving services and/or cutting cost. Resource sharing may be established by informal or formal agreement or by contract and may operate locally, nationally, or internationally. The resources shared may be collections, bibliographic data, personnel, planning activities, etc.”[1]
Sedangkan menurut Online Dictionary for Library and Information Science (ODLIS), resource sharing adalah :
“The activities that result from an agreement, formal or informal, among a group of libraries (usually a consortium or network) to share collections, data, facilities, personnel, etc., for the benefit of their users and to reduce the expense of collection development.[2]
Dari dua pengertian di atas, kita dapat memahami bahwa resource sharing adalah kegiatan-kegiatan yang dilakukan secara bersama-sama oleh sekelompok perpustakaan yang tergabung dalam sebuah konsorsium atau jaringan yang bertujuan untuk meningkatkan layanan dan mengurangi biaya pengembangan koleksi. Resource sharing tersebut dapat dilakukan dengan kesepakatan formal maupun informal yang diterapkan secara lokal, nasional, ataupun internasional. Sedangkan sumber daya yang di-share tersebut dapat berupa koleksi, data bibliografis, pegawai, dan fasilitas.
Dalam kaitannya dengan isu resource sharing tersebut, pada bab 15 ini pembahasan akan difokuskan pada empat konsep penting sebagai berikut :
1. Cooperative collection development (pengembangan koleksi bersama)
Sebuah mekanisme dimana dua atau beberapa perpustakaan sepakat bahwa setiap perpustakaan akan bertanggung jawab pada pengumpulan koleksi bidang-bidang tertentu dan perpustakaan tersebut akan bersedia saling tukar-menukar koleksi-koleksi tersebut dengan perpustakaan lain tanpa biaya. (Model Farmington/Scandia).
2. Coordinated acquisitions (pengadaan yang terkoordinasi)
Sebuah mekanisme dimana dua atau beberapa perpustakaan sepakat untuk membeli bahan pustaka-bahan pustaka tertentu dan atau menanggung biaya-biaya bersama dan dua atau beberapa anggota menyimpan bahan pustaka tersebut. (Model LACAP/CRL).
3. Joint acquisition (pengadaan bersama).
Sebuah mekanisme dimana dua atau beberapa perpustakaan mengadakan pemesanan bersama terhadap suatu produk atau jasa, dan setiap perpustakaan menerima produk atau jasa tersebut, seperti kesepakatan untuk membeli atau berlangganan pangkalan data elektronik (termasuk misalnya VIVA – the Virtual Library of Virginia http://www.viva.lib.va.us).
4. Shared collection information (informasi koleksi bersama).
Sebuah sistem yang mana anggota menggunakan informasi dalam sebuah pangkalan data bersama tentang koleksi perpustakaan untuk mempengaruhi keputusan-keputusan seleksi atau pengadaan mereka.
Ke-empat konsep tersebut di atas dapat mendorong kepada resource sharing diantara anggota-anggota yang tergabung dalam sebuah konsorsium atau jaringan perpustakaan. Konsep yang terakhir adalah relatif baru dan melibatkan perjanjian kerjasama temporer untuk menghubungkan OPAC dan mempunyai beberapa bentuk sistem pengantar dokumen untuk mempercepat proses pinjam antar perpustakaan (Inter library loan).
Sindrom sesuatu yang tidak ada gunanya
Sistem pengembangan koleksi bersama perpustakaan yang sesungguhnya berjalan pada seperangkat asumsi yang seharusnya diperhatikan dengan sungguh-sungguh. Mungkin asumsi yang paling penting adalah bahwa semua peserta dalam sebuah sistem adalah sama-sama efisien dalam kegiatan pengembangan koleksi mereka. Tidak ada seorangpun yang menganggap bahwa setiap anggota akan menerima manfaat yang sama atau menyumbangkan bahan pustaka dengan volume yang sama.
Setiap perpustakaan berharap bahwa perpustakaan tersebut akan menjadi satu-satunya yang akan menerima lebih banyak daripada yang diberikan perpustakaan tersebut terhadap sistem dalam sebuah jaringan perpustakaan. Jika sebuah perpustakaan masuk pada sebuah program kerja sama dengan membawa pemikiran tentang sesuatu yang tidak ada faedahnya, maka harapan keberhasilan adalah sedikit.
Apa yang dapat diperoleh melalui kerjasama?
