Minggu, 13 Juni 2010

Kebudayaan sebagai sistem adaptasi

Uraikan perbedaan strategi adaptasi dari dua komuniti peladang di NTT (orang Iwangette dan Lio) mengenai pengelolaan lahan dan pranata-pranata yang mengaturnya.

Kebudayaan sebagai sistem adaptasi dapat dilihat dari tradisi yang dimiliki oleh 2 komuniti di NTT (orang Iwangette dan orang Lio). Melihat tradisi yang mereka miliki ketaatan pada pimpinan sebagai lapisan teratas yang berfungsi sebagai kepala adat dalam suatu lembaga pemerintahan adat dan sebagai penguasa lahan. Tradisi yang mereka miliki ini member keuntungan pada lingkungan dengan tetap terjaga pengelolaan lahan yang ada baik tanaman pangan maupun tanaman musiman.
Dalam pengelolaan lahan terjadi perubahan dari pengelolaan tempo dulu dengan sekarang. Dahulu dalam kebudayaan Lio maupun Iwangette terdapat sejumlah pranata pengelolaan lahan, masing2 dengan perbedaannya tetapi pada dasarnya kedua komunitas ini memperlihatkan pernah memiliki seperangkat pranata yang efektif dalam perawatan lahan. Yang dimaksud dengan perawatan lahan adalah upaya untuk menjaga kesuburan lahan. Perawatan inipun dibedakan antara perawatan tempo dulu dan sekarang selama digarap. Masing-masing dilakukan melalui aturan-aturan atau larangan-larangan serta tindakan-tindakan nyata. Aturan-aturan atau larangan-larangan ini dikategorikan sebagai upaya perawatan secara tidak langsung, sedangkan cara-cara atau tindakan-tindakan nyata dikategorikan sebagai upaya perawatan secara langsung.
Dalam menyelesaikan tugas ini penulis mengambil tulisan dari bapak Remiguis Dewa yang memaparkan bahwa ada 2 penduduk terbesar di Flores yakni orang Iwanggete dan orang Lio sebagai komunitas peladang yang bermukim dan berladang di kawasan perbukitan. Bagi komunitas-komunitas peladang, lahan merupakan sumberdaya alam utama yang menopang kehidupan mereka. Karena itu dalam komunitas melalui pranata-paranata tergambar dibawah ini mengatur pemanfaat lahan dan perawatannya.

Pengelolaan Lahan dan Pranata-pranata
• Komunitas Orang Iwangette
Komunitas Iwangette hanya mengenal 3 lapisan masyarakat, yaitu ata dua moan watu pitu, ata riwun gawan dan ata maha. Lapisan pertama, ata dua moan terdiri dari tujuh tokoh masyarakat yang memperoleh kepercayaan dari masyarakat luas untuk mengatur kehidupan soaial masyarakat yang bersangkutan. Mereka adalah (1) tana puan atau tuan tanah; (2) kokokek atau juru penerangan; (3) gai atau kepala keamanan dan pemimpin perang; (4) buwun Gajon; (5) jaga nuba plamang nanga yang dapat diartikan sebagai pengawal wilayah pesisir dan pengurus pelabuhan; (6) jaga duen plamang hoat atau pengawal perbatasan dan (7) urun blon dammar gahar atau hakim. Lapisan kedua, ata riwun gawan adalah lapisan orang kebanyakan. Lapisan ketiga, ata maha adalah para budak berlian beserta keturunannya.
Mulai tahun 1960-an adanya perubahan struktur di dalam orang Iwangette, diantaranya: Dua moan yang semula sebagai suatu lembaga pemerintahan adat sekaligus sebagai lembaga paradilan dalam pengelolaan konflik-konflik social, kini hanya mempunyai pengaruh dalam urusan sengketa tanah tertentu. Lembaga ini kini berfungsi sebagai lembaga pengadilan atau dua kula moan kara. Khusus mengenai tana puan yang dulu berperan menentukan pembagian lahan garapan dan mengatur ritual perladangan, kini sejak tahun 1960-an dengan berubahnya sistem pemerintahan, setiap petani mempunyai hak atas tanahnya dan wajib membayar pajak atas bidang tanah yang dimilikinya.

