Kamis, 29 April 2010

Bapak Mukmin Suprayogi

KATA PENGANTAR




Tidak mudah menentukan calon untuk diwawancari demi terselesainya tugas yang diberikan Prof. Sulistyo Basuki, dalam mata kuliah Metode Penelitian ini. Syarat utama yang diajukan oleh bapak Professor adalah seseorang yang memiliki kualifikasi minimal S2 Ilmu Perpustakaan dan telah mengabdi 3 tahun di perpustakaan atau dosen ilmu perpustakaan. Tembakan pertama penulis adalah langsung kepada Bapak Mukmin Suprayogi, M.Si, Yogi demikian panggilan akrabnya, walaupun hanya kenal nama tapi tidak kenal wajah. Dan calon kedua adalah ibu Siti Sumarningsih, M.Lib atau dipanggil dengan bu Ining. Beliau adalah dosen penulis sewaktu kuliah di Universitas Yarsi.
Kedua orang calon tersebut penulis hubungi, dan Alhamdulillah keduanyapun merespon. Akhirnya, penulis pilih pak Yogi dengan pertimbangan bahwa beliau selain seorang pustakawan dan dosen ilmu perpustakaan, juga magister sain bidang perpustakaan, dengan konsentrasi bidang kearsipan. Kebetulan bidang tersebut sangat relevan dengan peminatan penulis.
Ditemui penulis pada hari Senin, 22 Februari 2010, pukul 8.30 pagi, di ruang dosen Fakultas Adab & Humaniora lantai 5, Kampus Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, beliau bercerita sepak terjangnya sebagai pustakawan dan tenaga pendidik. Kampus UIN Jakarta merupakan tempat tugas beliau yang baru, setelah delapan tahun lamanya bertugas di Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Bengkulu. Selama bertugas di Bengkulu, selain dikenal sebagai pustakawan, juga beliau juga aktif sebagai dosen di beberapa tempat, antara lain: dosen Jurusan Dakwah Prodi Komunikasi Penyiaran Islam STAIN Bengkulu, dosen Prodi Perpustakaan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Bengkulu, dosen Jurusan Office Management LP3I, dosen Jurusan Kesehatan Masyarakat STIKES Tri Mandiri Sakti Bengkulu, dan guru Jurusan Bahasa SMAN 4 Bengkulu. Sebelum bertugas di Bengkulu, Pak Yogi, seorang pustakawan yang suka menyebut dirinya sebagai “pria panggilan” ini adalah dosen Jurusan Ilmu Perpustakaan Fakultas Sastra UI (sekarang FIB UI), dan Fakultas Teknologi Informasi Universitas Yarsi, serta pustakawan dan dokumentalis PPII PUSDIPI Masjid Istiqlal, Harian Umum Berita Buana dan Republika, serta Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi UI.



PERJALAN HIDUP PUSTAKAWAN
MUKMIN SUPRAYOGI



Masa KecilMukmin Suprayogi, panggilan sehari-hari Yogi, terlahir di Jakarta, 1 Maret 1962. Anak pertama dari Almarhum H. Muhammad Hadi Soemarno (pensiunan PNS), dan Hj. Siti Faridah (ibu rumah tangga).

Masa Pendidikan
1968 – 1974: TK & SD Dharma Bakti Jakarta
1974 – 1977: SMPN 60 Jakarta
1977 – 1981: SMAN 10 Jakarta
1985: FSUI (Sarjana Muda Sastra Cina)
1990: FSUI (Sarjana Ilmu Perpustakaan)
2001: FSUI (Magister Sain Kearsipan)

Perjalanan Profesi
Riwayat pekerjaan yang telah dijalani tidak jauh dari keahlian yang ditekuninya, yaitu bidang Ilmu Perpustakaan, Informasi, dan Kearsipan. Selain sebagai pustakawan, dosen, dan guru, ia juga pernah sebagai dokumentalis pada Harian Umum Berita Buana dan Republika. Secara runtut perjalanan kariernya tergambar dibawah ini :
Pustakawan Pusat Perpustakaan Islam Indonesia (PPII) Masjid Istiqlal, 1988 – 1990 (koord JIPI)
Pustakawan Lembaga Pers Dr. Sutomo, 1990 (pustakawan)
Pustakawan Harian Umum Berita Buana. 1990 – 1992 (dokumentalis)
Pustakawan Harian Umum Republika, 1993 – 1995 (Pjs. Kapusdok)
Pustakawan Lembaga Penyelidikan Ekonomi & Masyarakat (LPEM FEUI), 1995 – 1997 (Kabag PIPE, Pusat Informasi Perencanaan Ekonomi)
Dosen Jurusan Ilmu Perpustakaan FSUI, 1988 – 1990 dan 1992 - 2002
Dosen Jurusan Ilmu Perpustakaan Fakultas Teknologi Informasi, Universitas Yarsi, 1993 – 2002, 2010 - sekarang
Dosen Jurusan Ilmu Perpustakaan FISIP Universitas Bengkulu, 2002 – 2009
Dosen Prodi KPI Jurusan Dakwah STAIN Bengkulu, 2003 - 2009
Dosen Jurusan Kesmas STIKES Tri Mandiri Sakti (TMS) Bengkulu (2003 – 2009)
Dosen Jurusan Office Management LP3I Bengkulu, 2007 - 2009
Guru Bahasa Mandarin SMAN 4 Bengkulu, 2005 – 2009
Dosen Jurusan Ilmu Perpustakaan dan Informasi, Fakultas Adab UIN Jakarta, 2009 - sekarang
Selama bertugas di Bengkulu, Yogi pernah ditugaskan sebagai:
• Staf Proyek Pembangunan STAIN Benkulu (2003)
• Kepala Lab Komputer STAIN Bengkulu (2003-2004)
• Ketua Penyusunan Laporan AKIP STAIN Bengkulu (2004)
• Kepala Unit Kearsipan STAIN Bengkulu (2008)
• Kordinator Mata Kuliah SIM Jurusan Kesmas STIKES TMS (2003 – 2009)
• Anggota Tim Penyusunan Borang Akreditasi Jurusan Ilmu Perpustakaan UNIB (2008)