Paling tidak terdapat enam manfaat umum yang muncul dari usaha-usaha kerjasama perpustakaan. Pertama, potensial terhadap peningkatan akses. Peningkatan akses dalam pengertian ketersediaan bahan-bahan dalam cakupan yang lebih besar atau kedalaman bidang subyek yang lebih baik. Kedua, kerjasama memungkinkan untuk merentangkan sumber daya yang terbatas. Terlalu sering orang-orang memandang kerjasama sebagai sarana yang dapat menghemat uang. Padahal sebenarnya, kerjasama tidak menghemat uang untuk sebuah perpustakaan. Jika dua atau beberapa perpustakaan menggabungkan usaha-usaha mereka, maka mereka tidak akan menghabiskan sedikit uang; sebuah program kerjasama yang efektif sekedar membagi pekerjaan dan saling berbagi hasil. Ketiga, adanya kerjasama perpustakaan dapat mendorong spesialisasi staf lebih besar. Seorang staf dapat memusatkan pikirannya pada satu atau dua kegiatan ketimbang lima atau enan kegiatan sehingga diharapkan nantinya menghasilkan kinerja yang secara umum menjadi lebih baik. Secara alami, kinerja yang lebih baik seharusnya mendorong pada pelayanan yang lebih baik dan dengan demikian kepuasan pelanggan lebih besar. Keempat, manfaat selanjutnya adalah mengurangi duplikasi bahan pustaka. Pengurangan tersebut dapat berupa pekerjaan yang dilakukan atau bahan-bahan pustaka yang dibeli tetapi para perencana seharusnya mempelajari seberapa banyak duplikasi yang dapat mereka hapuskan sebelum merancang kesepakatan formal. Kelima, program kerjasama antar perpustakaan dapat mengurangi jumlah tempat yang perlu dikunjungi oleh pengguna untuk mendapatkan layanan atau jasa. Dengan adanya jaringan OPAC, sekarang pengguna dapat diarahkan kepada sumber-sumber informasi yang lebih tepat dan lebih baik. Terakhir, manfaat kerjasama antar perpustakaan adalah peningkatan dan atau perbaikan dalam hubungan kerja antara perpustakaan-perpustakaan yang tergabung dalam kerjasama tersebut terutama pada sistem yang multitipe. Orang dapat mendapatkan perspektif yang lebih baik tentang permasalahan orang lain sebagai hasil dari kerja bersama atas permasalahan bersama.
Isu-isu resource sharing
Ada beberapa isu yang terkait dengan resource sharing. Isu-isu tersebut adalah sebagai berikut :
1. Isu institusional
Isu institisional merupakan faktor kunci baik pada kegiatan awal maupun pada kegiatan yang dilakukan terus menerus.
2. Isu “manusia”
Isu “manusia” berhubungan dengan isu-isu institusional, yakni staf dan pengguna perpustakaan. Pengguna menginginkan perpustakaan dapat memenuhi semua kebutuhan mereka, meskipun ketika mereka mengetahui bahwa hal itu tidak mungkin terjadi. Staf perpustakaan juga enggan untuk membuang pemikiran local self-sufficiency (merasa sudah cukup dengan koleksi yang ada). Selain itu, mereka takut kehilangan otonomi ketika tiba pada saat keputusan-keputusan seleksi.
3. Lembaga akreditasi
Lembaga akreditasi mempunyai pengaruh terhadap proyek-proyek resource sharing. Misalnya, Western Association of Schools and Colleges (WASC) memasukkan pernyataan berikut ini dalam standarnya :
6.B.1 Koleksi dasar yang diadakan oleh institusi adalah cukup dalam hal kualitas untuk memenuhi secara substansial semua kebutuhan program pendidikan di dalam dan di luar kampus.
6.B.2 Pinjam antar perpustakaan atau kesepakatan penggunaan berdasarkan perjanjian dapat digunakan untuk melengkapi koleksi dasar tetapi tidak untuk digunakan sebagai sumber utama sumber daya pembelajaran.
Meskipun pernyataan tersebut tidak menghalangi upaya membangun koleksi kooperatif, pernyataan tersebut secara pasti menambah sebuah lapisan kompleksitas lain pada sebuah isu yang sudah kompleks.
4. Faktor administrasi dan Undang-undang.
Faktor adminstrasi dan undang-undang menciptakan tantangan teoritis dan praktis bagi resource sharing. Supaya efektif, program-program kerjasama perlu lebih dari hanya sekedar persoalan lokal saja. Namun demikian, perluasan program kerjasama di luar wilayah lokal biasanya berarti mengabaikan batas-batas yurisdiksi/wilayah. Semakin luas kerjasama tersebut maka semakin cepat pula kompleksitas itu muncul.
