Di artikel ini saya akan mencoba mengatakan bahwa minat baca dan tulis bangsa Indonesia ini tidak dibangun secara dini karena perpustakaannya tidak menarik untuk dikunjungi atau bahkan tidak ada sama sekali.
Di sudut kota kecil lain di Jawa, perpustakaan sekolah adalah sebuah ruang 3X4 m2 yang dibuka ketika ada yang ingin mengunjunginya. Buku-bukunya pun sudah berdebu dan ada bekas sarang laba-laba disitu menandakan sangat jarangnya rak-rak itu dijamah.
Seorang guru yang memegang kunci perpustakaan itupun dengan malu-malu mengakui bahwa perpustakaan tersebut memang jarang dibuka karena tidak ada petugas yang melayaninya. Sehingga guru yang bertanggung jawab memegang kunci ruang tersebut. Di Madrasah Tsanawiyah di Pesisir utara pulau jawa, lain lagi ceritanya. Perpustakaan tampak bersih. Ruangan seluas kira-kira 6X8m2 dengan lantai keramik putih itu tampak ramai dikunjungi oleh para siswanya.
Seorang petugas tampak telaten melayani para siswa yang mau meminjam ataupun mengembalikan buku. Tetapi keanehan mulai nampak ketika petugas tersebut meminta tolong para siswa yang sudah mengembalikan buku itu untuk meletakkan sendiri di raknya. Dan ketika diamati lebih lanjut, buku-buku itu hanya di tumpuk begitu saja tanpa adanya sistem klasifikasinya maupun katalogisasinya. Petugas perpustakaan itu menjelaskan bahwa dia sudah empat tahun bertugas diperpustakaan tetapi belum pernah mengikuti pelatihan tentang perpustakaan karena beliau belum pegawai negeri.
Syarat-syarat untuk mengikuti pelatihan perpustakan adalah pegawai negeri. Maka sekolah tersebut mengirimkan salah seorang guru yang sudah pegawai negeri untuk mengikuti pelatihan tersebut. Dan guru tersebut adalah guru pustakawan di madrasah tersebut. Guru adalah guru. Tugas utama beliau adalah mengajar sehingga beliau menyerahkan urusan perpustakaan tersebut kepada petugas perpustakaan yang tak pernah mengenyam pelatihan bagaimana menata buku-buku sesuai dengan kaidah-kaidah perpustakaan ini.
Perpustakaan sebagai lembaga penunjang pendidikan nampaknya masih dianggap kurang penting. Sehingga berbagai kebijakan yang diambil oleh pihak yang berwenang selalu lebih mengutamakan pengembangan di bidang lain.
Perpustakaan berada di ruang yang sangat sempit, atau seruang dengan kantor guru atau di dekat WC, atau malah tidak ada sama sekali masih merupakan pemandangan yang umum di Indonesia ini. Begitu juga dengan pegawai yang menanganinya masih jauh untuk di sebut profesional. Guru-guru yang malas dan pegawai tata usaha yang bermasalah sering di tempatkan di perpustakaan sekolah yang mengakibatkan citra perpustakaan sebagai tempat pembuangan daripada sebagai tempat penunjang pendidikan.
Tak jarang pula pegawai perpustakaan adalah orang-orang yang sangat mahal senyum dan galak sehingga menjadikan perpustakaan sekolah sebagai tempat yang angker untuk dikunjungi. Buku-buku paket pelajaran yang menumpuk biasanya menjadi pemandangan yang lazim di perpustakaan-perpustakaan sekolah. Sangat jarang di jumpai perpustakaan sekolah, terutama di kota-kota kecil, yang menyediakan buku-buku cerita dan majalah-majalah yang di gandrungi anak-anak. Hal ini semakin membuat minat baca anak-anak Indonesia kian terpuruk.Peran Perpustakaan Sekolah Terhadap Prestasi SiswaPeran dan fungsi perpustakaan bagi sebuah sekolah sangatlah penting.
Di Amerika Utara, sekolah yang mempunyai prestasi tinggi rata-rata mempunyai perpustakaan sekolah yang berkwalitas. Menurut penelitian, sekolah-sekolah dengan perpustakaan yang berkwalitas mempunyai prestasi akademis 10-20 % lebih tinggi daripada sekolah-sekolah yang mempunyai perpustakaan yang biasa-biasa saja. Rendahnya minat baca sering dijadikan alasan terhadap rendahnya mutu pendidikan di Indonesia tetapi orang sering lupa faktor penyebabnya. Harga buku yang tidak terjangkau, buku-buku pelajaran disajikan dengan bahasa yang kaku, tak tersedianya tempat baca yang nyaman serta tidak adanya waktu senggang karena padatnya kurrikulum merupakan faktor penyebabnya.