Pengalaman Berkarir di Jakarta
Jurusan Ilmu Perpustakaan FSUI mulai dilirik Yogi ketika ia masih aktif kuliah pada Prodi Sastra China pada akhir tahun 1985, dengan mengikuti mata kuliah Pengantar Ilmu Perpustakaan (PIP) yang diasuh Prof. Sulistyo Basuki. Sebelum memasuki perkuliahan, ia sempat melamar kerja di Perpustakaan JIP FSUI, tapi saat itu Ibu Soma (almarhumah Lily K. Somadikarta, M.Sc), ia disuruh menghadap Ibu Luwarsih Pringgoadisuryo (almarhumah), akhirnya ia melakukan magang kerja di perpustakaan selama lebih kurang 5 bulan di PDIN LIPI (sekarang: PDII LIPI), dari bulan Oktober 1985 – Maret 1986. Dengan bekal mengikuti kuliah PIP dan pengalaman pertama magang perpustakaan di PDIN LIPI, ia dapat menyelesaikan kuliah di JIP FSUI.
Awal karirnya diawali sebagai dosen sebetulnya telah ia mulai sejak masih kuliah, tahun 1988, atas permintaan Prof. Sulistyo Basuki, untuk membantunya sebagai asistensi di Lab Komputer. Di bawah usulan dan dibawah bimbingan beliau pula, Yogi dapat menyelesaikan skripsinya tentang Jaringan Informasi Pengkajian Islam (JIPI) tahun 1990. Karirnya sebagai dosen sempat terhenti ketika ia lebih asyik bekerja sebagai pustakawan dan dokumentalis di Harian Umum Berita Buana dan Republika.
Kemudian ia kembali ke kampus pada tahun 1992 untuk melanjutkan karirnya sebagai dosen. Saat itu JIP FSUI dipimpin DR. Karmidi Martoatmodjo dan Sekjur DR. Zulfikar Zen, MA (Pak Zul). Selain di UI, tahun 1993 Yogi mulai aktif juga membantu Jurusan Ilmu Perpustakaan Universitas Yarsi. Disamping berkarir sebagai dosen UI dan Yarsi yang ia tekuni sampai dengan tahun 2002, pengalaman teknis sebagai praktisi pustakawan ia jalani di beberapa lembaga, antara lain: PPII Masjid Istiqlal, LPDS Dr. Sutomo, HU Berita Buana, HU Republika, dan LPEM FEUI. Yogi berkeyakinan, profesi sebagai dosen perlu diimbangi dengan pengalaman teknis, karena profesi pustakawan adalah “technical oriented”. Jadi, dalam mengajar tidak cukup dengan mengandalkan “text book”, melainkan harus diwarnai dengan praktiknya di lapangan. Dengan demikian, mahasiswa diajak untuk berfikir, bahwa kepustakawanan tidak hanya sekedar mampu mahami buku secara teoritis, melainkan juga harus dapat memahami kondisi realitas di lapangan. Wawasan Yogi semakin luas tatkala dia bergabung di PPII Masjid Istiqlal dan LPEM FEUI. Ia merasa bangga pernah bekerja di dua tempat tersebut, karena didalamnya terdapat sejumlah tokoh nasional dan cendekiawan, seperti: Adi Sasono (bekas Menteri Koperasi), M. Dawam Rahardjo (cendekiawan muslim), Faisal Basri (pengamat ekonomi), Sri Mulyani Indrawati (menteri keuangan), dan sebagainya. Yang paling menarik adalah ketika ia bercerita tentang sosok Drs. Y. Sofyan (pak Yayan). Beliau adalah pustakawan yang alumni dari Jurusan Ilmu Perpustakaan UNINUS Bandung. Melalui kerja keras dan kerja cerdas Pak Yayan, ia berhasil merancang bangun sistem manajemen informasi perpustakaan Harian Umum Berita Buana dan berdirinya industri pers bernama Republika. Pak Yayan pernah menunjukkan kepada Yogi sebuah agenda yang didesain dengan sangat rapi, dengan tegas ia nyatakan bahwa tanggal 4 Januari 1993 akan lahir koran baru di republik ini bernama Republika. Dan, Yogi adalah saksi mata kelahiran pertama “bayi” Republika pada tanggal itu di salah satu percetakan di kawasan Pulo gadung.
Karirnya sebagai pustakawan berakhir pada awal tahun 1997, ketika ia harus memilih salah satu dari dua profesi yang disandangnya, pustakawan atau dosen. Ia memilih dosen, dengan harapan dapat diangkat sebagai PNS fungsional tenaga edukatif di lingkungan UI (Depdiknas). Tapi, Tuhan berkehendak lain, bertepatan dengan hari ulang tahunnya, 1 Maret 1999, ia diangkat sebagai Calon Pegawai Negeri Sipil (Capeg), dan ditempatkan di Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Bengkulu. Atas kebijakan dari Ketua STAIN, ia boleh menyelesaikan kuliah magisterya di Jakarta. Setelah diwisuda pada pertengahan tahun 2001, ia sempat membimbing skripsi dua orang mahasiswa Universitas Yarsi. Kini keduanya telah lulus dan merupakan sarjana ilmu perpustakaan pertama yang dihasilkan dari Universitas Yarsi. Awal Pebruari 2002, ia meninggalkan kota kelahirannya untuk mengabdikan diri sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) di lingkungan STAIN Bengkulu Departemen Agama RI.

