Jumat, 20 November 2009

Peluang dan Tantangan Otomasi Perpustakaan di Indonesia

PELUANG DAN TANTANGAN
OTOMASI PERPUSTAKAAN DI INDONESIA
Pendahuluan
Pesatnya kemajuan teknologi informasi yang didukung teknologi jaringan komputer memungkinkan informasi tersalur dari satu belahan dunia ke belahan dunia yang lain dalam waktu singkat. Teknologi jaringan komputer yang sebelumnya hanya digunakan di lembaga-lembaga pendidikan dan perusahaan-perusahaan besar, sekarang sudah tersebar ke sebagian besar masyarakat dunia termasuk di Indonesia berupa jaringan internet.
Dampak positif dan negatif dari kemajuan teknologi informasi semakin terasa dalam segala aspek kehidupan baik sosial, ekonomi, budaya dan politik. Dengan kemajuan teknologi informasi telah mendorong percepatan globalisasi, sehingga aspek jarak dan waktu menjadi relatif dekat dan singkat.
Perpustakaan seperti kita ketahui adalah merupakan salah satu penyedia dan penyalur informasi yang fungsi dan peranannya cukup berarti di dunia informasi. Tantangan baru di dunia perpustakaan di abad 21 yang banyak dikatakan sebagai abad informasi adalah penyaluran informasi menggunakan protokol elektronik melalui jaringan komputer dengan cepat, tepat dan global. Salah satu solusi untuk menjawab tantangan tersebut adalah dengan membangun perpustakaan terotomasi.
Perpustakaan, dengan fungsinya sebagai penyedia informasi memiliki peranan yang besar dalam pemerataan pendidikan. Perpustakaan adalah salah satu komponen penting dalam menunjang terselenggaranya pendidikan yang berkualitas. Untuk mencapai hal itu, perpustakaan perlu menjalin kerjasama dan berbagai informasi antara satu dengan yang lainnya untuk memperluas jangkauan akses pengguna.
Selain itu, kerjasama pertukaran data dapat mengurangi waktu dan biaya untuk mencari bahan pustaka di perpustakaan yang tersebar secara geografis. Kerjasama pertukaran data dapat merintis inter library loan yang pada akhirnya dapat meningkatkan penetrasi dan kualitas ilmu pengetahuan dan budaya di masyarakat. Menghubungkan perpustakaan di Indonesia bukan merupakan hal yang mudah, setiap perpustakaan biasanya mengimplementasikan sendiri sistem informasi menurut kebutuhan masing-masing.
Hal ini menjadikan setiap sistem perpustakaan yang ada berbeda-beda dan sulit untuk disatukan. Selain itu, kepemilikan data serta keamanan data yang dipertukarkan menjadi penghalang perpustakaan untuk menyediakan datanya agar bisa diakses oleh yang lain. Paling tidak ada empat hal yang menjadi penyebab sulitnya mewujudkan pertukaran data perpustakaan di Indonesia, yaitu : penggunaan platform perangkat keras dan perangkat lunak yang berbeda-beda di setiap perpustakaan, arsitektur dan bentuk penyimpanan data yang berbeda-beda, kultur kepemilikan data yang kuat dan possessive dan kekhawatiran akan masalah keamanan data.
Pemanfaatan teknologi informasi dalam dunia perpustakaan menciptakan peningkatan kualitas serta variasi layanan. Peningkatan kualitas layanan tercermin dari pelayanan yang semakin cepat karena pelayanan tidak lagi dilakukan secara manual, akan tetapi dilakukan dengan menerapkan otomasi perpustakaan yang merupakan salah satu wujud dari pemanfaatkan kemajuan di bidang teknologi informasi. Proses peminjaman, pengembalian, penelusuran koleksi tidak lagi dilakukan secara manual dengan mencatat atau menelusurnya melalui katalaog perpustakaan, semuanya dilakukan dengan secara otomatis menggunakan komputer yang dapat didesain sesuai kebutuhan perpustakaan dengan memanfaatkan kemajuan teknologi yang terjadi. Untuk itu setiap pengelola perpustakaan perlu merencanakan kapan perpustakaan yang dikelolanya mampu mengimplementasikan otomasi. Melalui implementasi otomasi perpustakaan dan pembangunan perpustakaan, perpustakaan berusaha menyajikan layanan yang sesuai dengan harapan masyarakat pengguna.
Sayangnya masih banyak perpustakaan di tanah air yang belum mampu mengimplementasikan otomasi perpustakaan. Hal ini disebabkan banyak perpustakaan terbentur masalah keterbatasan dana sehingga tidak mampu membeli perangkat lunak otomasi sehingga tidak mampu mengimplementasikan otomasi perpustakaan. Implementasi otomasi perpustakaan hanyalah sebuah konsep tanpa ketersediaan perangkat lunak otomasi. Perangkat lunak merupakan komponen utama dalam implementasi otomasi dan harga perangkat lunak komersil yang ada di tanah air masih belum terjangkau oleh semua perpustakaan di Indonesia. Dengan demikian hanya perpustakaan yang ditopang dengan dana yang cukup yang mampu mengimplementasikan otomasi perpustakaan.
