Kamis, 29 September 2011
AGAR TIDAK SEPERTI AYAM YANG MATI DI LUMBUNG PADI: BAGAIMANA MENJADI PUSTAWAKAN KREATIF, INOVATIF, DAN PRODUKTIF
Oleh Hernowo
"Hanya kemauan yang menjadikan manusia itu kecil atau besar."
HEINRICH HEINE
Suatu ketika Penerbit Mizan, dalam sebuah acaranya, mengundang Kang Ibing sebagai salah satu pembicara. Kang Ibing, sebagaimana kita tahu, adalah komedian yang kental dengan balutan budaya Sunda. Kang Ibing juga sosok yang sering memerankan si Kabayan—tokoh fiktif dari tanah Sunda yang digambarkan lucu (suka ngebodor) dan pintar tetapi sekaligus bodoh. Apa yang dibicarakan oleh Kang Ibing ketika diminta mengisi sebuah acara yang diadakan oleh Penerbit Mizan—sebuah penerbit yang memiliki akar di Bandung dan kini, selama 25 tahun lebih, telah memproduksi banyak buku yang menjadi bacaan masyarakat luas di Indonesia?
"Waha'i rekan-rekan yang bekerja di Penerbit Mizan," demikian Kang Ibing menujukan materi pidatonya kepada kami, para pekerja yang bekerja di Penerbit Mizan, yang memang mengisi hampir separuh lebih dari tamu undangan, "janganlah Anda sekalian seperti ayam yang mati di lumbung padi." Memang, Kang Ibing tidak menjelaskan lebih jauh tentang apa yang dikatakannya itu. Namun, saya—yang termasuk salah satu pendengar pidato Kang Ibing yang juga menjadi pekerja di Penerbit Mizan— tentu menyadari sekali akan hal itu.
Setiap bulan Penerbit Mizan, penerbit buku tempat saya bekerja, menerbitkan puluhan buku baru. Apakah buku-buku baru yang diterbitkan oleh penerbit saya sempat saya baca semua? Atau, kalau tidak semua, apakah saya benar-benar menyempatkan diri untuk memerhatikan apa saja buku-buku baru yang bermanfaat bagi diri saya? Bagaimana pula dengan buku-buku baru yang diterbitkan oleh penerbit selain Penerbit Mizan? Dalam Kelompok Mizan saja, kini ada banyak penerbit dengan corak buku terbitannya yang sangat beragam. Ada Qanita, Kaifa, Mizania, Hikmah, Bentang, dan masih banyak lagi. Belum penerbit di luar Kelompok Mizan.
1
Lantas, yang layak untuk saya perhatikan lagi, penerbit tempat saya bekerja juga melanggan sebuah majalah perbukuan dari Amerika Serikat. Majalah perbukuan itu bernama Publishers Weekly dan terbit setiap minggu. Lewat majalah tersebut saya menyaksikan dengan mata kepala sendiri bahwa di negeri adidaya itu setiap minggu diterbitkan buku baru yang jumlahnya mungkin ratusan. Dan kini, di zaman kita saat ini, informasi tidak hanya disebar lewat medium kertas tetapi juga medium lain. Internet adalah salah satu contoh medium baru penyebar informasi yang memiliki kecepatan dan kuantitas yang luar biasa.
Hidup memang tidak harus diisi dengan membaca. Namun, apakah hidup dapat mencapai tingkat yang sedemikian berkualitas jika dijalani tanpa membaca? Saya tiba-tiba teringat kata-kata indah dan demikian "powerful" yang dilontarkan oleh Jostein Gaarder dan Klaus Hagerup dalam karya mereka, Perpustakaan Ajaib Bibbi Bokken, begitu mendengar apa yang disampaikan oleh Kang Ibing. Gaarder dan Hagrup mengatakan, "Setiap kali aku membuka sebuah buku, aku menguak sepetak langit. Dan jika aku membaca sederetan kalimat baru, aku lebih banyak tahu dibandingkan sebelumnya. Dan segala yang kubaca membuat dunia dan diriku sendiri menjadi lebih besar dan luas."
Bagaimana agar diri saya dapat menjalankan kegiatan membaca secara kontinu dan konsisten? Bagaimana agar kegiatan membaca dapat menjadikan diri saya ini produktif sekaligus -kreatif? Apakah ada cara-cara baru yang dapat saya temukan dan jalankan sehingga kegiatan membaca dan menulis tidak mudah jatuh pada kegiatan yang sangat melelahkan, membebani, dan membosankan? Apakah membaca dan menulis dapat menyulap diri saya ini menjadi diri yang penuh dengan ide-ide yang brilian dan inovatif?