5. Akses secara fisik
Akses secara fisik kadang-kadang dapat menjadi sebuah masalah kecil bagi orang-orang yang terlibat dalam resource sharing. Hak-hak peminjaman timbal-balik seringkali dikemukan untuk program-program berbagi setingkat lokal saja. Hal ini dapat berjalan lancar ketika terdapat ruang pengguna yang memadai pada semua perpustakaan peserta. Sejauh “law of least effort” tidak menjadi sebuah faktor yang terlalu besar, maka “law of least effort” tersebut dapat menjadi sebuah pendekatan yang efektif. Namun, terdapat contoh-contoh dimana perpustakaan yang memiliki koleksi yang sangat kuat menjadi kewalahan dengan pengguna. Beberapa perpustakaan swasta mempunyai batasan-batasan tentang siapa yang secara fisik dapat menggunakan fasilitas-fasilitas perpustakaan tersebut.
6. Teknologi
Teknologi mempunyai dampak terhadap pengembangan koleksi kooperatif dan resource sharing. Terdapat banyak alasan mengapa pengembangan koleksi kooperatif yang sesungguhnya tidak pernah berhasil dalam jangka waktu panjang dan pada skala luas. Salah satu alasannya adalah tidak memiliki informasi up to date tentang apa yang tersedia dimana dan ketersediaanya. Alasan lain adalah lambatnya layanan pengiriman bahan pustaka dalam pinjam antar perpustakaan. Keberadaan teknologi telah memungkinkan informasi dengan mudah diketahui sehingga dengan begitu akses dapat lebih cepat diberikan kepada pengguna.
Apa Saja Yang Harus Dihindari Saat Membangun Program Berbagi Sumber Daya (Resource Sharing).
Dalam rangka membangun program kerja sama berbagi sumberdaya (resource sharing) yang sukses, maka perlu menghindari tujuh hal sebagai berikut:
Ø Hindari berpikir tentang kerja sama tersebut sebagai “pelengkap” dan “add-on”, sebaliknya, pertimbangkan kerja sama tersebut sebagai sesuatu yang tidak mungkin tanpa dilakukan.
Ø Miliki perencana yang mencurahkan waktunya menyusun rincian operasional
Ø Sadari bahwa sistem tersebut seharusnya menyebabkan perubahan operasional yang utama di perpustakaan-perpustakaan anggota.
Ø Hindari berpikir tentang sistem tersebut sebagai sistem yang menyediakan perpustakaan dengan mendapatkan sesuatu yang cuma-cuma.
Ø Miliki dana kerja sama dan operasional yang ditangani oleh suatu lembaga independen.
Ø Sadari bahwa kerja sama tersebut butuh waktu, kehati-hatian, komunikasi yang sempurna, dan satu atau dua orang yang mengambil peran kepemimpinan dengan pemahaman yang sabar demi keberhasilan suatu proyek tersebut.
Ø Ingat bahwa, di atas segalanya, membentuk kerja sama adalah sebuah prosess politik.
Walaupun hal ini merupakan hal yang kompleks, namun poin-poin tersebut menjadi contoh alasan umum program berbagi sumber daya yang tidak mudah untuk dilaksanakan.
Beberapa model berbagi sumber daya telah bereksperimen selama bertahun-tahun, dengan berbagai macam tingkat keberhasilan. Hal ini sebagian besar disebabkan oleh faktor-faktor yang disebutkan di atas. Pedoman ALA tersebut mengidentifikasi tujuh model untuk pengembangan koleksi bersama: the Farmington Plan, the National Program for Acquisitions and Cataloging (NPAC) system, the Library of Congress System, the Center for research Libraries model, the mosaic overlay of collection development policies, the status quo, dan the combined self interest models. Masing-masing memberikan pedoman yang berharga bagi perpustakaan yang mempertimbangkan suatu program berbagi sumber daya.
Farmington Plan, disebutkan sebelumnya, merupakan upaya berani, tapi tidak berhasil. Yaitu suatu upaya perpustakaan penelitian besar Amerika untuk memiliki satu salinan dari setiap pekerjaan penelitian yang baru diterbitkan tersedia beberapa tempat di Amerika Serikat. Setelah bertahun-tahun usaha tersebut dilakukan, kemudian usaha itu ditinggalkan pada 1970-an. Farmington Plan tersebut awalnya diserahi tanggung jawab pengadaan atas dasar kepentingan lembaga. Dalam dua puluh tahun, kepentingan-kepentingan tersebut berubah, tetapi tujuan tetap satu salinan. Masalah lain adalah bahwa beberapa bidang tertentu dari bahan pustaka tersebut tidak menjadi perhatian / minat utama bagi lembaga yang lain. Kepentingan nasional yang ada untuk menjamin cakupan, namun masalahnya adalah memutuskan lembaga yang mana yang harus memiliki tanggung jawab untuk membeli bahan penelitian tersebut. Sebuah penelitian mengenai mengapa Farmington Plan gagal memberikan data yang tak ternilai untuk usaha kerja sama masa depan. Dalam analisis akhir, kegagalannya sebagai akibat dari tidak menghindari perangkap yang dibahas sebelumnya.