Pengelolaan lahan dan pranata-pranata Orang Lio
Komunitas Lio mengenal 4 lapisan social yaitu mosalaki, aji-ana, fai walu ana halo dan ata hoo. Lapisan pertama, mosalaki terdiri dari beberapa pejabat, dengan laki puu sebagai pimpinan teras dan ria bewa sebagai pelaksana kekuasaan. Lapisan kedua, aji-ana adalah lapisan pendukung para mosalaki yang terdiri dari kaum kerabat para mosalaki dan mereka yang berjasa dalam mempertahankan atau memperluas tanah persekutuan. Lapisan ketiga, fai walu ana halo adalah lapisan masyarakat bawah sebagai lapisan terbesar, terdiri dari para petani penggarap. Lapisan keempat, ata hoo adalah lapisan para pelayan dan budak.
Dalam komunitas Lio, mosalaki adalah penguasa suatu tanah persekutuan. Mosalaki mengatur pembagian lahan garapan, menjamin hak pakai atas tanah maupun menetapkan denda adat atas pelanggaran-pelanggaran dalam pengelolaan lahan. Lapisan masyarakat bawah, fai walu ana halo diberi hak oleh mosalaki hanya sebatas hak pakai atas tanah dan berkewajiban mematuhi setiap aturan yang ditetapkan oleh mosalaki. Kekuasaan mosalaki ini masih tetap diakui hingga saat ini oleh masyarakat maupun pemerintah daerah setempat.

Pengembangan Lahan dan Pelestarian
Dari gambaran di atas, tampak bahwa perkembangan pranata pengelolaan lahan dari kedua komunitas antara komunitas Iwanggete dan orang Lio berbeda dalam pola pemanfaatan dan pelelestarian sumber daya alam, dikarenakan kondisi lingkungan alam serta pranata-pranata pengelolaan dalam perkembangannya berbeda. Komunitas Iwanggete sudah menerima teknologi baru untuk pengembangan lahan tetapi komunitas Lio masih bertahan dengan teknologi perlandangan tempo dulu. Ke-2 komunitas ini berusaha mencari jalan keluar untuk kelangsungan pemenuhan kehidupan sekaligus menjaga keseimbangan ekologinya.
Mereka sudah berusaha untuk menjaga dan merawat lahan secara langsung dengan : (1) larangan menebang pohon dalam hutan bakal ladang, (2) larangan menggembala ternak di lahan yang tengah diberakan, (3) larangan membakar hutan bakal ladang, (4) Kewajiban menghutankan kembali bekas ladang. Sanksi terhadap pelanggaran ini baik komunitas Lio maupun komunitas Iwanggete adalah dengan memberikan denda kepada pelanggar. Bagi mereka yang melanggar wajib membayar kepada pihak yang dirugikan dengan apa yang disebut seliwu seeko.
Mereka juga (komunitas Lio dan komunitas Iwanggete) berusaha menghutankan kembali bekas ladang. Kinerja mereka dalam upaya pemeliharaan kesuburan lahan selama digarap, dengan mencegah kemungkinan kerusakan lahan misalnya dari erosi atau dari pemanggangan oleh terik matahari. Cara pencegahan atau uapaya pemeliharaan lahan yaitu pencegahan erosi dan penanaman serta tumpang sari.

Langkah-langkah di atas sebenarnya merupakan intervensi dalam penyelamatan pengelolaan lahan adalah pemerintah daerah setempat dan lembaga-lembaga swadaya masyarakat yang mendukung program-program pemerintah dalam pembangunan masyarakat pedesaan di ke-2 komunitas ini. Walau demikian menurut Barlow (1991: 238) bahwa teknologi sebagai salah satu solusi pengembangan masyarakat harus disesuaikan dengan permasalahan dan keperluan situasi kondisi kedua komunitas: orang Iwanggete dan orang Lio. Artinya pemerintah daerah dalam memprogram pembangunan desa di ke-2 komunitas ini disesuaikan dengan tipikal dan disesuaikan dengan kondisi lingkungan alam dan lingkungan social budayanya.