Pengalaman Berkarir di Bengkulu
Banyak orang berkarier di bidang perpustakaan tapi malu menyebut dirinya sebagai Librarian, sebagai pustakawan. Namun, bagi seorang Yogi, ia justru bangga menyebut dirinya sebagai pustakwan ketimbang dosen. Dengan bekal dirinya sebagai seorang librarian, ia hijrah ke Bengkulu pada tahun 2002. Ia tinggalkan hiruk pikuknya kota Jakarta untuk memulai kehidupan yang serba baru, dimana kondisi alamnya masih terbebas dari segala macam polusi. Di Bengkulu inilah merupakan titik pertama kariernya sebagai PNS dengan STAIN Bengkulu sebagai unit kerjanya. Kiprah Yogi di Bengkulu sangat unik, dengan bekal ilmu perpustakaan yang dimilikinya, ia mampu menghadapi aneka ragam tantangan yang kiranya cukup menarik untuk disimak bagi para calon pustakawan.
Kiprahnya sebagai tenaga fungsional pustawan pratama hanya bertahan selama setahun (2002 – 2003). Terhitung mulai tahun 2003, ia mutasi ke tenaga pengajar, tahun berikutnya (2004) ia diangkat sebagai fungsonal edukatif dengan jabatan Asisten Ahli pada Prodi Komunikasi Penyiaran Islam Jurusan Dakwah STAIN Bengkulu. Dua tahun kemudian (2006) pangkatnya naik menjadi lektor (III/c). Saat ini ia sedang mengurus kenaikan pangkat menjadi III/d. Unik memang, seorang dengan kualifikasi pendidikan yang sangat tidak paralel (Bahasa Mandarin dan ilmu perpustakaan) harus mengajar pada bidang lain yang penuh dengan nyuansa keagamaan (Prodi Komunikasi Penyiaran Islam), yang mana para mahasiswanya adalah calon-calon-calon ustad atau mubaligh, sedangkan dosennya bukan ustad. Hal ini tidak terlepas dari cara Yogi melobi kepada sejumlah pimpinan STAIN, yang pada akhirnya bermuara pada keputusan sidang Senat STAIN Bengkulu. Mula-mula ia harus menetapkan pilihan jurusan yang “paling cocok”, setidaknya yang mendekati dengan displin ilmu perpusakaan, yakni: Tarbiyah atau Syariah atau Dakwah. Yogi memilh Jurusan Dakwah dengan pertimbangan lebih dekat dengan disiplin ilmu perpustakaan ketimbang lainnya, karena perpustakaan mengajarkan tentang informasi, dan informasi itu harus dikomunikasikan kepada user. Demikian pula dengan Dakwah, ilmu ini mengajarkan seni menyampaikan pesan kepada umat tentang berbagai informasi keagamaan secara sistematis dengan menggunakan alat atau media, dan seterusnya. Mula-mula ia diserahi tugas mengajar mata kuliah kurikulum nasional, Ilmu Komunikasi, pada semester-semester berikutnya beban mata kuliah yang harus diampu semakin bertambah dan beragam, antara lain: Sistem Informasi Manajemen (SIM), Public Relation, Dasar-dasar Manajemen, Publisistik, Jurnalistik, Bahasa Inggris, Penulisan Feature dan Opini, dan Komunikasi Dakwah. Selain di STAIN Bengkulu, ia juga mengajar di STIKES TMS sebagai koordinator mata kuliah SIM Kesehatan. Sebagai koordinator, ia mengajar hanya 5 kali pertemuan, selebihnya diberikan kepada dosen lainnya yang berlatar belakang komputer dan manajemen kesehatan.
Disela-sela kesibukannya di STAIN dan STIKES TMS Bengkulu, ia masih konsisten untuk mengajar di bidang ilmunya sendiri pada tiga lembaga pendidikan, yakni UNIB, LP3I dan SMAN 4. Mata kuliah yang diserahkan oleh UNIB antar lain: SIM Perpustakaan, Sistem Jaringan Perpustakaan, Administrasi Perpustakaan, Manajemen Dokumen, dan Penulisan Karya Ilmiah dan Populer. Di LP3I ia hanya mengasuh mata kuliah Filing Management pada Jurusan Office Management, sedangkan di SMAN 4 ia mengajar mata pelajaran Bahasa Mandarin di Jurusan Bahasa. “laoshi” demikian panggilan murid-muridnya kepada Yogi, yang berarti guru. Bahasa Mandarin adalah ilmu “pamungkas” miliknya, setelah 20 tahun ia tinggalkan. Menurutnya, tawaran jadi guru diterima dengan alasan, karena ia merasa terpanggil, bahwa inilah saatnya untuk beramal jariah. Baginya, Bengkulu adalah ladang amaliyah sebagai bekal menghadap Sang Kuasa. Ia berkeyakinan, ilmu yang ia tebarkan itu akan menolong dirinya di akhirat kelak. Akhirnya, mukjizat Tuhan pun hadir, bulan November hingga Desember ia diikutsertakan sebagai salah satu peserta Diklat Bahasa Mandarin di Guangzhou, RRC.
Sekalipun sebregnya kegiatan yang pernah ia lakukan, dengan rendah hati ia menolak angapan orang lain bahwa dirinya pandai. Justru, karena merasa dirinya tidak pandai itulah, ia berusaha untuk menutupi kelemahannya. Caranya? ya berusaha untuk berlaku rajin. Dengan rajin, orang akan senang hati menerima kita apa adanya. Ia berpendapat, bila seorang ingin meraih sukses perlu memiliki siasat yang strategis. Yogi menawarkan konsep smile (suka, minat, informasi, level, elegant). Awal dari segalanya untuk meraih sukses seorang harus memiliki rasa suka. Dari rasa itu maka akan timbul minat untuk memperdalam bidang yang disukai itu. Dari hasil rasa suka dan minat itu maka seorang akan memperoleh informasi yang relevan dan ilmu yang bermanfaat. Ketika seorang telah berilmu, maka Tuhan pun akan mengangkat beberapa derajat (level) dibandingkan dengan lainnya. Level itu akan melekat terus pada diri seorang dengan penampilan yang sangat elegant. Jika perempuan dia akan tampil secara anggun, sedangkan laki-laki akan tampil berwibawa.
Saat ini, murid SMAnya tersebar di sejumlah perguruan tinggi, bahkan sudah ada yang berada di negara China untuk mengambil gelar Bachelor of Arts (BA) di bidang Chinese Teaching Program. Sebelum kembali ke Jakarta, ia meninggalkan prestasi cemerlang dan nama harum untuk SMAN 4, antara lain: dari 10 murid berprestasi tingkat Provinsi Bengkulu pada Jurusan Bahasa tahun lalu (2009), 6 orang berasal dari SMAN 4, mereka dapat hadiah motor dari Gubernur Bengkulu. Pada tahun 2009, Jurusan Bahasa SMAN 4 kembali meluluskan 100 persen.
Dari 12 orang muridnya, 5 orang diantaranya bahasa Mandarin ada memperoleh angka 10, dan paling rendah adalah 9. “Pak Yogi mengajar dengan hati”, demikian komentar Kepala Sekolah SMAN 4 kepada Yogi. Tampaknya ia akan dikenang selamanya sebagai pustakawan, dosen dan guru yang mengajarkan dengan hati. Menurutnya, hingga sekarang banyak murid dan mahasiswanya masih sering berkomunikasi lewat pesan singkat (SMS).
Di bidang non akademik, ia mengusulkan agar perlu diadakan pembenahan dokumen di lingkungan STAIN Bengkulu. Ada tiga alasan yang Yogi ajukan, yakni alasan informasi, alasan evidensi dan alasan akuntabilitas. Ia menyatakan, lokasi perpustakaan harus strategis yang dapat dijangkau dan terlihat oleh siapaun yang masuk ke dalam lingkungan kampus. Ini penting, untuk memperlihatkan kepada masyarakat (stake holder) bahwa STAIN Bengkulu berkeinginan menjadi lembaga pendidikan berkualitas, terutama ketika pejabat penilai baik pada tingkat inspektorat atau pun badan akreditasi datang meninjau STAIN Bengkulu. Dengan penjelasan ini akhirnya, Perpustakaan STAIN Bengkulu dibangun kembali gedung baru yang lebih representatif, terletak di tengah kampus dan lebih mewah ketimbang gedung rektorat. Dari komunikasi yang terbangun secara efetif, Yogi sempat diserahi beberapa tugas penting, antara lain: Ketua Pengadaan Lab Komputer, Kepala Lab Komputer, Tim Penyusunan Laporan AKIP, Staf Proyek Pembangunan, dan Kepala Unit Kearsipan.
Diantara jabatan yang pernah ia emban, yang paling berkesan adalah ketika dipercaya sebagai Tim Penyusunan Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) STAIN Bengkulu. Yogi menyatakan sangat berterima kasih kepada bu Anon Mirmani, M.Sc, karena beliau pernah memberi fotokopi buku tipis berjudul LAKIP. “Yogi, kamu baca buku ini, untuk melihat arsip apa saja yang tercipta dalam suatu lembaga, sehingga kamu dapat membuat analisis makro”, demikian pesan singkat bu Anon langsung kepadanya. Yogi tidak pernah membayangkan bakalan diserahi tugas penting sebagai tim penyusunan laporan AKIP. Yang lebih membanggakanya adalah ketika laporan yang ia susun (hampir 100%) itu, dinyatakan baik dan benar oleh Sekretariat Jenderal Depag RI, padahal sebelumnya ditolak dan dikembalikan. Ini menunjukkan bahwa ilmu perpustakaan dan kearsipan saling mendukung untuk melancarkan kinerja administratif. Kinerja yang juga didukung dengan pengalamannya ketika ia bergabung dengan organisasi NGO, seperti: PPII Masjid Istiqlal, yang jauh berbeda dengan kinerja PNS.