Contoh di Eropa adalah Scandia Plan, diterapkan di negara-negara Skandinavia, yang mengalami masalah-masalah serupa. Rencana ini tidak pernah mencapai tingkat aktifitas yang sama seperti Farmington Plan, terutama karena masalah kebutuhan yang berubah dan penugasan tanggung jawab.
Sistem NPAC adalah upaya lain pada jumlah perolehan bahan penelitian dari luar Amerika Serikat dan memastikan bahwa katalog data akan tersedia untuk bahan penelitian tersebut. (Katalogisasi adalah salah satu hambatan bagi Farmington Plan). The Library of Congress (LC) adalah titik fokus di NPAC, tapi ada konsultasi dengan perpustakaan penelitian lain di Amerika Serikat tentang subyek-subyek apa yang akan dimasukkan ke dalam program tersebut. No. 480 Hukum Publik merupakan elemen dari program NPAC di mana LC "diberi wewenang oleh Kongres untuk memperoleh buku-buku luar negeri dengan menggunakan mata uang asing milik AS yang tidak dapat diuangkan menurut ketentuan Undang-Undang". Sekali lagi, LC bertanggung jawab untuk mengoperasikan program tersebut, termasuk mengkatalog dan mendistribusikan bahan pustaka tersebut ke perpustakaan akademik. No. 480 Hukum Publik adalah bukan berkenaan suatu proyek kerja sama pengembangan koleksi, tetapi adalah berkenaan suatu program pengadaan dan katalogisasi yang terpusat.
Suatu yang terkait dengan program kerjasama pengadaan yang juga gagal adalah the Latin American Cooperative Acquisition Plan (LACAP). LACAP adalah usaha komersial yang dirancang untuk berbagi biaya dan masalah pengadaan jumlah bahan penelitian, secara teratur, dari negara-negara Amerika Latin. Meskipun sebagian perpustakaan penelitian Amerika Serikat masih mengumpulkan secara besar-besaran dari Amerika Latin, mereka tidak bisa mempertahankan program tersebut. Tiga faktor memainkan peran penting dalam kematian LACAP. Pertama, sebagian besar dari apa yang diperoleh perpustakaan adalah bahan pustaka yang penggunaannya rendah. Pendanaan yang ketat menyebabkan pilihan sulit, dan bahan pustaka yang penggunaannya rendah selalu menjadi pilihan utama untuk pemotongan. Kedua, rencana pengadaan tersebut dimulai pada periode ketika banyak lembaga mengembangkan program wilayah studi, dan ada harapan bahwa hal ini akan menjadi bidang yang berkembang. Kondisi ekonomi berubah; lembaga menghentikan perencanaan untuk program-program baru dan sering memotong beberapa program yang terakhir ditetapkan. Akibatnya, sedikit lembaga yang tertarik untuk berpartisipasi dalam LACAP. Akhirnya, perdagangan buku di banyak negara Amerika Latin jatuh tempo, dan itu tidak lagi sulit untuk menemukan dealer lokal yang handal. Jika seseorang dapat membeli langsung dan handal dengan biaya lebih rendah, maka masuk akal untuk membeli bahan yang paling mungkin dengan dana yang tersedia.
Pedoman ALA menggambarkan sistem LC sebagai "variasi Farmington Plan". Secara umum, adalah sistem terpusat (dikoordinasikan) di mana perpustakaan nasional dan perpustakaan penelitian di suatu negara bekerja bersama untuk memastikan bahwa setidaknya satu salinan dari semua bahan penelitian yang relevan tersedia.
Dua dari program kerja sama yang paling berhasil adalah the Center for Research Libraries (CRL) di Amerika Serikat dan the British Library Document Supply Service (dahulu British National Lending Division atau BLD). Salah satu alasan bagi kesuksesan mereka adalah bahwa mereka beroperasi sebagai lembaga independen. Tujuan mereka adalah untuk melayani berbagai kelompok perpustakaan anggota; pada intinya, mereka tidak memiliki konstituen lokal untuk dilayani. Perbedaan utama lainnya untuk CRL adalah bahwa tidak ada usaha untuk mendapatkan bahan pustaka yang penggunaannya tinggi. Dengan tidak adanya populasi layanan lokal, sumber daya fiskal bisa digunakan untuk pengadaan bahan pustaka penelitian yang penggunaanya rendah untuk perpustakaan anggota.