Daftar PustakaBarlow, Colin. 1991. Concluaiona and Recommendations, dalam Colin Barlow et al (eds.), dalam Nusa Tenggara Timur: The Challenges of Development. Canberra: The Austrailian National University. Hlm. 231-241

Metzner, Joachim. 1986. Pelestarian Lingkungan Hidup dan Kemungkinan untuk Meningkatkan Penggunaan Lahan dengan Bantuanores, dalam Joachim Metzner & N. Djaldjoen Lamtoro, (ed.) Ekofarming, Bertani Selaras Alam. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia

Remiguis Dewa dalam Perubahan Pranata Pengelolaan Lahan pada Komunitas Peladang di Nusa Tenggara Timur: Kasus Lio dan Iwangge Flores, Bahan Kuliah Teori Kebudayaan: Kebudayaan sebagai Sistem Adabtasi Terhadap Lingkungannya.

Les Annales dalam Kajian Budaya

• Mengapa penting memahami pendekatan Les Annales dalam menganalisis kajian budaya, khususnya dalam bidang sejarah dan bagaimana perkembangan selanjutnya khususnya dalam menganalisis kebenaran sejarah? Jelaskan pendapat Saudara!

Pentingnya Memahami Les AnnalesLes Annales lahir 1929 di Strassbourg dalam bentuk jurnal Les Annales d’histoire économique est sociale , yang hingga kini disebut sebagai Les Annales. Pendirinya Lucien Febvre (1878—1956) dan Marc Bloch (1886-1944). Dalam perkembangannya aliran ini disebut La nouvelle Histoire atau dalam bahasa inggris dikenal sebagai New History.
Dalam buku Mazhab Annales 1929-1989 Revolusi Prancis, yang diterjemahkan oleh Prof. Djoko Marihandono, mengungkapkan betapa pentingnya pedekatan Les Annales dalam menganalisis kajian budaya. Madzhab Les Annales lahir sebagai bentuk kritik terhadap sejarah yang menggunakan paradigma Ranke atau disebut madzhab methodique yaitu suatu madzhab yang menulis sejarah hanya untuk tokoh-tokoh terkenal dan peristiwa-peristiwa penting. Menurut Madzhab Les Annales, melakukan penelitian itu tidak hanya pada orang-orang terkenal dan peristiwa-peristiwa penting saja tetapi terfokus pada seluruh lapisan masyarakat yang membentuk suatu struktur tertentu. Sejarah bukan hanya milik kaum politisi, tetapi ke seluruh kehidupan manusia dalam masyarakat yang beraneka ragam tanpa meninggalkan arsip (dokumen).
Oleh karena itu Les Annales menggunakan metodologi structural yang memandang manusia sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari struktur yang ditentukan baik dari posisi maupun dinamika kehidupannya. Oleh karena itu, mazhab Les Annales menggunakan pendekatan interdisipliner yaitu menggunakan ilmu bantu dari bidang ilmu lain untuk mempertajam analisis tentang perubahan struktur sehingga metodologi struktur menjadi kajian multidimensional dalam ilmu sejarah. Sampai sekarang, metodologi structural masih digunakan oleh para sejarawan untuk merekonstruksi peristiswa sejarah, khususnya yang menempatkan perubahan struktur masyarakat sebagai tema.
Les Annales dalam Kajian BudayaDi antara kedua pendiri Les Annales, nama Marc Bloch lebih dikenal karena ia menjadi pahlawan Prancis karena mati tertembak ketika terjadi Perang Dunia II (1944). Selain itu karyanya juga lebih mengarah ke wilayah budaya yang lebih luas dari pada Febvre. Hingga kini mazhab Les Annales masih sangat berpengaruh di Prancis
Les Annales Dalam Bidang Sejarah
Sejarah adalah cabang ilmu sosial yang unik dan spesifik dan dalam penulisannya: sesahih apa pun metodologi yang dimiliki, ia tetap sangat bergantung pada teks, literatur, produksi bahasa yang dihasilkan sebagai bahan penulisan sejarah, baik sumber primer maupun sumber sekunder. Di sinilah esensi kritik historisisme yang dibangun kaum pascastrukturalis dan pascamodernis karena pascastrukturalisme dan pascamodernisme merupakan aliran yang meredefinisi konsep tentang teks dan bahasa dalam kaitannya dengan kekuasaan dan ilmu pengetahuan.