Kembali Ke Jakarta
Penulis teringat akan lagu Koes Plus, ke Jakarta akuu kan kembaliii…, begitu juga yang terjadi pada diri Yogi. Setelah sepak terjang dan kiprahnya memperkenalkan sosok pustakawan profesional dengan berbagai atribut yang melekat pada dirinya kepada masyarakat Bengkulu, pada pertengahan tahun 2009, tepatnya akhir bulan Juli 2009 ia kembali ke Jakarta (back to habitat), kembali ke kota kelahirannya. Ia berkumpul kembali bersama keluarganya, setelah tiga tahun lamanya berpisah dengan istri dan kedua anaknya. Ayah dari Muthia Fariza (murid SMAN 1 Jakpus) dan M. Faisal W. Aziz (murid SMPN 229 Jakbar) dimutasi dari Jurusan Dakwah ke Prodi Ilmu Perpustakaan dan Informasi Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Sejak Semester Ganjil Tahun Akademik 2009/2010, ia sudah mulai mengajar untuk mata kuliah “Otomasi Perpustakaan” dan “Metodologi Penelitian”. Semester genap ini ia kembali ia diserahi tugas mengajar mata kuliah “Dasar-dasar Kearsipan”, “Seminar Pra Skripsi”, dan Jaringan Informasi”. Selain di UIN, suami dari Tian Tristianan Sri Handayani, SE ini juga diminta mengajar di Prodi Ilmu Perpustakaan Fakultas Teknologi Informasi Universitas Yarsi. Di kampus ini, ia mengajar “Perpustakaan Digital”.