CRL tidak berhadapan dengan sebagian keputusan penting terkait dengan kebijakan koleksi. Isu pertama adalah kebijakan seharusnya membangun koleksi selektif berbasis luas, dengan banyak subyek dan bidang, atau kebijakan itu seharusnya berusaha menjadi koleksi komprehensif di beberapa bidang. Isu kedua berhubungan dengan kebutuhan untuk sumber tunggal berkala yang penggunaannya rendah (konsep “National Periodicals Center") dan peran apa yang harus dimainkan CRL. Bagaimana dengan masa depan? Seseorang akan berharap bahwa pusat tersebut akan terus berkembang sebagai pemegang bahan pustaka yang unik. Dengan sistem pengiriman (delivery system) yang lebih baik, memungkinkan perpustakaan dapat memasok bahan pustaka yang penggunannya rendah cukup cepat dari CRL dan membolehkan pengunjung mengenal tentang sistem tersebut, yang akan memungkinkan mengurangi duplikasi bahan pustaka yang penggunaannya rendah.
Model "lapisan mosaik tentang kebijakan pengembangan koleksi" (Mosaic overlay of collection development policies”) adalah apa yang dilakukan oleh RLG conspectus dan ARL National Collection Inventory Project (NCIP). Tujuan mereka adalah untuk menjamin cakupan nasional; untuk mengidentifikasi kesenjangan koleksi secara nasional; untuk memberikan dasar bagi setiap perpustakaan yang bertanggungjawab terhadap pengumpulan (primary collecting responsibility, atau PCR), untuk membantu dalam mengarahkan sarjana kepada koleksi yang kuat, untuk membuat dasar secara konsisten bagi kebijakan pengembangan koleksi, untuk berfungsi sebagai perangkat komunikasi yang mengisyaratkan perubahan dalam kegiatan koleksi, untuk memberikan link antara kebijakan koleksi, pengolahan dan preservasi; untuk memberikan alat penggalangan dana, dan akhirnya, untuk merangsang minat, dan mendukung program kerja sama. Melalui upaya NCIP dan RLG yang akan menghasilkan sederet daftar tujuan jangka panjang, hanya waktu yang akan memberitahu, tetapi pada tahun 2004 tampaknya sangat tidak mungkin. Produk akhir akan menjadi penilaian kekuatan koleksi di hampir 7000 kategori subyek dengan perpustakaan yang berpartisipasi, memberikan setiap kategori subjek yang sesuai nilai dari 0 sampai 5. Ketika itu dilakukan, kita akan tahu mana perpustakaan yang berpikir bahwa mereka memiliki koleksi yang kuat atau lemah di masing-masing bidang, tetapi kami tidak akan tahu persis apa yang ada di masing-masing koleksi. Penilaian tersebut akan mengidentifikasi kesenjangan dan akan berguna untuk tujuan rujukan, dan mungkin untuk ILL jika perpustakaan tersebut online dan pencarian informasi dapat menggunakan database tersebut. Kemungkinan masing-masing dari 200 atau lebih perpustakaan penelitian (estimasi calon peserta) menerima bagiannya atas 5000 PCR potensial, sekitar 25 PCR masing-masing, adalah grand. Akankah itu terjadi? Ini akan menjadi indah jika hal itu dilakukan, namun, hal itu belum terjadi.
Pembelian Bersama (Shared Purchases)
Contoh pembagian sumber daya pada skala yang lebih terbatas adalah program akses dan koleksi bersama (Shared Collection and Access Program) sistem perpustakaan Universitas California Perpustakaan. Program ini memiliki sejarah pembelian bersama selama dua puluh tahun. Ketika diinisiasi sebagai " Program Pembelian Bersama ", tujuannya adalah:
Untuk mengadakan bahan pustaka, karena biaya tinggi (atau frekuensi penggunaannya diantisipasi), harus dibagi di antara kampus tanpa duplikasi yang tidak perlu. Program ini juga telah dilembagakan untuk mengurangi persaingan, dan untuk mempromosikan berbagi naskah dan koleksi area subyek di antara berbagai kampus dari Universitas California. Stanford University adalah anggota penuh dari program tersebut. Namun demikian, dana negara tidak akan digunakan untuk memperoleh bahan pustaka bertempat di Stanford (kecuali untuk indeks yang diperlukan). Bahan pustaka yang diperoleh dengan dana bersama harus dibagi di antara kampus baik seluruh negara bagian atau secara regional (Utara dan Selatan).