Dari permasalah di atas, maka yang jadi pertanyaan adalah apa yang dimaksud dengan otomasi perpustakaan? Bagaimana peluang dan tantangan otomasi perpustakaan di Indonesia?
Pembahasan
  1. Otomasi Perpustakaan
Definisi
Definisi otomasi perpustakaan menurut Lasa HS (1998) adalah pemanfaatan mesin, komputer, dan peralatan elektronik lainnya untuk memperlancar tugas-tugas perpustakaan. Sedangkan menurut Wahyudi (1999), yang dimaksud dengan otomasi perpustakaan adalah pemanfaatan komputer untuk pengelolaan aktivitas perpustakaan yang menyangkut pengadaan bahan pustaka, pengolahan dan pelayanan.
Jadi otomasi Perpustakaan adalah sebuah sebuah proses pengelolaan perpustakaan dengan menggunakan bantuan teknologi informasi (TI). Dengan bantuan teknologi informasi maka beberapa pekerjaan manual dapat dipercepat dan diefisienkan. Selain itu proses pengolahan data koleksi menjadi lebih akurat dan cepat untuk ditelusur kembali. Dengan demikian para pustakawan dapat menggunakan waktu lebihnya untuk mengurusi pengembangan perpustakaan karena beberapa pekerjaan yang bersifat berulang (repetable) sudah diambil alih oleh komputer. Otomasi perpustakaan bukanlah hal yang baru lagi dikalangan dunia perpustakaan. Konsep dan implementasinya sudah dilakukan sejak lama, namun di Indonesia baru populer baru-baru ini setelah perkembangan teknologi informasi di Indonesia mulai berkembang pesat.
2. Komponen Otomasi Perpustakaan
Sebuah sistem otomasi perpustakaan pada umumnya terdiri dari 3 (tiga) bagian, yaitu : pangkalan data, user/pengguna dan perangkat otomasi
a) Pangkalan Data
Setiap perpustakaan umum atau khusus pasti tidak akan terlepas dari proses pencatatan koleksi. Tujuan dari proses ini untuk memperoleh data dari semua koleksi yang dimiliki dan kemudian mengorganisirnya dengan menggunakan kaidah-kaidah ilmu perpustakaan. Pada sistem manual, proses ini dilakukan dengan menggunakan bantuan media kertas atau buku. Pencatatan pada kertas atau buku merupakan pekerjaan yang sangat mudah namun juga merupakan suatu proses yang tidak efektif karena semua data yang telah dicatat akan sangat susah ditelusur dengan cepat jika jumlah sudah berjumlah besar walaupun kita sudah menerapkan proses pengindeksan. Dengan menggunakan bantuan teknologi informasi, proses ini dapat dipermudah dengan memasukkan data pada perangkat lunak pengolah data seperti : CDS/ISIS (WINISIS), MS Access, MySQL. Perangkat lunak ini akan membantu kita untuk mengelola pangkalan data ini menjadi lebih mudah karena proses pengindeksan akan dilakukan secara otomatis dan proses penelusuran informasi akan dapat dilakukan dengan cepat dan akurat karena perangkat lunak ini akan menampilkan semua data sesuai kriteria yang kita tentukan.
b) User/Pengguna
Sebuah sistem otomasi tidak terlepas dari pengguna sebagai penerima layanan dan seorang atau beberapa operator sebagai pengelola sistem. Pada sistem otomasi perpustakaan terdapat beberapa tingkatan operator tergantung dari tanggung jawabnya, yaitu :
1)Supervisor; merupakan operator dengan wewenang tertinggi. Supervisor dapat mengakses dan mengatur beberapa konfigurasi dari sistem sekaligus dapat pula melakukan proses auditing.
2) Operator administrasi; beberapa proses pendaftaran anggota, pelaporan dan beberapa proses yang digunakan untuk urusan administrasi dapat ditangani oleh operator ini.
3) Operator pengadaan dan pengolahan; untuk urusan pengolahan koleksi buku dapat ditangani oleh operator dengan wewenang ini, dari proses pemasukan data hingga proses finishing seperti cetak barcode, lidah buku dan label punggung.
4) Operator sirkulasi; operator ini bertugas untuk melayani pengguna yang hendak meminjam atau memperpanjang atau mengembalikan koleksi ataupun yang hendak membayar tanggungan denda.
c) Perangkat Otomasi
Perangkat otomasi yang dimaksud disini adalah perangkat atau alat yang digunakan untuk membantu kelancaran proses otomasi.
Perangkat ini terdiri dari 2 (dua) bagian, yaitu :
1) Perangkat keras; Sebelum memulai proses otomasi, sebuah perangkat keras perlu disiapkan. Yang dimaksud perangkat keras disini adalah sebuah komputer dan alat bantunya seperti printer, barcode, scanner, dan lain-lain.