Sebagai pendatang baru di UIN Jakarta, ia sedang berusaha menata diri untuk mewujudkan tekadnya untuk mengimbangi kemajuan dengan sahabat pustakawan. Ia tidak ingin mengejar ketertinggalan, karena, jika hanya sekedar mengejar ketertinggalan, maka kita tetap pada posisi tertinggal. Tapi, jika kita masuk ke dalam situasi kemajuan, maka yang kita peroleh adalah kemajuan. Sebagai langkah pertama, November 2009 ia masuk ke dalam sebuah komunitas bergengsi, Senayan yang disebut sebagai SDC (Senayan Developers Community). Awal Pebruari 2010, ia dengan Tim SDC pergi ke Bengkulu untuk memasang Senayan Open Source pada Perpustakaan Daerah Curup dan STAIN Curup. Pada semester ini, kembali ia diuji kemampuannya, Dekan Fakultaas Adab dan Humaniora UIN Jakarta menugaskannya untuk menyusun Proposal Pendirian Prodi Bahasa Mandarin. Jika ia berhasil merampungkan garapannya, maka ini adalah “proyek” pertama sebagai dosen UIN. Amin! Ia berkeinginan semua dosen Prodi Sastra Mandarin yang akan mengajar di UIN Jakarta adalah lulusan dari Republik Rakyat China. Kedepannya, ia akan melibatkan murid-muridnya yang dari Bengkulu untuk mengajar di UIN Jakarta. Hal ini sesuai dengan arah pengembangan UIN yang ingin menjadi “Research University” dan “world class university”.
Untuk mewujudkan itu, perlu visi dan misi yang jelas. Menurut Yogi, Visi adalah mimpinya sebuah lembaga. Untuk mengejar mimpi, maka perlu dijabarkan ke dalam misi. Misi terdiri dari dua elemen, yang bersifat substantf dan bersifat fasilitatif. Substatif adalah core business lembaga, meliputi: pelaksanaan Tridharma Perguruan Tinggi (Penelitian, pengabdian dan pendidikan), sedangkan Misi bersifat fasilitatif, dimana lembaga harus menjang kelancaran roda organisasi sehinggi visi tercapai, meliputi: keuangan, kepegawaian, logistik, dan seterusnya.
Indikator keberhasilan seorang tenaga pendidik, manakala dosen menyaksikan “keberhasilan seorang dosen adalah bila anak didiknya melebihi dirinya sebagai tenaga pendidik”. Misalnya, seorang dosen berpendidikan S2 maka mahasiswanya kelak harus S3, bila seorang dosen berpendidikan S3 maka mahasiswanya kelak harus Professor. Bila seorang dosennya Professor, maka kebanggaan seorang tenaga pengajar. Oleh sebab itu tugas seorang tenaga pengajar adalah sebagai fasilitator, motivator, dan “provokator”. Sebutan yang terakhir tidak harus bernuansa negatif, ketika dosen mampu untuk memprovokasi mahasiswa agar jadi guru besar, itu adalah sah-sah saja!

Orang-orang Dibalik Keberhasilan
Keberhasilan seseorang itu tak luput dari peran orang-orang disekitar, baik itu peran kedua orangtua, keluarga (anak dan istri) serta guru dan dosen yang membimbing hingga berkemampuan berpengetahuan dan kawan sejawat tempat berdiskusi, saling knowledge sharing.
Demikian pula dengan Yogi, ia bisa demikian berkat bimbingan dan gemblengan guru-gurunya, baik secara langsung dan formal mengajar dirinya di klas, maupun yang informal. Sebut saja, nama orang pertama, Bapak Prof. Sulistyo Basuki, Ph.D, yang memberi kesempatan pertama dan pembuka pintu agar saya dapat berkenalan dengan dunia pendidikan. Menurutnya, Pak Sulis dengan caranya yang khas menyuruhnya masuk klas untuk membantu mengajar praktek mata kuliah komputerisasi bahan pustaka di Fasilkom UI Salemba. “Gi, ngajar” begitu perintahnya singkat, dan menurutnya, kata singkat itulah yang membekas hingga sekarang!
Orang kedua dan ketiga adalah Bapak DR. Zulfikar Zen, MA dan Bapak Drs. Y. Sofyan, MM. mereka yang membuka wawasan Yogi di bidang kepustakawanan Islam. Pak Zul yang memasukannya ke lingkungan Yarsi, Pak Yayan yang memperkenalkan Yogi tentang dunia NGO dengan segala problematikanya.
Orang keempat dan kelima Ibu Siti Sumarningsih, M.Lib dan ibu Anon Mirmani, M.Sc, yang selalu seiring sejalan dan tempat berdiskusi dalam pengembangan ilmu perpustakaan dan ilmu kearsipan.