Setiap pengadaan bahan pustaka, perpustakaan kampus dapat merekomendasikan bahan pustaka kepada panitia / komite, dan keanggotaan komite selalu dirotasi sehingga setiap kampus memiliki perwakilan dari waktu ke waktu.
Menghimpun dana untuk pembelian kelompok biasanya merupakan masalah yang kompleks ketika melintasi garis yurisdiksi. Salah satu program yang paling sukses pembelian bersama adalah bahwa dari CLR. Perpustakaan membayar biaya keanggotaan untuk menjadi anggota CLR, dan sebagian biaya yang masuk ke dana untuk memperoleh bahan pustaka yang disimpan di fasilitas CLR. Hal ini untuk menghindari salah satu masalah dalam pembelian bersama—bahan pustaka apa yang mungkin akan sangat bermanfaat.
Untuk tingkat tertentu orang bisa mempertimbangkan berbagai proyek konsorsium untuk menyewa sumber daya elektronik sebagai bentuk pembelian bersama. Hal ini kurang valid ketika seseorang melihat pada database, tetapi sudah ada pembelian consortial buku elektronik (e-book) di perpustakaan anggota yang setuju untuk satu paket judul. Dalam satu kasus, Statewide California Electronic Library Consortium’s (SCELC) membeli buku elektronik berjalan dengan baik untuk paket awal, tetapi pada pembelian koleksi telah terbukti bermasalah seperti pembelian kerja sama buku cetak.
Proyek Lokal dan Internasional
Los Angeles memiliki sejumlah perpustakaan dengan koleksi teologi yang mendukung satu atau lebih program sarjana. Tak satu pun dari perpustakaan yang mampu secara finansial, dan anggaran pengadaan gabungan akan mampu memenuhi kebutuhan seluruh pengguna. Tentu saja, ada kepentingan dalam kegiatan kerja sama di tingkat direktur. Dengan demikian, ada cukup dukungan kelembagaan dan perpustakaan untuk paling tidak mengeksplorasi usaha kerja sama. Hal ini masih terlalu dini untuk mengetahui berapa banyak, jika ada, dari hambatan lembaga yang spesifik akan muncul.
Karena semua sekolah adalah lembaga swasta yang seharusnya tidak menemui hambatan hukum. Karena proyek masih dalam tahap what-if, adalah tidak diketahui hambatan administratif apa yang mungkin muncul. Namun, nampaknya hambatan administrasi bisa segera diselesaikan.
Pada tahun 1999, 23 perpustakaan teologi yang menggunakan EBSCO sebagai agen serial sepakat untuk memiliki perusahaan yang menghasilkan daftar induk langganan serial. Daftar ini bersifat komprehensif, bukan hanya judul teologi dan filsafat, sehingga memiliki pengetahuan yang cukup baik dari hasil kerja sama serial tersebut. Tentu, ada beberapa judul urutan langsung yang tidak muncul di daftar. Kita bisa menggunakan daftar ini sebagai titik awal untuk pengembangan koleksi serial bersama. Kita telah menyetujui meng-update daftar setiap tahunnya. Ini tidak bisa dilakukan lima belas tahun lalu tanpa pengeluaran uang dalam jumlah besar. Langkah berikutnya akan menyetujui bahwa setiap judul teologi atau filsafat yang diselenggarakan oleh hanya salah satu dari kami tidak akan dibatalkan tanpa terlebih dahulu berkonsultasi dengan perpustakaan lain.
Sebagian besar dari kita memiliki mesin faks, dan bagi mereka yang tidak ada, investasi beberapa ratus dolar akan menyediakan jaringan faks perpustakaan bidang teologi Los Angeles. Dengan asumsi bahwa perpustakaan menyetujui untuk memberikan layanan faks prioritas anggota perpustakaan ILL untuk artikel teologi atau filsafat, mereka akan mencapai suatu jasa pengiriman dokumen (document delivery service) jurnal yang harus memenuhi sebagian besar konsumen.