2) Perangkat lunak; Sebuah perpustakaan yang hendak menjalankan proses otomasi maka harus ada sebuah perangkat lunak sebagai alat bantu. Perangkat lunak ini mutlak keberadaannya karena digunakan sebagai alat pembantu mengefisienkan dan mengefektifkan proses, seperti CDS/ISIS, WinISIS, KOHA dan lain-lain.
Tanpa adanya dua perangkat ini secara memadai maka proses otomasi tidak akan dapat berjalan dengan baik.
  1. Peluang Otomasi Perpustakaan di Indonesia
Indonesia merupakan negara yang sedang berkembang sehingga sangat terbuka peluang kedepannya untuk mewujudkan perpustakaan-perpustakaan maju yang terotomasi bahkan perpustakaan digital. Peluang untuk otomatisasi perpustakaan dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu :
1. Perangkat Lunak Perpustakaan Berbasis Open Source
Saat ini, masih banyak perpustakaan di tanah air yang layanannya belum terotomasi serta belum mampu membangun perpustakaan digital. Mahalnya harga perangkat lunak serta tidak tersedianya sumber daya manusia yang mampu membangun perangkat lunak otomasi perpustakaan, menyebabkan banyak perpustakaan tidak mampu memenuhi kebutuhan perangkat lunak untuk otomasi perpustakaan dikarenakan banyak perpustakaan di tanah air yang mengalami kesulitan terkait dengan pendanaan perpustakaan. Jangankan untuk pengadaan perangkat lunak yang membutuhkan dana besar, untuk pengadaan koleksi perpustakaan banyak perpustakaan yang mengalami kesulitan. Belum lagi jika perpustakaan berada di bawah pimpinan yang tidak memiliki keberpihakan terhadap pengembangan perpustakaan sehingga otomasi perpustakaan hanyalah sebuah mimpi.
Keterbatasan dana serta pimpinan yang tidak memiliki keberpihakan terhadap perpustakaan, dapat ditutupi jika perpustakaan memiliki sumber daya manusia yang paham memanfaatkan teknologi informasi serta senantiasa mengikuti perkembangan teknologi informasi di dunia perpustakaan. Saat ini, jika para pustakawan dan sumber daya manusia lainnya di perpustakaan selalu mengikuti perkembagan teknologi informasi di perpustakaan maka mereka seharusnya mengerti bahwa saat ini banyak tersedia perangkat lunak berbasis open source yang dapat digunakan gratis oleh perpustakaan. Perangkat lunak berbasis open source ini menyedikan berbagai perangkat lunak yang dapat digunakan sebagai perangkat lunak otomasi perpustakaan.
Fenomena open source memberikan peluang bagi perpustakaan di Indonesia untuk maju dan meningkatkan kualitasnya. Open source memberikan kesempatan bagi perpustakaan untuk menggunakan berbagai perangkat lunak yang tersedia sehingga mampu memberikan layanan terbaik kepada pengguna perpustakaan.
Selama ini, banyak perpustakaan di Indonesia yang tidak mampu melakukan otomasi perpustakaan dikarenakan minimnya dana perpustakaan. Perpustakaan mengalami kesulitan dalam pengadaan perangkat lunak-perangkat lunak otomasi perpustakaan. Padahal melalui otomasi perpustakaan, pengguna perpustakaan akan semakin termanjakan oleh perpustakaan. Perpustakaan semakin menuju kearah layanan yang memberikan kepuasan kepada siapapun yang mengaksesnya.
Keterbatasan inilah yang sebenarnya dapat dijembatani oleh munculnya gerakan open source. Gerakan open source yang menghasilkan produk berupa perangkat lunak berbasis open source memungkinkan perpustakaan memperoleh perangkat lunak yang dibutuhkan tanpa harus mengeluarkan dana. Hal ini merupakan solusi permasalahan klasik selama ini, penyebabkan perpustakaan tidak mampu melakukan otomasi perpustakaan karena keterbatasan dana sehingga perpustakaan tidak mampu mengadakan perangkat lunak otomasi.
Dengan demikian maka keterbatasan dana bukan lagi masalah yang mampu menghambat implementasi perpustakaan berbasis teknologi informasi. Keterbatasan dana bukan lagi menjadi alasan karena kebutuhan perpustakaan terkait dengan pengadaan perangkat lunak perpustakaan telah disediakan oleh gerakan open source. Justru yang lebih penting disini adalah niat dari pengelola perpustakaan untuk belajar memanfaatkan produk-produk gerakan open source. Bahasa Pemrograman yang termasuk dalam kategori open source antara lain PHP dan Perl. Untuk database yang termasuk dalam kategori open source adalah MySQL dan Postgre SQL. Sedangkan yang dimaksud dengan perangkat lunak tambahan berbasis open source, adalah penggunaan aplikasi web server berbasis open source seperti Apache.