Perkembangan Les Annales Selanjutnya
Sejak tahun 1950-1960, kelompok Les Annales membagi penelitiannya dalam bidang geografi sejarah, sejarah ekonomi, demografi histori. Dan dilanjutkan tahun 1970, bidang kajiannya diperluas lagi dengan sejarah mentalite. Les Annales tidak hanya meneliti dokumen berupa arsip saja tetapi mata uang, pedang dan pemulasaran jenazah.
Analisis Les Annales dalam Kebenaran Sejarah
Para sejarawan Perancis seperti Marc Bloch, Lucien Febvre, yang diteruskan oleh Labrouse, Simiand, dan yang paling fenomenal Fernand Braudel melahirkan mazhab baru Braudellian di dalam ilmu sejarah, yang meninggalkan paradigma lama sejarah konvensional. Dikenal sebagai French School of les Annales para sejarawan ini memperkenalkan pendekatan histoire totale: melihat sejarah dari perspektif pemikiran dan perbuatan rakyat kebanyakan secara menyeluruh.
Para sejarawan ini ingin menampilkan nilai kebenaran sejarah melalui ketelitian metode berdasarkan empirisisme dan logika. Oleh sebab itu, fokus mereka tak lagi narasi organisasi kekuasaan, otoritas politik, dan relasi ekonomi sebagai sejarah makro, tetapi kepada serpihan-serpihan peristiwa sejarah sosial sebagai suatu sejarah mikro. Bisa dikatakan les Annales memberi kontribusi kepada perspektif baru ilmu sejarah dan merupakan sumber penggalian ide pemikiran pascamodernis pada dasawarsa 1960-an di Eropa maupun Amerika Serikat. Mazhab ini mengembangkan sejarah sosial yang tidak mengenal pagar pembatas: ekonomi, struktur dan konjungtur, mentalitas, sejarah total, sejarah jangka panjang.
Marc Bloch salah seorang kelompok Les Annales, menghendaki sejarah yang ditulis lebih mendalam, dan lebih luas. Kekhususan Bloch dalam buku-bukunya, ia menuangkan metodologinya untuk menjawab pertanyaan anaknya tentang Apa Guna Sejarah. Menurut Bloch, sejarah berguna untuk memahami manusia karena untuk bertindak secara rasional diperlukan pemahaman. Buku Apologie pour l’Histoire ou Métier d’historien adalah kimpulan pemikirannya tentang sejarah tahun 1941 ketika Jerman menyerbu Perancis. Kumpulan ini diterbitkan anumerta.

Komentar Pribadi
Untuk memahami pembahasan Les Annales yang diterjemahkan oleh bapak Progf. Dr. Djoko Marihandono, penulis mengambil beberapa sumber (1) dari seumber langsung Mazhab Annales 1929-1989 Revolusi Prancis, yang diterjemahkan oleh Dr. Djoko Marihandono. (2) dari internet http://www.scribd.com/doc/25415411/Sejarah-Sebagai-Kajian-Budaya yang di akses tanggal 28 April 2010 tentang Sejarah sebagai Kajian Budaya oleh Prof. Dr. Djoko Marinadono. Sehingga dapat memberi gambaran sebagai berikut:
Sejarah adalah cabang ilmu sosial yang unik dan spesifik dan dalam penulisannya: sesahih apa pun metodologi yang dimiliki, ia tetap sangat bergantung pada teks, literatur, produksi bahasa yang dihasilkan sebagai bahan penulisan sejarah, baik sumber primer maupun sumber sekunder.
Paradigma Annales menyelidiki tentang bagaimana sistem dari fungsi-fungsi sosial atau bagaimana keseluruhan dari fungsi-fungsi itu berkolaborasi dalam kurun waktu tertentu secara multi dimensi, yaitu : dimensi temporal, spasial, individual, sosial, ekonomi, budaya, dan sebagainya. Mazhab Annales menekankan pada pendekatan holistic, interdisiplin, structural serta berbagai perkembangan penulisan dengan pendekatan baru. Sehingga muncul tema-tema baru dalam penulisan sejarah seperti sejarah wanita, sejarah mentalitas dan lain sebagainya.
Ini menandakan bahwa para sejarawan Perancis ingin menampilkan nilai kebenaran sejarah melalui ketelitian metode berdasarkan empirisisme dan logika. Oleh sebab itu, fokus mereka tak lagi narasi organisasi kekuasaan, otoritas politik, dan relasi ekonomi sebagai sejarah makro, tetapi kepada serpihan-serpihan peristiwa sejarah sosial sebagai suatu sejarah mikro. Bisa dikatakan les Annales memberi kontribusi kepada perspektif baru ilmu sejarah dan merupakan sumber penggalian ide pemikiran pascamodernis pada dasawarsa 1960-an di Eropa maupun Amerika Serikat.