Hal-hal tersebut sebenarnya bisa di antisipasi dengan adanya perpustakaan yang nyaman. Karena keberadaan perpustakaan umum yang menyediakan koleksi bacaan buat anak-anak sangat langka di Indonesia, maka keberadaan perpustakaan sekolah menjadi wajib hukumnya. Perpustakaan yang nyaman dan koleksi buku yang sesuai dengan usia mereka, bimbingan dari guru, kurikulum yang integratif dengan program perpustakaan akan menumbuhkan minat baca. Minat baca yang baca yang tinggi mempengaruhi prestasi akademik anak.
Semua pertanyaan anak yang masih dalam tahap ingin tahu itu bisa terjawab di perpustakaan. Perpustakaan yang nyaman belum tentu mahal tetapi memerlukan penanganan dan keterlibatan yang serius berbagai pihak untuk mendukungnya.Untuk memiliki sebuah perpustakaan yang nyaman, hal utama yang banyak diabaikan adalah tersedianya tenaga pustakawan yang profesional. Pustakawan yang professional inilah kunci menuju perpustakaan yang nyaman. Tetapi sayangnya banyak pihak yang masih beranggapan bahwa penataan perpustakaan dianggap mudah dan bisa diserahkan kepada siapa saja.
Banyak para pejabat negara menganggap pustakawan penting. Tetapi sayangnya masih dalam tahap wacana. Ketika mencapai tataran praktis, pengelolaan perpustakaan banyak di serahkan pada guru ataupun petugas TU dengan alasan efektifitas tenaga kerja. Tetapi yang terjadi di lapangan, tenaga guru sudah banyak terserap untuk mengajar dan sisa-sisa tenaga yang belum tentu ada itu digunakan untuk mengelola perpustakaan.
Tenaga sisa tentu saja tak sama dengan tenaga utuh. Maka hasil pengelolaan perpustakaanpun menjadi tidak maksimal. Tak jarang guru yang mengelola perpustakaan itu diganti setiap setahun sekali oleh kepala sekolahnya sehingga program perpustakaan harus selalu mulai dari nol karena harus berganti-ganti pengelola yang tak tahu banyak tentang sistem perpustakaan.Seandainya saja para pengambil kebijakan itu mempekerjakan pustakawan profesional di setiap perpustakaan sekolah seperti yang ditempuh oleh sekolah-sekolah swasta di kota-kota besar, tentu program perpustakaan tak harus selalu mulai dari nol setiap tahunnya dan hal ini akan lebih efektif dari pada harus mempekerjakan seorang guru dengan dua pekerjaan; mengajar dan mengelola perpustakaan.
Untuk itu, penataran-penataran tentang pentingnya perpustakaan seharusnya tak hanya diikuti oleh petugas perpustakaan saja tetapi seharusnya diikuti oleh para pemegang kebijakan di sekolah, yaitu kepala sekolah. Hal ini penting untuk menyeragamkan visi antara pelaksana dan pemegang kebijakan, antara pegawai perpustakaan dan kepala sekolah tentang pentingnya perpustakaan.
Selama ini, banyak penataran-penataran tentang perpustakaan ini hanya diikuti oleh para petugas perpustakaan saja yang kerap kali petugas-petugas tersebut menjadi frustrasi karena ilmu yang didapatnya dari penataran-penataran tersebut tidak mendapatkan dukungan ketika mencoba menerapkannya di lapangan. Dengan menatar para pemegang kebijakan disekolah tentang pentingnya perpustakaan akan memudahkan terciptanya perpustakaan yang standar serta nyaman.
Teacher Librarian
Konsep Teacher librarian yang diterapkan di negara-negara maju memang terbilang sukses. Tetapi pembekalan terhadap para teacher librarian di barat sangatlah serius. Seoarang teacher librarian harus memiliki double degree; dari fakultas pendidikan dan dari fakultas ilmu perpustakaan. Dengan double degree dan kurikulum yang mendukung ini, keahlian mereka baik untuk mengajar maupun untuk mengelola perpustakaan sangat bisa dipertanggung jawabkan baik pada tataran managerial maupun teknis.