2. Transformasi dari Sistem Perpustakaan Traditional ke Perpustakaan Digital
Perlu formulasi kebijakan, perencanaan strategis secara holistic termasuk aspek hukum (copyrights), standarisasi, pengembangan koleksi, infrastruktur jaringan, metoda akses, pendanaan, kolaborasi, kontrol bibliografi, pelestarian, dan sebagainya untuk memandu keberhasilan mengintegrasikan tradisional ke format digital.
Penguatan kapasitas kebijakan harus ditekankan pada pelatihan dan penyegaran kepada staf perpustakaan dan pemakai dengan adanya layanan perpustakaan terotomasi seperti : penggunaan “search engine” dengan konsep “a one stop window”, subject gateways, aplikasi perangkat lunak, sumber daya informasi secara online, digitalisasi, dan lain-lain.
Dunia perpustakaan semakin hari semakin berkembang dan bergerak ke depan. Perkembangan dunia perpustakaan ini didukung oleh perkembangan teknologi informasi dan pemanfaatannya yang telah merambah ke berbagai bidang. Hingga saat ini tercatat beberapa masalah di dunia perpustakaan yang dicoba didekati dengan menggunakan teknologi informasi.
Dari segi data dan dokumen yang disimpan di perpustakaan, dimulai dari perpustakaan tradisional yang hanya terdiri dari kumpulan koleksi buku tanpa katalog, kemudian muncul perpustakaan semi modern yang menggunakan katalog (index). Katalog mengalami metamorfosa menjadi katalog elektronik yang lebih mudah dan cepat dalam pencarian kembali koleksi yang disimpan di perpustakaan.
Koleksi perpustakaan juga mulai dialihmediakan ke bentuk elektronik yang lebih tidak memakan tempat dan mudah ditemukan kembali. Ini adalah perkembangan mutakhir dari perpustakaan, yaitu dengan munculnya perpustakaan digital ( digital library) yang memiliki keunggulan dalam kecepatan pengaksesan karena berorientasi ke data digital dan media jaringan komputer (internet).
Di sisi lain, dari segi manajemen (teknik pengelolaan), dengan semakin kompleksnya koleksi perpustakaan, data peminjam, transaksi dan sirkulasi koleksi perpustakaan, saat ini muncul kebutuhan akan penggunaan teknologi informasi untuk otomatisasi business process di perpustakaan. Sistem yang dikembangkan dengan pemikiran dasar bagaimana kita melakukan otomatisasi terhadap berbagai business process di perpustakaan, kemudian terkenal dengan sebutan sistem otomasi perpustakaan (library automation system).
3. Pengelolaan Dokumen Elektronik
Pengelolaan dokumen elektronik memerlukan teknik khusus yang memiliki perbedaan dengan pengelolaan dokumen tercetak. Proses pengelolaan dokumen elektronik melewati beberapa tahapan, yang dapat kita rangkumkan dalam proses digitalisasi, penyimpanan dan pengaksesan/temu kembali dokumen. Pengelolaan dokumen elektronik yang baik dan terstruktur adalah bekal penting dalam pembangunan sistem perpustakaan terotomasi bahkan perpustakaan digital (digital library)
a) Proses Digitalisasi Dokumen
Proses perubahan dari dokumen tercetak (printed document) menjadi dokumen elektronik sering disebut dengan proses digitalisasi dokumen. Dokumen mentah (jurnal, prosiding, buku, majalah, dsb) diproses dengan sebuah alat (scanner) untuk menghasilkan doumen elektronik. Proses digitalisasi dokumen ini tentu tidak diperlukan lagi apabila dokumen elektronik sudah menjadi standar dalam proses dokumentasi sebuah organisasi.

b) Proses Penyimpanan
Pada tahap ini dilakukan proses penyimpanan dimana termasuk didalamnya adalah pemasukan data (data entry), editing, pembuatan indeks dan klasifikasi berdasarkan subjek dari dokumen. Klasifikasi bisa menggunakan UDC (Universal Decimal Classification) atau DDC (Dewey Decimal Classfication) yang banyak digunakan di perpustakaanperpustakaan di Indonesia.
Ada dua pendekatan dalam proses penyimpanan, yaitu pendekatan basis file (file base approach) dan pendekatan basis data (database approach). Masing-masing pendekatan memiliki kelebihan dan kelemahan, dan kita dapat memilih pendekatan mana yang akan kita gunakan berdasarkan kebutuhan.
c) Proses Pengaksesan dan Pencarian Kembali Dokumen
Inti dari proses ini adalah bagaimana kita dapat melakukan pencarian kembali terhadap dokumen yang telah kita simpan. Metode pengaksesan dan pencarian kembali dokumen akan mengikuti pendekatan proses penyimpanan yang kita pilih. Pendekatan database membuat proses ini lebih fleksibel dan efektif dilakukan, terutama untuk penyimpanan data skala besar. Disisi lain, kelemahannya adalah relatif lebih rumitnya sistem dan proses yang harus kita lakukan.