Sebagian besar perpustakaan memiliki OPACs. Untuk biaya yang relatif sederhana, masing-masing bisa memberikan akses dial-in, setidaknya oleh staf perpustakaan anggota. Akses ini akan memungkinkan perpustakaan untuk berbagi informasi koleksi monograf yang dimiliki masing-masing perpustakaan. Tentu saja, itu akan ideal jika memiliki OPAC induk, namun tidak realistis untuk saat ini. Pastinya harus dial ke sepuluh atau lebih OPACs individu untuk menentukan apakah perpustakaan memiliki judul yang diinginkan yang akan memakan waktu lama. Namun demikian, akan terlihat bahwa pendekatan seperti itu akan memberikan pelayanan yang lebih baik daripada yang disediakan oleh perpustakaan sekarang. Bahkan tanpa masuk ke dalam perjanjian pembelian subjek formal, pendekatan ini akan memungkinkan perpustakaan untuk membuat beberapa keputusan seleksi atas dasar pengetahuan orang yand ada di daerah setempat. Beberapa perpustakaan memiliki sistem otomatisasi yang mencerminkan informasi tentang bahan pustaka pada urutan OPAC tersebut. Hal ini akan memberikan data tambahan untuk selektor, jika semua perpustakaan bisa setuju untuk mengaktifkan seperti kemampuan dalam sistem mereka.
Kurangnya katalog induk akan membuat lebih sulit bagi perpustakaan bidang teologi Los Angeles untuk menentukan kekuatan, kelemahan, dan yang sangat penting tentang adanya tumpang tindih. Salah satu pilihan yang ada untuk memecahkan masalah ini, untuk perpustakaan yang menggunakan OCLC, adalah dengan menggunakan layanan analisis koleksi (Collection Analysis service) yang kita bahas dalam bab terakhir. Kekurangan utama dalam peer group yang memiliki judul. Namun demikian, bisa menjadi alat yang berguna jika proyek tersebut terus berjalan. (Ini merupakan proyek yang masih didiskusikan sebagaimana saat buku ini ditulis. Jangka waktu yang panjang untuk mempertimbangkan proyek tersebut maka tidak masuk akal proyek tersebut akan sukses).
Dengan demikian, kita memiliki banyak unsur yang dibutuhkan untuk membuat program pengembangan koleksi bersama (cooperative collection-building program):
Ø Kepentingan manajerial;
Ø Kepentingan kelembagaan (tidak diketahuinya tentang kekuatan);
Ø Daftar induk serial;
Ø OPACs;
Ø Alat pengukuran (assessment) koleksi;
Ø Kemampuan pengiriman dokumen;
Ø Kemampuan faks;
Ø Layanan kurir dan
Ø Terbatasnya wilayah layanan geografis
Mengapa begitu lama, jika semua ini positif ada? Kurangnya pengetahuan dan orang yang harus disalahkan. Kami belum berkembang cukup jauh dalam pemikiran kita untuk tahu persis apa yang kita lakukan dan tidak tahu apa yang perlu dilakukan. Hal ini diragukan bahwa banyak diantara kita memiliki data banyak tentang pola penggunaan koleksi kami. Kita mungkin akan sangat ditekan untuk menghasilkan data yang banyak tentang koleksi inti kami, jauh lebih sedikit bahan pustaka penelitian kami yang penggunaannya rendah dan tinggi. Tidak adanya biaya yang dianggarkan. Dengan demikian, kurangnya pengetahuan, waktu dan anggaran untuk mengumpulkan informasi adalah hambatan serius.
Namun demikian, kekhawatiran orang akan menimbulkan masalah utama. Resistensi pelanggan akan sangat sulit untuk diatasi. Beberapa tahun yang lalu, penulis senior mendekati seorang anggota komite perpustakaan fakultas LMU yang berada di departemen teologi tentang proyek ini. Ia diberi keterangan singkat tentang poin-poin penting yang disajikan kepada rekan-rekan departemen pada pertemuan akhir tahun akademik. Laporannya pada hasil diskusi itu menyedihkan. fakultas mengatakan bahwa mereka akan lebih memilih koleksi biasa-biasa saja di semua bidang di LMU, koleksi non kurikulum atau mata pelajaran dari pada memiliki kekuatan besar di bidang-bidang tertentu sementara untuk kedalaman koleksi tergantung pada perpustakaan lain. Jika fakultas lain menanggapi dengan cara yang sama, apalagi jika didukung penuh staf perpustakaan, maka akan sulit untuk mendapatkan proyek tersebut. Apakah ini akan berhasil? Ini akan bergantung pada seberapa banyak kita ingin bekerja dan seberapa baik kita memasarkan ide untuk pelanggan dan otoritas pendanaan kita.