Karena keahlian yang double ini, maka tunjangan yang didapatpun double; tunjangan sebagai pustakawan dan tunjangan sebagi guru.
Di Indonesia, para guru hanya di bekali satu atau dua minggu pelatihan perpustakaan dan mereka dianggap mampu untuk mengajar dan mengelola perpustakaan dengan tunjangan hanya sebagai tenaga pengajar. Maka tak heranlah apabila banyak perpustakaan-perpustakaan sekolah itu terbengkalai. Ilmu mengelola perpustakaan tak dapat dipelajari hanya dalam sekejap.
Kalau memang mau menerapkan konsep teacher librarian di Indonesia, hendaknya perbekalan terhadap para teacher libarian pun dilakukan secara matang karena tenaga pustakawan yang profesional inilah yang paling paham dengan program-program bagi pengembangan perpustakaan dari tingkat managerial mapun teknis.
Dan tentu saja tunjangan kesejahterannyapun harus diperhatikan. Setidak-tidaknya kredit point ketika mengelola perpustakaanpun harus laku untuk kenaikan pangkat.Belajar dari perpustakaan sekolah di Montreal.
Di propinsi Quebec Montreal, perpustakaan menjadi syarat wajib bagi akreditasi sekolah. Nampaknya membandingkan Indonesia dengan negara-negara maju sangatlah jauh. Tetapi bukan tidak mungkin untuk di ikuti asal ada dukungan dari pemilik kebijakan dan kemauan dari berbagai pihak.
Perpustakaan memang berhubungan dengan buku/koleksi perpustakaan, tenaga pustakawan dan sistem yang berarti dana. Tetapi mengumpulkan dana bukan berarti harus mahal.
Di Perpustakaan Westmount Park School misalnya, pustakawannya mengajak para guru dan siswa untuk menggalang dana lewat acara Bake Sale atau semacam pasar jajan di Indonesia. Para orang tua siswa memasak makanan kecil dan menjualnya di sekolah. Penjualan coklat oleh siswa juga dilakukan dalam rangka pembelian koleksi perpustakaan mereka.
Satu lagi yang menarik adalah kerja sama pepustakaan sekolah dengan penerbit buku anak-anak. Setiap bulan, para siswa di beri katalog buku-buku baru dengan harga terjangkau dan sekian persen uang hasil dari penjualan tsb akan menjadi kas bagi perpustakaan-perpustakaan sekolah di Montreal. Dan tentunya hal yang tak begitu sulit untuk di contoh bagi pengelola perpustakaan di Indonesia.
Meskipun proses katalogisasi dan Klasifikasi di lakukan oleh pustakawan pusat yang bekerja di English Montreal School Board, tetapi pustakawan tetap ada di masing-masing sekolah dibantu oleh para orang tua siswa yang menjadi voluntir di perpustakaan sekolah. Tiap jam, para siswa di kelas tertentu berdatangan didampingi oleh guru mereka untuk belajar di perpustakaan. Pustakawanpun sibuk memberikan bantuan untuk mencarikan bahan belajar, berdiskusi tentang isi buku, merekomendasikan buku dan koleksi perpustakaan yang lain dan tentu saja “story telling”.
Para guru dan pustakawan memotivasi para siswa untuk membaca dan para siswa harus membikin ‘book report’ terhadap buku-buku yang dibacanya. Untuk kelas yang lebih kecil, cukup dengan menuliskan “ saya suka buku ini” atau “saya tak suka buku ini”. Sedangkan untuk kelas-kelas yang lebih tinggi harus di sertai alasan mengapa buku ini bagus dan mengapa buku yang lainnnya jelek. Tentu saja book report itu harus di tanda tangai oleh orang tua/wali siswa.Masalah perpustakaan adalah masalah serius. Pengelolaannyapun harus serius dan terfokus. Dengan pustakawan yang profesioanal, rasa tanggung jawab dari pihak sekolah, masyarakat, dan pemerintah yang tak hanya di bibir saja, peprustakaan di Indonesiapun bisa nyaman. Dengan perpustakaan yang nyaman, minat baca generasi muda Indonesia yang di gembar-gemborkan terpuruk itu, akan naik secara drastis. Dan Indonesia akan menjadi bangsa yang cerdas dan mandiri.