4. Pengembangan Sistem Otomasi Perpustakaan Berdasar Business Process di Perpustakaan
Sistem otomasi perpustakaan yang kita kembangkan harus berdasarkan kepada proses bisnis (business process) sebenarnya yang ada di perpustakaan kita. Prosentase kegagalan implementasi suatu sistem dikarenakan sistem dikembangkan bukan berdasarkan kebutuhan dan proses bisnis yang ada di organisasi yang akan menggunakan sistem tersebut.
Sistem otomasi perpustakaan yang baik adalah yang terintegrasi, mulai dari sistem pengadaan bahan pustaka, pengolahan bahan pustaka, sistem pencarian kembali bahan pustaka, sistem sirkulasi, membership, pengaturan denda keterlambatan pengembalian, dan sistem reporting aktifitas perpustakaan dengan berbagai parameter pilihan.
Lebih sempurna lagi apabila sistem otomasi perpustakaan dilengkapi dengan barcoding, dan mekanisme pengaksesan data berbasis web dan internet.
  1. Tantangan Otomasi Perpustakaan di Indonesia
Pengembangan sistem otomasi perpustakaan di Indonesia diawali sekitar 1985, ketika PDIN (Pusat Dokumentasi dan Informasi Nasional, kini Pusat Dokumentasi dan Informasi Ilmiah - PDII) menggunakan program MINISIS atau CDS/ISIS versi komputer mini dari UNESCO. Saat itu komputer PC (Personal Computer) belum berkembang dengan baik seperti dewasa ini. Kemudian Perpustakaan Lembaga Kelistrikan Nasional mengembangkan program untuk mengelola data perpustakaan dengan memanfaatkan dBase II dan Litbang Depkes RI membuat sistem otomasi perpustakaan berbasis dBase III. Otomasi perpustakaan perguruan tinggi antara lain dirintis oleh Institut Pertanian Bogor tahun 1986, saat kepindahannya ke kampus baru Darmaga dengan program SIMPUS (Sistem Perpustakaan) berbasis dBase III Plus (Mustafa, 2005).
Sistem otomasi perpustakaan yang baik adalah yang terintegrasi, mulai dari system pengadaan bahan pustaka, pengolahan bahan pustaka, sistem pencarian kembali bahan pustaka, sistem sirkulasi, membership, pengaturan denda keterlambatan pengembalian, dan sistem reporting aktifitas perpustakaan dengan berbagai parameter pilihan. Lebih sempurna lagi apabila sistem otomasi perpustakaan dilengkapi dengan barcoding, dan mekanisme pengaksesan data berbasis web dan internet (Wahono, 2006).
1. Kendala Dalam Otomasi Perpustakaan
Pada tahun 1960-an dan awal 1970-an banyak pustakawan merasa keberatan terhadap pengembangan system perpustakaan berbasis komputer. Salah satu artikel klasik yang berkaitan dengan topik ini ditulis oleh Ellsworth Mason dalam Qolyubi (2003) yang mengungakapkan bahwa ada delapan mitos yang dipegangi oleh pustakawan pada saat itu, yaitu sebagai berikut: 1) Tidak semua hal bisa ditangani oleh computer; 2) Prosedur-prosedur berbasis computer tidak selalu lebih efisien daripada yang bersifat manual; 3) Sistem berbasis computer tidak murah; 4) Tidak mudah untuk diimplementasikan pada computer baru; 5) Program-program pada sistem berbasis komputer sukar ditransfer ke perpustakaan-perpustakaan; 6) Tidak mudah untuk men-Share jasa komputer; 7) Tidak mudah untuk menggabungkan sistem perpustakaan yang bersifat individual ke dalam suatu sistem yang teritegrasi secara total; 8) Pemakai tidak akan menerima jasa yang lebih baik dari sistem perpustakaan berbasis komputer.
Kendala-kendala klasik tersebut sangat dirasakan dalam membangun sistem otomasi perpustakaan di Indonesia. Inventarisasi kendala otomasi perpustakaan di Indonesia yang sering muncul antara lain :
a. Kesalahpahaman tentang otomasi perpustakaan
Ada beberapa anggapan yang tidak benar. Anggapan yang pertama bahwa biaya otomasi perpustakaan sangat besar. Pengalaman membuktikan bahwa dengan adanya otomasi perpustakaan justru menghemat biaya. Penghematan tersebut dapat dihitung, misalnya, dalam pembuatan dan penyajian katalog. Apabila kita menerapkan sistem manual yang standar, perpustakaan harus membuat 5 katalog untuk setiap judul buku. Masing-masing adalah katalog judul, pengarang, dan subyek untuk kepentingan pemustaka agar mereka dapat akses melalui tiga titik akses tersebut.