Pandangannya Terhadap Organisasi Perpustakaan
Pustakawan menurut Yogi harus berperan aktif dan bersikap “percaya diri” baik di lingkungan masyarakat internal tempatnya bekerja, maupun lingkungan ekstenal. Pustakawan harus masuk ke dalam sistem dalam satu organisasi perpustakaan, dan tidak seperti kelapa dalam tempurung. Artinya, pustakawan tidak boleh hanya berjalan di tempat. Yogi prihatin dengan organisasi IPI yang tampaknya sedang disemprot habis oleh pihak-pihak yang antipati terhadap kepengurusan IPI. Lepas dari masalah yang dipersoalkan, apakah tidak sebaiknya yang pro dan kontra duduk semeja, untuk membicarakan IPI ke depan. IPI harus legowo, mungkin begitulah cara mereka mengungkapkan “sayang” kepada IPI, sedangkan yang “oposisi” segera menyadari, bahwa jadi outsider tidak akan menjadikan IPI kemudian berubah. Apakah benar, yang menghujat jauh lebih baik daripada yang dihujat, menurut Yogi, bila ingin memperbaiki IPI, maka siapapun orangnya harus masuk ke dalam sistem, agar suaranya terdengar dan segera menjadi pertimbangan organisasi. Bukan berteriak di dalam dunia maya!

Hasil KaryaMembuat tulisan kemudian diterbitkan pada salah satu jurnal ilmiah merupakan kesempurnaan profesionalisme. Yogi sadar betul, selama di Bengkulu ia larut dan tenggelam dalam berbagai aktivitas mengajar, sedangkan komunikasi formal yang dimuat dalam jurnal ilmiah jarang dilakukan. Oleh karenanya, ia bertekad untuk mengimbangi kemajuan, bukan lagi mengejar ketertinggalan. Hal ini ia buktikan, dengan tulisannya yang dimuat pada majalah bulanan Intisari edisi Januari 2010, berjudul “Perpustakaan dan Perjalanan Hidup Manusia”. Di bawah ini adalah cuplikannya:
Dimulai dari angka pertama, 000 (Umum) melambangkan bahwa manusia lahir dalam keadaan tidak tahu apa pun dan tidak mengenal siapapun. Oleh sebab itu, bayi yang baru lahir pasti menangis. Tangisan bayi adalah lambang perpindahan ‘lokasi’ dari alam rahim ke alam dunia. Pada saat berbahagia itu, ayah bunda dan seluruh keluarganya menyambutnya dengan senyum tulus, bahkan sangking bahagianya tak terasa air mata yang bening pun meleleh di pipi. Tak dapat dibayangkan, alangkah gelisahnya, bila sang jabang bayi yang baru saja melihat alam dunia, lahir dalam keadaan terdiam dan tersenyum, apalagi tertawa. Wah, pasti heboh, dan esoknya akan muncul berita di surat kabar dengan judul yang cukup sensasi “bayi brojol langsung senyum”. Kemudian rumah itu bakalan kedatangan tamu tak diundang, karena dianggapnya telah lahir bayi ajaib dan pasti membawa keberkahan!
Angka kedua, 100 (Filsafat) diibaratkan anak yang baru saja beranjak usia balita, dia mulai berkenalan dengan ayah bundanya, kakaknya, opa dan omanya, adik sepupunya, pakde, bude, dan seterusnya. Pada taraf pemikiran yang masih sederhana dia sudah mulai tahu, panasnya api, dinginnya es, sejuknya AC, dan seterusnya.
Angka ketiga, 200 (Agama), pada saat sang “belahan jiwa” sudah mulai berpikir, kepadanya tidak lupa diperkenalkan adanya Tuhan, sang Pencipta dunia dan seisinya. Sering kali kita saksikan, orang tua membawa “si kecil” ke tempat-tempat ibadah, seperti: masjid, gereja, vihara, candi, kuil, dan sebagainya.
Angka keempat, 300 (Ilmu Sosial), orang tuanya berusaha agar sang anak bisa kenalan dengan kawan sebayanya, maka walaupun masih balita, sang anak sudah mulai memasuki bangku pra-sekolah, seperti: play group, pendidikan anak usia dini (PAUD), dan sejenisnya. Dengan harapan sang anak memperoleh pengalaman bergaul dengan masyarakat yang lebih luas, dan tentu saja diharapkan memiliki kepekaan sosial terhadap lingkunganya.
Angka kelima, 400 (Bahasa), pada saat yang sama, seiring dengan perkembangan psikologis dan fisiknya, kemampuan bahasa sebagai modal pergaulan juga berjalan seimbang. Sang buah hati mulai dibekali aneka ragam bahasa sebagai alat komunikasi dengan lingkungannya, terutama yang berasal dari bahasa ibunya. Yang lahir dari budaya Jawa pasti akan pandai bicara dalam bahasa Jawa, demikian pula yang lahir di Papua pasti bisa ‘ngomong’ bahasa Papua. Yang paling mujur yang lahir di London atau China pasti fasih dan lancar berbahasa Inggris dan Mandarin (maksudnya, tidak perlu ikut kursus bahasa Inggris atau Mandarain). Dengan bekal bahasa, sang anak kemudian bersosialisasi dan beradaptasi dengan lingkungannya secara lebih optimal dan intensif.
Angka keenam, 500 (Ilmu Murni), beranjak pada usia sekolah, berarti bekal kehidupan ke depan sudah mulai diberikan kepada si buah hati, yakni usia sekolah. Dia mulai berkenalan dengan ilmu-ilmu pengetahuan ‘murni’, seperti: matematika, bahasa, ilmu alam, dan sebagainya.
Angka ketujuh, 600 (Ilmu Terapan), beranjak ke usia remaja, tidak hanya sekedar ilmu-ilmu murni saja yang diperkenalkan, melainkan bagaimana ilmu itu dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari, umpamanya, bagi seorang muslim tidak hanya tahu arti penting shalat, tapi bagaimana menjalankan shalat itu sendiri dengan baik di masjid. Yang Kristen tidak hanya pandai bernyanyi, tapi bagaimana suara merdu itu bisa bernilai ibadah di gereja, dan seterusnya.
Angka kedelapan, 700 (Kesenian), setelah memiliki ilmu pengetahuan yang semakin banyak, baik yang bersifat pure science, maupun yang applied science, ada pula yang punya minat terhadap keindahan. Kemampuan rasanya lebih tajam dan dominan atau terdapat keseimbangan antara akal dengan rasa, yakni antara kemampuan sains teknologi dengan cita rasa seni, seperti gemar melukis, bermain musik, fotografi, dan sejenisnya. Oleh sebab itu, tidak jarang seorang wartawan foto pada sebuah sebuah penerbitan pers yang berlatar belakang ilmu eksakta.
Angka kesembilan, 800 (Kesusasteraan), tidak hanya di bidang seni saja, ada juga yang berminat di dunia kesusastraan, tengok saja sastrawan terkenal seperti Taufik Ismail. Ketika dia membaca hasil karya sastranya, atau orang lain membaca puisinya, sulit dipercaya bahwa sebenarnya dia adalah seorang dokter hewan.
Angka kesepuluh, 900 (Biografi), akhir dari siklus perjalanan hidup manusia akan berakhir di batu nisan bertulisan “disini hamba Tuhan beristirahat dengan tenang”, “rest in peace”, “segalanya akan berpulang kepada Sang Pencipta”. Seperti kata pepatah “gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, manusia mati meninggalkan nama”, demikian pula dalam siklus kehidupan kita. Jika, selama kita hidup dalam keadaan yang bermanfaat bagi lingkungan, maka kita akan dilepas oleh tangisan dan linangan air mata, dan dikenang sebagai manusia terpuji, sebaliknya bila sepanjang hidupnya selalu berprilaku onar dan selalu membuat keresahan di masyarakat, maka akan dilepas dengan kelegaan hati dan tesenyum senang. Mungkin, sambil tertawa-tawa ada yang berceloteh “syukurlah, si fulan tiada lagi, berarti kan, si biang kerok yang selalu bikin resah di kampung kita sudah gak ada lagi, kampung kita nyaman kembali”.
Pada intinya, tulisan Yogi mengajak kita merenung sejenak, sudah sampai sejauh mana kita melangkah untuk Tuhan dan lingkungan sekitar. Sudahkah kita menjadi manusia bermakna bagi orang lain? Untuk itu, mumpung masih diberi kesempatan, ia mengajak sama-sama untuk mengukir perjalanan hidup kita ke depan dengan catatan tinta emas. Biarkan orang lain tersenyum menyambut kehadiran kita di dunia, sedangkan kita menangis sejadi-jadinya, mungkin secara ‘naluriah’, sebagai simbol bahwa sang bayi suatu saat akan berhadapan dengan setumpuk masalah tentang dunia. Lalu, biarkan orang lain menangis ketika melepas kepergian kita, sementara senyuman senantiasa menghiasi wajah bersih kita, karena kita sedang dihibur oleh para malaikat dan bidadari utusan Tuhan untuk mengiringi langkah kita menghadap pada Sang Pencipta.