Menemukan dan Menjalankan Konsep "Mengikat Makna"
Tidak ada yang baru terkait dengan membaca. Dari dahulu hingga sekarang—di zaman yang sangat canggih terutama jika kita merujuk ke perkembangan teknologi informasi dan komunikasi—membaca tidaklah berubah. Mata kita menatap teks, kemudian pikiran bekerja untuk memahami apa yang disajikan oleh teks. Kadang-kadang, untuk memahami deretan teks yang disusun oleh seorang penulis, pikiran kita perlu mengunyah dalam waktu tertentu dan kemudian mencemanya. Ada deretan teks yang mudah dikunyah dan dicerna, ada juga deretan teks yang sangat sulit dikunyah— apalagi dicerna.
2
Begitulah membaca. Pada suatu ketika, saya terusik untuk bertanya, "Setelah saya memahami sederetan teks dari hasil kegiatan membaca, ke mana hasil pemahaman itu saya simpan?" Saya bertanya seperti ini karena jika saya membaca sebuah buku, saya mungkin mendapatkan sekian kali pemahaman begitu saya membaca halaman-halaman buku tersebut. Ada buku yang memiliki halaman dalam jumlah sedikit, misalnya tidak sampai seratus halaman, ada pula buku yang memiliki ketebalan halaman di atas tigaratus halaman. Sekali lagi, saya simpan di mana jika saya mendapatkan sekian ratus pemahaman?
Ada kemungkinan saya sudah membaca ratusan atau bahkan ribuan buku. Di manakah hasil kegiatan membaca saya yang sangat banyak dan tidak ringan itu? Apakah saya benar-benar mendapatkan sesuatu yang bermanfaat—misalnya ilmu— ketika saya menjalankan kegiatan membaca? Apabila ya, apa buktinya? Bukankah banyak sekali buku yang telah saya baca dan pada saat buku itu saya baca, saya pun mendapatkan sesuatu yang sangat bermanfaat, namun begitu waktu berlalu, saya pun melupakan hampir semuanya? Kadang saya pun dihinggapi rasa sebal dan kesal karena saya lupa apa yang telah saya baca?
Bahkan kejadian yang lebih parah pun kerap melanda diri saya. Dikarenakan saya sering mengalami rasa sebal dan kesal ketika menjalankan kegiatan membaca— karena yang saya baca kemudian terlupa begitu saja—saya pun menghentikan kegiatan membaca yang seharusnya memberikan manfaat kepada saya. Penghentian kegiatan membaca itu kadang-kadang tanpa sadar. Tiba-tiba saja saya berhenti membaca. Ada semacam rasa malas yang menjalar di dalam diri saya untuk membaca. Bahkan, saya rasakan sekali begitu saya menghentikan kegiatan membaca dalam jangka waktu yang lama, untuk memulai membaca kembali ada semacam beban yang tidak tertanggungkan.
Saya yakin bahwa rentetan penghentian kegiatan membaca hingga munculnya rasa malas membaca itu tentu ada sebabnya. Saya pun menduga itu dikarenakan oleh apa yang saya pahami dari membaca kemudian saya lupakan. Atau, dalam bahasa lain, dapat dikatakan bahwa sesungguhnya ketika saya membaca, dan begitu selesai membaca, saya tidak mendapatkan apa-apa. Benar bahwa selama membaca saya seperti mendapatkan pengetahuan akan apa yang saya baca. Namun, begitu saya menutup buku y&ng saya baca, apa yang saya dapat dari membaca itu hilang bersama ditutupnya lembaran-lembaran buku tersebut. Mungkin ada yang tersisa sedikit di benak saya tentang hal-hal yang mengesankan, namun begitu waktu berlalu, yang tersisa itu pun musnah tidak berbekas.
3
Saya pun berjanji untuk menemukan cara membaca yang benar-benar menghasilkan sesuatu yang bermanfaat. Apabila saya membaca dan saya mendapatkan secara konkret sesuatu yang bermanfaat dari membaca, tentulah saya akan terus membaca. Entah dari mana mulainya, saya kemudian terinspirasi oleh kata-kata yang diringkas dari Sayyidina Ali bin Abi Thalib r.a. Kata-kata itu berbunyi demikian, "Ikatlah ilmu dengan menuliskannya." Akhirnya, saya pun menemukan konsep bernama "mengikat makna". Saya harus menuliskan hasil-hasil kegiatan membaca saya begitu saya selesai membaca.
Melahap Buku dengan Metode "Ngemil"?
Konsep "mengikat makna" menjadikan diri saya kreatif dalam menjalankan kegiatan membaca dan menulis. Saya setuju dengan riset ahli linguistik Dr. Stephen D. Krashen dalam karyanya, The Power of Reading, bahwa terbentuknya kemampuan menulis berasal dari kegiatan membaca. Saya menjadi penulis yang produktif sekaligus kreatif pada usia 44 tahun gara-gara "kerakusan" saya dalam melahap buku. Di banyak buku yang saya ciptakan, saya senantiasa mengatakan kepada para pembaca buku saya bahwa saya dapat menulis dan mencipta banyak buku karena membaca.