Dua katalog lainnya adalah Shelf List Catalog untuk kepentingan staf perpustakaan. Dari gambaran di atas dapat ditaksir besar biaya yang diperlukan untuk pembuatan catalog, biaya untuk tenaga, kertas, tinta, rak katalog dan sebagainya. Pada awalnya memang pembangunan otomasi perpustakaan memerlukan investasi yang besar. Namun dengan adanya kemajuan teknologi informasi sekarang ini harga hardware semakin turun dan juga muncul software open source yang dapat diunduh secara gratis untuk kepentingan otomasi perpustakaan, hal tersebut dapat menekan biaya untuk pembangunan otomasi perpustakaan.
b. Kurangnya staf yang terlatih
Kurangnya staf yang terlatih juga menjadi kendala yang menghambat pengembangan otomasi perpustakaan. Pembangunan otomasi perpustakaan paling tidak mempunyai staf yang mampu mengoperasikan komputer (operator), lebih baik apabila mempunyai tenaga ahli. Banyak perpustakaan yang sampai saat ini masih menjadi tempat pembuangan. Artinya bila ada staf yang sulit dibina biasanya penentu kebijakan/pimpinan akan memindahkan staf tersebut ke perpustakaan. Hal inilah yang dapat menyebabkan terhambatnya pengembangan perpustakaan termasuk dalam membangun otomasi perpustakaan.
c. Kurangnya dukungan dari pihak pimpinan
Dukungan pimpinan merupakan hal yang penting dan strategis dalam membangun otomasi perpustakaan. Tanpa dukungan pimpinan yang memadai rencana otomasi perpustakaan tidak akan berhasil dengan baik. Dukungan tersebut dapat berupa dana, pengembangan staf, dan dukungan moril.
d. Input data
Proses input data dapat juga menjadi kendala dalam membangun otomasi perpustakaan. Apalagi jumlah koleksi perpustakaan sudah besar tentu akan memakan waktu dan biaya yang tidak sedikit. Agar proses input data dapat lancar dan tidak perlu dana besar serta tidak mengganggu layanan perpustakaan, sebaiknya pada permulaan pelaksanaan otomasi perpustakaan tetap menjalankan dua sistem yaitu sistem manual dan sistem otomasi.
Untuk melengkapi penjelasan kendala-kendala otomasi perpustakaan di atas, berikut pendapat Qolyubi (2003), bahwa pada umumnya permasalahan potensial terhadap penerapan sistem perpustakaan berbasis komputer dapat digolongkan ke dalam beberapa tajuk, antara lain sebagai berikut:
1) Perangkat keras (Hardware)
Supplier yang gagal dalam menyediakan hal-hal yang sangat dibutuhkan dalam bekerja, skala waktu yang benar, dan harga yang layak, serta penyediaan jasa pemeliharaan yang sesuai. Di samping itu, perangkat keras yang telah didesain tidak dapat menguasai jumlah data untuk diproses atau tidak dapat merespons secara cepat. Pemakai tidak suka bekerja pada workstation yang online apabila system computer mengambil waktu yang signifikan untuk merespon setiap pertanyaan.
2) Perangkat lunak (Software)
Pada tataran ini, permasalahan terletak pada ketidaklayakan desain, implementasi, pengujian, dan dokumentasi. Problem ini cenderung muncul apabila perangkat keras dikembangkan secara inhouse daripada menggunakan suatu paket purpouse-build. Pada system paket ini akan muncul masalah jika peluncuran baru yang dijanjikan tidak ada atau tidak adanya suatu perbandingan antara kesalahan yang terjadi pada peluncuran yang baru dan peluncuran yang lama. Oleh karena itu, kesuksesan system tersebut perlu ada komitmen dari supplier untuk mengadakan pengembangan dan pemeliharaan program.
3) Manusia
Masalah potensial yang berkaitan dengan factor manusia diantaranya adalah desain system komputer tidak didasarkan pada kebutuhan riil pemakai, kurangnya komunikasi antara staf perpustakaan dan staf computer dalam merencanakan, mendesain, mengimplementasikan, dan menjalankan system tersebut. Cox dkk. Selama pertengahan tahun 1960-an mengidentifikasi beberapa area kesalahpahaman yang dapat terjadi adalah antara staf perpustakaan dan staf computer sebagai pustakawan memiliki harapan terlalu tinggi terhadap system computer, sedangkan orang-orang computer tidak memahami kebutuhan riil perpustakaan.
Masalah potensial lainnya adalah tidak adanya komunikasi dalam perpustakaan. Apabila staf yang tidak terlibat secara langsung dalam pengembangan dan implementasi system berbasis computer tersebut tidak mengetahui tujuan, kemajuan, dan implikasi-implikasi yang lain, mereka sulit untuk mempercayai bahwa system tersebut sangat dibutuhkan dan berpengaruh pada perpustakaan. Masalah lainnya adalah dampak terhadap struktur organisasi di Perpustakaan. Struktur organisasi perpustakaan perlu menyesuaikan dengan system berbasis computer.
4) Keuangan
Penerapan suatu system perlu pemahaman yang mendalam terhadap system tersebut sehingga hal itu mengharuskan orang-orang yang akan terlibat di dalamnya harus mengikuti serangkaian pendidikan atau workshop. Tujuannya adalah untuk memahami seluk-beluk perangkat keras dan pengembangan perangkat lunaknya. Dan semua itu membutuhkan dana.