Lucien Febvre dan Marc Bloch

RINGKASAN BACAAN
BAB 2 Para Pendiri: Lucien Febvre dan Marc Bloch
Terjemahan Oleh: Djoko Marihandono


Di Perancis, decade 1920-an adalah dasawarsa gerakan sejarah jenis baru, yang dipimpin oleh dua guru besar Universitas Strasbourg, Marc Bloch dan Lucien Febvre. Jurnal mereka terbitkan, Annales d’histoire economique et sociale, mengkritik tajam sejarawan tradisional. Seperti halnya Lamprecht, Turner dan Robinson, maka Febvre dan Bloch juga menentang dominsi sejarah politik. Ambisi mereka ialah ingin mengganti sejarah politik dengan sejarah yang lebih luas dan lebih manusiawi, suatu sejarah yang berbicara tentang semua kegiatan manusia dan kurang berminat kepada penceritaan kejadian dibanding kepada analisis struktur, sebuah istilah yang sejak itu menjadi favorit para sejarawan Perancis, dengan julukan mazhab Annales.
Pelopor la nouvelle histoire

Sampai abad ke-19, penulisan sejarah di Perancis terfokus pada sejarah-sejarah politik atau sejarah-sejarah besar. Baru pada akhir abad ke-19 atau awal abad ke-20 muncullah pendekatan penulisan sejarah baru (la nouvelle histoire). Tokoh pencetusnya yang terkemuka adalah Henri Berr (1863-1954). Dia mencoba membuat paradigma dan epistemologi sejarah yang baru. Tokoh lain yang mempelopori penulisan sejarah baru itu adalah Lucien Febvre (1878-1956) dan Marc Bloch (1866-1944). Belakangan dua orang inilah yang lebih dikenal sebagai pelopor la nouvelle histoire itu.
Febvre menyebut cara penulisan sejarahnya sebagai sejarah total (l’histoire totale) sementara Bloch menyebutnya sejarah menyeluruh (l’histoire intégrée). Pada tahun 1929 Febvre dan Bloch menerbitkan jurnal ilmiah La Revue Annales. Dari nama jurnal itulah, muncul aliran sejarah baru, yakni madzab Annales yang sampai hari ini masih berpengaruh di dunia. Kata “Annales” itu sendiri berarti sejarah atau catatan sejarah. Ciri utama madzab Annales adalah penulisan sejarah dari berbagai aspeknya dan yang terpenting tidak bertumpu pada peristiwa-peristiwa besar.