Daftar Pustaka

Djoko Marihandono. Sejarah Sebagai Kajian Budaya. Diakses tanggal 9 Mei 2010. http://www.scribd.com/doc/25415411/Sejarah-Sebagai-Kajian-Budaya

Togi Simanjuntak. Kritik Historisisme Historiografi Peristiwa 1965. Diakses tanggal 10 Mei 2010. http://www.asmakmalaikat.com/go/artikel/sejarah/sejarah2.htm

Kebudayaan sebagai Sistem Struktural

Ada tiga hal yang menjadi ciri karya de Saussure: struktur tanda (relasi antara significant signifie), hubungan antar tanda (sintagmatik dan asosiatif), dan oposisi biner. Jelaskan. Jadi, apa yang dimaksud dengan “struktur”? Kemudian, bagaimana konsep struktur berkembang di kalangan pascastrukturalis? Jelaskan dengan contoh. (pilih salah satu: Barthes, Derrida, atau Giddens).
Penulis dalam menjawab pertanyaan dari bapak Prof. Dr. Benny H. Hoed mengambil tulisan dari bapak Benny, http://www.scribd.com/doc/25414802/ Kebudayaan-Sebagai-Sistem-Struktural, tentang “Kebudayaan sebagai Sistem Struktural” diakses tanggal 8 Mei 2010.

Tiga hal yang menjadi ciri karya de Saussure:1. Struktur tanda (relasi antara significant signifie) adalah struktur tanda dalam bahasa terdiri dari yang menandai (significant, signifier, penanda) dan ditandai (signifie, signified, petanda). Baik penanda maupun petanda tidaklah dapat dipisahkan satu dari yang lainnya. Baik penanda maupun tanda bersifat mental penanda adalah citra bunyi sedangkan petanda adalah gagasan atau konsep. Sebagai contoh penanda “perpustakaan” dan petandanya adalah arti “perpustakaan” yang ada baik dalam pikiran pendengar mapun pembicara.
Konsep ini melihat bahwa makna muncul ketika ada hubungan yang bersifat asosiasi atau in absentia antara ‘yang ditandai’ (signified) dan ‘yang menandai’ (signifier).Tanda adalah kesatuan dari suatu bentuk penanda (signifier) dengan sebuah ide atau petanda (signified). Dengan kata lain, penanda adalah “bunyi yang bermakna” atau “coretan yang bermakna”. Jadi, penanda adalah aspek material dari bahasa yaitu apa yang dikatakan atau didengar dan apa yang ditulis atau dibaca. Petanda adalah gambaran mental, pikiran, atau konsep. Jadi, petanda adalah aspek mental dari bahasa (Bertens, 2001:180).

2. Hubungan antar tanda ada 2 hubungan, diantaranya yaitu:
(1) Hubungan sintagmatik adalah hubungan mata rantai di dalam rangkaian ujaran. Jadi, unsur-unsurnya berada dalam susunan yang berada dalam ruang dan waktu yang sama. Sebagai contoh: saya membaca buku. Penjelasannya: (a) Saya (subyek), (b) membaca (verba) dan (c) buku (objek). Ketiganya memiliki hubungan sintagmatik.
(2) Hubungan asosiatif adalah hubungan in absentia, yaitu unsur-unsurnya tidak berada dalam ruang dan waktu yang sama tetapi merupakan jaringan yang didasari oleh perbedaan. Asosiatif dapat juga dijelaskan sebagai kata-kata yang mempunyai kesamaan berasosiasi dalam pikiran. Sebagai contoh: saya membaca buku di perpustakaan. Kata saya dapat diganti dengan kata lain seperti kamu, dia, ibu, ayah dan kata lainnnya. Contoh lainnya, verba membaca dapat pula diganti dengan verba lainnya sehingga kalimat tersebut menjadi: saya mengembalikan buku di perpustakaan.
3. Hubungan oposisi biner, yaitu hubungan perbedaan antara satu tanda dengan tanda lainnya yang digunakan. Contohnya: “baca” dan “informasi” menunjukkan kalau “b” dan “i” adalah fonem yang berbeda karena kedua fonem tersebut membedakan arti.