Selain itu dalam prakteknya ada sejumlah perpustakaan mengalami beberapa tantangan yang boleh jadi dapat memacu maupun menghambat perpustakaan itu sendiri.
1.Tantangan pertama
Saat ini pemanfaatan internet telah sangat banyak. Bahkan dalam suatu survey, terlihat anak-anak sekarang akan memprioritaskan internet sebagai alat Bantu dalam menyelesaikan tugas-tugas sekola ataupun perkuliahannya. Dengan kata lain, internet telah menjadi fasilitas utama penunjang pendidikan dan mengesampingkan adanya perpustakaan. Fenomena ini juga semakin terlihat di Indonesia dimana semakin banyak anak-anak yang menggunakan internet sebagai alat Bantu untuk menyelesaikan tugas atau pekerjaan rumah.
Sementara itu, internet pun juga terus berkembang dan saat ini masyarakat telah banyak memanfaatkan web 2.0 sebagai suatu media untuk berkomunikasi dan berbagi pengalaman dan cerita, berbagi gambar, berbagi audio dan sebagainya.
Sebagian perpustakaan juga telah mulai menerapkan web 2.0 agar fasilitas dan informasi mereka dapat dengan mudah diketahui oleh para penggunanya. Web 2.0 merupakan pengembangan internet sebagai media untuk bersosialisasi dengan sesama serta untuk berbagi. Dalam kaitan dengan perpustakaan, web 2.0 dapat digunakan misalnya untuk lebih menjelaskan tentang isi katalog. Dengan berbasis web 2.0 maka katalog yang dulunya hanya berisi informasi serba sedikit tentang sebuah buku, kini informasinya jauh lebih bermanfaat dari sebelumnya, karena katalog ini dilengkapi dengan daftar isi buku, review dan lain sebagainya; bahkan orang yang pernah membaca buku tersebut dapat pula menambahkan informasi tentang buku tersebut.
Walaupun saat ini para pustakawan Indonesia masih berbicara tentang perpustakaan digital dengan berbagai seluk beluknya dan semoga dalam waktu yang tidak terlalu lama akan pula masuk dalam kancah web 2.0 dan library 2.0. Dan tentu saja masih ada berbagai kemajuan web 2.0 yang dapat diterapkan di perpustakaan. Untuk dapat maju dan sejajar dengan para pustakawan di negara lain, kita harus berani tampil dalam dunia kepustakawanan yang berwawasan multidisiplin dan multi-skills.
2.Tantangan kedua
Beberapa waktu yang lalu penulis sempat bertemu dengan Jeffrey Trzeciak, kepala Perpustakaan McMaster University. Penulis bertemu beliau dalam suatu forum di China. Beliau mengatakan telah mengangkat 7 pustakawan baru yaitu (1) gaming librarian, (2) digital strategist, (3) digital technologist, (4) e-resources librarian, (5) archivist librarian, (6) marketing and communication librarian, (7) teaching and learning librarian. Ketujuh posisi tersebut dijabat oleh para pustakawan dan berlatar belakang pustakawan juga. Bagaimana dengan kita? Beranikah kita merancang peran-peran baru dalam kepustakawanan? Ataukah kita akan tetap terbelenggu dengan rutinitas sesuai yang tertulis pada jabatan fungsional pustakawan?
3. Tantangan ketiga
Tantangan ketiga merupakan tantangan klasik yang terutama kita hadapi dalam dunia sehari-hari. Walaupun selalu saja banyak perpustakaan mengatakan bahwa perpustakaan mereka selalu ramai dikunjungi oleh para pemakainya, namun perlu ditelusuri lebih lanjut, berapa persen dari masyarakat tersebut yang telah memanfaatkan perpustakaan. Angka statistic yang besar tidak akan ada artinya bila pembaginya sangat besar. Pengembangan minat baca memang harus dilakukan dari kecil dan jangan sampai terputus di tengah jalan. Untuk itulah kita perlu memikirkan juga para pustakawan yang bekerja di sekolah-sekolah (SD, SMP, dan SMA) agar perjuangan mereka bisa lebih diargai dan mendapatkan apresiasi yang lebih baik lagi. Usia sekolah merupakan critical ages untuk mengembangkan minat baca, sehingga pustakawan harus mendapatkan dukungan dalam rangka meningkatkan minat baca tersebut. UNESCO telah mengeluarkan berbagai bacaan tentang literasi yang sangat baik untuk dipelajari oleh para pustakawan.