Minat Febvre dan Bloch

Febvre dan Bloch, meski berbeda minat dan perhatian, sama-sama menginginkan sejarawan belajar dari disiplin ilmu lain. Keduanya tertarik pada ilmu lingusitik dan juga membaca kajian-kajian tentang mentalitas primitive karya antropologiwan filsuf Lucien Levy-Bruhl.
Minat utama Febvre adalah geografi dan psikologi. Dalam hal teori psikologi, Febvre sejalan dengan rekannya, Charles Blondel, menolak teori Freud. Dia juga mempelajari antropo-geografi dari Ratzel, tetapi menolak paham determinismenya. Febvre lebih menyukai pendekatan kaum possibilis (serba mungkin) ahli geografi ternama Perancis, Vidal de La Blance, yang menitik beratkan pada dorongan lingkungan terhadap kemampuan berbuat manusia, bukan pada hambatan yang ditimbulkannya. Bloch lebih dekat kepada sosiologi Emile Durkheim dan kelompoknya.

Mazhab Les Annales Menurut Prof. Dr. Djoko Marihandono
Dalam buku Mazhab Annales 1929-1989 Revolusi Prancis, yang diterjemahkan oleh Prof. Djoko Marihandono, mengungkapkan betapa pentingnya pedekatan Les Annales dalam menganalisis kajian budaya. Madzhab Les Annales lahir sebagai bentuk kritik terhadap sejarah yang menggunakan paradigma Ranke atau disebut madzhab methodique yaitu suatu madzhab yang menulis sejarah hanya untuk tokoh-tokoh terkenal dan peristiwa-peristiwa penting. Menurut Madzhab Les Annales, melakukan penelitian itu tidak hanya pada orang-orang terkenal dan peristiwa-peristiwa penting saja tetapi terfokus pada seluruh lapisan masyarakat yang membentuk suatu struktur tertentu.
Oleh karena itu Les Annales menggunakan metodologi structural yang memandang manusia sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari struktur yang ditentukan baik dari posisi maupun dinamika kehidupannya. Oleh karena itu, mazhab Les Annales menggunakan pendekatan interdisipliner yaitu menggunakan ilmu bantu dari bidang ilmu lain untuk mempertajam analisis tentang perubahan struktur sehingga metodologi struktur menjadi kajian multidimensional dalam ilmu sejarah. Sampai sekarang, metodologi structural masih digunakan oleh para sejarawan untuk merekonstruksi peristiswa sejarah, khususnya yang menempatkan perubahan struktur masyarakat sebagai tema.
Komentar Pribadi

Untuk memahami pembahasan Les Annales yang diterjemahkan oleh bapak Progf. Dr. Djoko Marihandono, penulis mengambil beberapa sumber (1) dari seumber langsung Mazhab Annales 1929-1989 Revolusi Prancis, yang diterjemahkan oleh Prof. Djoko Marihandono. (2) dari internet http://www.scribd.com/doc/25415411/Sejarah-Sebagai-Kajian-Budaya yang di akses tanggal 28 April 2010 tentang Sejarah sebagai Kajian Budaya oleh Prof. Dr. Djoko Marinadono. Sehingga dapat memberi gambaran sebagai berikut:
Sejarah adalah cabang ilmu sosial yang unik dan spesifik dan dalam penulisannya: sesahih apa pun metodologi yang dimiliki, ia tetap sangat bergantung pada teks, literatur, produksi bahasa yang dihasilkan sebagai bahan penulisan sejarah, baik sumber primer maupun sumber sekunder.
Paradigma Annales menyelidiki tentang bagaimana sistem dari fungsi-fungsi sosial atau bagaimana keseluruhan dari fungsi-fungsi itu berkolaborasi dalam kurun waktu tertentu secara multi dimensi, yaitu : dimensi temporal, spasial, individual, sosial, ekonomi, budaya, dan sebagainya. Mazhab Annales menekankan pada pendekatan holistic, interdisiplin, structural serta berbagai perkembangan penulisan dengan pendekatan baru. Sehingga muncul tema-tema baru dalam penulisan sejarah seperti sejarah wanita, sejarah mentalitas dan lain sebagainya.
Ini menandakan bahwa para sejarawan Perancis ingin menampilkan nilai kebenaran sejarah melalui ketelitian metode berdasarkan empirisisme dan logika. Oleh sebab itu, fokus mereka tak lagi narasi organisasi kekuasaan, otoritas politik, dan relasi ekonomi sebagai sejarah makro, tetapi kepada serpihan-serpihan peristiwa sejarah sosial sebagai suatu sejarah mikro. Bisa dikatakan les Annales memberi kontribusi kepada perspektif baru ilmu sejarah dan merupakan sumber penggalian ide pemikiran pascamodernis pada dasawarsa 1960-an di Eropa maupun Amerika Serikat.

Knowledge Centre Universitas Tarumanegara







The Johannes Oentoro Library Universitas Pelita Harapan