Setiap profesional informasi mengetahui ada jalan panjang dalam mencapai tujuan tersebut walaupun di negara-negara dengan sistem perpustakaan dan ekonomi yang kuat, apalagi di negara-negara berkembang. Maka perlu melihat ke arah satu usaha sangat kompleks untuk melaksanakan proyek tersebut—the UNESCO Universal Availability of Publications (UAP) program. Sebagaimana yang dikatakan oleh Maurice Line,
"Salah satu alasan utama mengapa situasi berkaitan dengan UAP begitu memuaskan adalah ketersediaan dengan pendekatan secara berangsur-angsur; aspek-aspek tertentu seperti pengadaan dan pinjam antar perpustakaan (interlending) telah ditangani oleh perpustakaan individu atau kelompok perpustakaan, tapi pendekatan secara berangsur-angsur ini tidak terkoordinasi yang dapat benar-benar membuat hal-hal buruk ...... UAP akhirnya harus bergantung pada kegiatan masing-masing negara. "
UAP adalah program yang sangat ambisius yang dirancang untuk membuat pengetahuan terpublikasikan, apapun bentuknya yang diproduksi, tersedia untuk setiap orang setiap kali ia menginginkannya. Sejak perumusannya, UAP telah mengalami beberapa perubahan signifikan, terutama dalam hal sumber daya elektronik. Pada awal 1980-an, beberapa orang memiliki suatu ide bagus tentang isi informasi yang akan berada di dunia digital. Web tidak ada, komputer rumah masih jarang, dan sebagian kecil sekolah-sekolah perpustakaan memiliki terminal yang dihubungkan dengan komputer mainframe. perpustakaan nasional di seluruh dunia telah menyatakan dengan jelas mereka tidak dapat memperoleh dan memelihara semua sumber daya informasi yang dihasilkan di negara mereka, apalagi bahan pustaka dari negara lain. Kami mengeksplorasi isu mempertahankan warisan budaya dalam bab berikutnya.
Ringkasan
Ada empat poin utama yang perlu diingat pada pembahasan bab ini. Pertama, konsep kerjasama adalah cenderung pada banyaknya penafsiran yang beragam, bahkan di antara staf -- staf layanan perpustakaan publik melihatnya sebagai akses saja, petugas pemilihan memiliki pandangan positif dan negatif dan seringkali pucuk pimpinan (top administrator) melihatnya sebagai cara untuk menyimpan uang. Kedua, status dan anggaran masih menjadi persoalan utama, jika ada kesempatan yang bekerja sama mungkin memiliki dampak negatif pada ukuran besarnya perpustakaan. Ketiga, upaya perpustakaan yang jenisnya beragam (multitype) atau ukurannya beragam (multisize) tidak mungkin berhasil karena tujuan perpustakaan yang berbeda dan apakah masing-masing perpustakaan dapat berkontribusi untuk usaha kerja sama yang baik. Akhirnya, teknologi adalah menciptakan kemudahan untuk berbagi koleksi, meskipun dengan konsorsium jenis perpustakaan yang beragam.
Pengembangan koleksi bersama bukan tugas mudah. Kebutuhan lokal sering tampaknya bertentangan dengan kebutuhan wilayah atau negara yang lebih luas. Namun, masalah pendanaan dan praktik lokal dapat diatasi. Sebagai sistem pengiriman (delivery system) baru, kita mungkin dapat menguraikan kebutuhan bagi swasembada lokal dan memperluas program berbagi sumber daya melebihi yang terlihat saat ini. Ini akan menjadi proses yang panjang dan lambat, namun perlu untuk terus berjuang untuk mencapai tujuan ini.
Ross Atkinson menyimpulkan pembahasan ini, meskipun ia tidak tahu, ketika ia menulis:
"banyak petugas pengembangan koleksi dari suatu era tertentu tidak diragukan lagi, seperti yang saya lakukan, bahwa mereka telah membaca tentang kerja sama untuk sebagian besar kehidupan dewasa mereka. Samudera tinta telah tumpah di dalam argumen atas pemikiran dan kepraktisan kerja sama--bagaimana masa depan perjanjian kerja sama yang mungkin dikerjakan, dan mengapa yang lalu tidak bisa dikerjakan. Apa yang sebenarnya sangat menarik tentang pengembangan koleksi bersama adalah mengapa hal ini sangat masuk akal dalam teori -- dan namun begitu bermasalah untuk melaksanakan dalam praktek


[1] Evan, G. Edward., Margaret Zarnosky Saponaro. (2005). Developing library and information center collections. London : Libraries Unlimited. Hal. 340.
[2] http://lu.com/odlis/odlis_r.cfm#resourcesharing. Diakses tanggal 8 November 2010.