4.Tantangan keempat
Tantangan ini ada di dunia kampus dan setelahnya. Para pengajar dan pembelajar akan sangat baik kalau bisa mempertimbangkan para calon pustakawan tersebut tidak hanya memiliki ketrampilan dalam bidangnya saja, tetapi juga mampu berbicara pada forum-forum yang mungkin berawal dari kampus dan kemudian masuk ke tingkat lokal, nasional dan internasional. Penulis merasakan betapa sedikitnya pustakawan kita yang berperan serta dalam kancah internasional. Dua kali saya mempresentasikan makalah di konferensi perpustakaan internasional yang diselenggarakan di Malaysia, tetapi tak satu pun pustakawan Indonesia mengikutinya. Juga di forum IFLA, misalnya, lebih berperan sebagai peserta dan itupun didominasi oleh Perpustakaan Nasional, sedangkan presenter dari Indonesia hanya satu.orang saja. Pada pertemuan kongres internasional ALA dua bulan lalu beberapa pustakawan ramai ramai menulis satu makalah yang lolos karena penulis utamanya adalah orang Amerika sendiri
III. Penutup
Sistem otomasi perpustakaan sangat bermanfaat dan mempermudah dalam proses kegiatan yang ada di perpustakaan karena telah terotomasi, sehingga semakin mempermudah akses temu kembali informasi dan dengan begitu akan lebih mempermudah tugas pustakawan atau tenaga pengelola teknis yang bekerja di perpustakaan.
Perpustakaan yang andal di masa depan adalah perpustakaan yang memiliki kemampuan akses terhadap teknologi. Dalam hal ini, perpustakan terotomasi merupakan perpustakaan yang dimotori oleh keunggulan teknologi. Sistem dan manajemennya telah didukung oleh teknologi serta koleksi-koleksinya berupa teknologi yang telah diotomasi. Keberadaan otomasi perpustakaan akan memberikan wajah baru dalam dunia perpustakaan, sedangkan image negatif yang telah memarginalisasikan perpustakaan akan terpecahkan. Di samping itu, otomasi memiliki daya sistem pelayanan yang super efisien, akurat, dan cepat sehingga pemakai atau anggota perpustakaan akan merasa nyaman dan puas.
Daftar Pustaka
Bambang Hariyanto (2003), Sistem Pengarsipan dan Metode Akses, Informatika, Bandung.
Diao, Ai Lien (2003), Perubahan perpustakaan perguruan tinggi dan kebutuhan akan tenaga baru, Makalah yang dipresentasikan di Musyawarah Kerja Nasional II dan Seminar Ilmiah Forum Perpustakaan Perguruan Tinggi Indonesia (FPPTI), yang diselenggarakan pada tanggal 16-18 September 2003 di Pusat Studi Jepang Universitas Indonesia, Depok.
Diao, Ai Lien. Transpormasi Dunia Perpustakaan. http://www.aptik.or.id/artikel/TRANSFORMASI%20DUNIA%20PERPUSTAKAAN2.pdf. Diakses tanggal 15 November 2009
Fahmi, Ismail. Pendayagunaan Digital Library Network Untuk Mendukung Riset Nasional. http://yb1zdx.arc.itb.ac.id/data/OWP/library-sw-hw/digital-library/gdl40/PAPERS/filosofi-teknis-idln.PDF. Diakses tanggal 15 November 2009
Hakim, Heri Abi Burachman. Open source Sebuah Peluang Bagi Pengembangan Perpustakaan.http://www.heri_abi.staff.ugm.ac.id/index.php?option=com_content&task=view&id=17&Itemid=33. Diakses tanggal 15 November 2009

Harmawan, Sistem Otomasi Perpustakaan.
http://blog.unila.ac.id/ainul/files/2009/06/tugas-ta.doc., akses jum’at 13 Nov 09, pukul 15.03 wib
Lasa HS (2005), ManajemenPerpustakaan, Yogyakarta, Gama Media.
Mustafa, B.2005. Peta Otomasi Perpustakaan Di Indonesia: Studi Kasus Software Sipisis
Otomasi Perpustakaan. http://librarycorner.org/2007/02/28/otomasi-perpustakaan/. Diakses tanggal 15 November 2009
Priyanto, Ida Fajar, (2008),Tantangan baru dunia kepustakawanan:Menuju masa depan yang berubah.http://lib.ugm.ac.id/data/pubdata/pusta/priyanto UIN.pdf. Diakses tanggal 15 November 2009
Satria, Romi, http://romisatriawahono.net/publications/1998/romi-tekno98.pdf. Diakses tanggal 15 November 2009
Setiarso, Bambang, Pengembangan Perpustakaan Digital (DL) di Instansi Pemerintah. http://media.diknas.go.id/media/document/4364.pdf. Diakses tanggal 15 November 2009
Sulistiyo-Basuki, (2004), Pengantar Dokumentasi. Rekayasa Sains.
Qalyubi, Syihabuddin. dkk. 2003. Dasar-dasar Ilmu Perpustakaan dan Informasi. Yogyakarta: Jurusan Ilmu Perpustakaan dan Informasi, Fakultas Adab IAIN Sunan Kalijaga.
Wahono, Romi Satria.2006. Teknologi Informasi untuk Perpustakaan: Perpustakaan Digital dan Sistem Otomasi Perpustakaan, dalam ilmukomputer.com, akses Senin 16 Nov 2009, pukul 15.22 wib.
Wahyudi, Kumoroto, dan Subandono Agus Margono, (1999), Sistem Informasi Manajemen Dalam Organisasi-organisasi Publik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.