Agar sebuah profesi tetap eksis dan bermartabat perlu didukung oleh payung hukum yang dilindungi oleh negara. Sebagai contoh sejak dikeluarkannya UU No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, pemerintah tidak membedakan profesi tersebut berdasar dimana lingkungan mereka bekerja, apakah mereka guru dan dosen negeri (PNS) atau guru dan dosen swasta. Profesi tersebut diberikan hak-hak yang pantas dan dihargai harkat dan martabatnya karena mereka selama ini telah menjalankan kewajibannya dalam mencerdaskan kehidupan bangsa seperti yang diamanatkan dalam Konstitusi.
Hak-hak yang diberikan pun tidak membedakan apakah mereka dari golongan PNS atau swasta. Jika memenuhi semua persyaratan, mereka dapat diberi berbagai macam tunjangan, hak cuti bahkan diberi perlindungan keamaanan selama mereka bertugas. Pada pasal 51 sampai dengan 59 UU No. 14 tahun 2005 misalnya seorang dosen dapat mendapat tunjangan kehormatan, cuti, pengembangan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi dsb.
Seharusnya Profesi Pustakawan pantas iri juga, bukankah pustakawan selama ini dikenal sebagai profesi yang menunjang tugas guru dan dosen dalam proses pendidikan. Dengan tidak diaturnya secara utuh perihal profesi pustakawan dalam UU No. 43 tahun 2007 yang baru saja disahkan menjadi UU tentang Perpustakaan, kelihatannya profesi ini masih dianggap sebelah mata di negeri kita sendiri. Beberapa peraturan yang dikeluarkan pemerintah selama ini (lihat Perpres RI No. 40 tahun 2006 tentang Tunjangan Jabatan Fungsional, Arsiparis dan Pustakawan) memang mengatur profesi tersebut tapi hanya sekedar pemberian tunjangan fungsional bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS) sedangkan bagi mereka yang mengabdikan diluar pemerintahan tidak diatur secara mengikat, bagaimana dengan hak-hak lain seperti perlindungan profesi selama mereka bekerja, hak pengembangan pendidikan profesi ke jenjang yang lebih tinggi, hak memperoleh penghasilan di atas kebutuhan hidup, hak otonomi keilmuan, dan hak berserikat.
Justru dikeluarkannya Perpres RI No. 40 tahun 2006 yang hanya berlaku dan dikhususkan pada pustakawan yang menjalankan tugasnya di birokrasi atau berkarir sebagai pegawai negeri sipil ( PNS ) semakin nampak dikotomi antara pustakawan pemerintah dan “pekerja Perpustakaan” di luar pemerintah. Mengapa penulis menyebut pekerja perpustakaan di luar pemerintah karena sebelum RUU Perpustakaan yang diajukan pemerintah disahkan oleh DPR bulan Oktober 2007 lalu belum ada peraturan setingkat Undang-Undang yang mengatur secara kompleks mengenai profesi ini.
Secara nomenklatur sebutan pustakawan sebenarnya berlaku umum tidak mengenal dikotomi pemerintah atau non pemerintah, tapi kenyataannya semua peraturan resmi mengenai pustakawan yang dikeluarkan pemerintah cenderung menguntungkan pustakawan dalam birokrasi. Sedangkan nasib pustakawan yang bekerja di swasta, pemerintah sepertinya merasa belum terlalu “urgen” untuk mengaturnya. Pustakawan non pemerintah yang selama ini banyak bekerja di sektor swasta misalnya jangan berharap mereka mendapat tunjangan fungsional seperti rekan-rekan mereka di pemerintahan, kompensasi yang mereka terima pun harus sama dengan pekerja biasa yang tidak memiliki keahlian apapun.
Alangkah gembiranya jika harapan kita profesi pustakawan dapat dihargai dengan UU dimana diatur masalah hak dan kewajiban sebagai seorang profesional yang melayani masyarakat tanpa memandang lingkungan mereka bekerja. Mungkin masih jauh harapan itu tapi bukan berarti itu hal yang mustahil jika kemudian IPI sebagai lembaga bernaungnya para pustakawan berusaha memperjuangkan UU profesi itu atau paling tidak dapat mengusulkan kepeda pemerintah dalam pembuatan peraturan pemerintah sebagai pelaksana UU No. 43 tahun 2007 tentang Perpustakaan dijabarkan lagi secara lebih kompleks mengenai hak dan kewajiban profesi pustakawan.