Setelah saya renungkan pernyataan saya itu dan saya amati beberapa penulis produktif seperti Ustad Quraish (Muhammad Quraish Shihab) dan Kang Jalal (Jalaluddin Rakhmat), saya berkesimpulan bahwa menulis atau membuat buku itu hanyalah menuangkan hasil kegiatan membaca. Tentu, saya tidak ingin memudahkan persoalan. Namun, saya meyakini bahwa membaca adalah kegiatan paling utama yang harus dilakukan seseorang agar dia menjadi penulis yang baik. Menulis tanpa membaca tentu saja bisa.. Namun, apabila seseorang mau membaca terlebih dahulu sebelum menjalankan kegiatan menulis, tentulah dia akan lebih lancar dan lebih mudah dalam menulis. Dan bukan hanya itu yang diperoleh. Para penulis yang rajin membaca adalah mereka yang bersandar pada sandaran yang sangat kuat.
Saya menganggap membaca adalah memasukkkan kata-kata ke dalam diri. Semakin banyak dan semakin berkualitas bahan bacaan yang^dibaca oleh seseorang, itu berarti semakin banyak dan semakin berkualitas pula kata-kata yang dimasukkan olehnya ke dalam diri. Sementara itu, saya menganggap bahwa menulis adalah mengeluarkan apa saja yang ada di dalam diri—apakah itu dalam bentuk pengalaman, pengetahuan, pemahanam, gagasan, dsb.—dengan bantuan kata-kata yang sudah tersedia di dalam diri. Apabila diri itu miskin kata-kata alias tidak suka membaca, tentulah
4
diri itu akan kesulitan dalam menulis atau mengeluarkan apa yang ingin dikeluarkan secara tertulis.
Akhirnya, saya pun bertekad untuk menata kegiatan membaca saya. Betapa pentingnya membaca yang benar, tertata, dan teratur agar kegiatan menulis menjadi lebih lancar dan tidak banyak hambatan. Salah satu metode membaca yang saya temukan adalah metode "ngemil". Metode "ngemil" ini, selain sangat mendukung konsep "mengikat makna", juga saya temukan ketika saya menganggap buku sebagai makanan—"makanan ruhani". Metode "ngemil" ini saya jelaskan secara panjang lebar ketika saya menulis buku yang sangat saya sukai, Andaikan Buku Itu Sepotong Pizza. "Ngemil" pelbagai camilan atau makanan ringan tentulah sudah biasa; namun, apakah "ngemil" dalam konteks membaca buku merupakan hal yang biasa?
Untuk dapat menjalankan metode "ngemil" dalam membaca, pertama-tama Anda harus bersedia untuk memilih dan benar-benar menyiapkan sebuah buku yang memang menurut Anda penting untuk dibaca secara mencicil. Buku itu pun harus Anda bawa ke mana-mana. Selanjutnya, metode "ngemil" berhak Anda jalankan ketika Anda menganggur atau memiliki waktu luang. Anda tentu tidak dapat membaca jika Anda sibuk bukan? Nah, ketika Anda menganggur—sedang menunggu sesuatu, sedang dalam perjalanan, sedang tidak sibuk—saatnyalah Anda membaca buku yang telah Anda siapkan dan bawa ke mana-mana itu. Janganlah Anda berpikir bahwa Anda nanti dapat mencari bahan bacaan untuk dibaca ketika Anda menganggur. Kenapa? Karena ada kemungkinan Anda tidak mendapatkan bahan bacaan yang sesuai dengan selera Anda. Apabila bahan bacaan itu tidak sesuai dengan harapan Anda, Anda pasti malas untuk membaca—meskipun Anda punya waktu untuk membaca.
Terakhir, metode "ngemil" ini mensyaratkan Anda untuk senantiasa mengakhiri kegiatan membaca yang mungkin singkat itu dengan menulis atau "mengikat". Apa yang Anda tulis atau "ikat"? Yang Anda tulis adalah hal-hal sangat penting dan berarti yang Anda temukan di dalam kegiatan membaca Anda. Tulislah sesuatu yang menurut Anda memang layak untuk Anda tulis. Dengan menulis, Anda membuktikan bahwa kegiatan membaca Anda menghasilkan sesuatu yang konkret: tulisan. Dengan menulis, Anda berarti menyimpan hasil kegiatan membaca Anda di sebuah wadah yang jelas. Dan dengan menulis'atau "mengikat", Anda benar-benar tidak sia-sia dalam membaca.[]
5
Langganan:
Postingan (Atom)