Pengertian Struktur
Disebutkan dalam http://www.scribd.com/doc/25414802/ Kebudayaan-Sebagai-Sistem-Struktural, tentang “Kebudayaan sebagai Sistem Struktural” diakses tanggal 8 Mei 2010, tulisan dari bapak Prof. Dr. Benny H. Hoed bahwa struktur adalah bangun (teoritis) yang terdiri atas unsur-unsur yang berhubugan satu sama lain dalam satu kesatuan. Struktur memiliki 3 sifat, yaitu: 1) merupakan totalitas 2) bersifat traformatif dan 3) bersifat otoregulatif.
Secara umum, suatu struktur adalah suatu sistem transformasi, yang sebagai sistem dikuasai oleh hukum-hukum tertentu dan mempertahankan atau malahan memperkaya dirinya sendiri karena cara dijalankannya transformasi-transformasi tersebut tidak mendobrak.
Sedangkan gagasan kebudayaan sebagai sistem structural bertolak dari anggapan bahwa kebudayaan adalah sistem mental yag mengandung semua hal yang harus diketahui individu agar dapat berperilaku dan bertindak sedemikian rupa sehingga dapat diterima dan dianggap wajar oleh sesama warga masyarakatnya. Oleh karena itu, gerakan Strukturalisme adalah aliran yang melihat berbagai gejala budaya dan alamiah sebagai bangun teoritis (abstrak) yang terdiri atas unsure-unsur yang berhubungan satu sama lain. Dengan kata lain, gerakan strukturalisme, yang melihat kebudayaan sebagai suatu sistem masyarakat dengan struktur yang teratur dan berpola, bertujuan untuk menjelaskan dan memahami struktur tersebut.

Konsep Struktur Barthes
Dalam menjawab “bagaimana konsep struktur berkembang di kalangan pascastrukturalis”? Penulis mengambil pendapat Roland Barthes sebagai salah seorang tokoh pascastrukturalis dan mengembangkan konsep struktur dengan memodifikasi teori signifikasi Ferdinand De Saussure untuk menjelaskan mitos.
Segala bentuk mitos menurut Barthes, terbentuk sebagai tanda tahap kedua yang dinaturalkan dalam proses sejarah. Bila mitos dalam masa purba dipandang sebagai ujaran yang tidak memiliki nilai kebenaran ultima pada dirinya, Barthes justru berpandangan, bahwa mitos adalah produk dalam dunia sosial yang terus tercipta dan diciptakan. Mitos tidak hanya lahir dalam masyarakat tradisional, namun elemen-elemen masyarakat modern sekalipun, selalu terkungkung dalam proses kerja mitos saat mereka melangsungkan tindakan komunikasi.
Mitos terbentuk dalam sistem tanda, dan tidak dapat diandaikan tak hadir saat makna tanda terbangun dalam sistem sosial. Dunia modern dalam klaim Barthes adalah sebuah dunia yang dipenuhi mitos, dan tak bisa lepas dari mitos-mitos itu. Demokrasi, agama, sepeda gunung, gender, citra pakaian, dan sebagainya, adalah mitos-mitos dunia modern yang harus dipandang sama saat melihat generasi terdahulu membentuk ujaran-ujaran tertentu yang kerap disebut masyarakat modern kini sebagai mitos dan tak ilmiah. Mitos lahir dalam proses sejarah, dan dipelihara oleh sejarah untuk menjadi tanda tahap pertama yang denotatif..
Lebih lanjut Sunardi (2004) menyatakan bahwa teori mitos dikembangkan Barthes untuk melakukan kritik atas ideologi budaya massa (budaya media). Mitos berkembang dalam kontek yang lebih modern. Media massa seperti gambar juga dapat melahirkan gagasan atau sering disebut mitos. Masyarakat modern tidak bisa dilepaskan dari media ini. Segala aktivitas dan bentuk komunikasi sangat berkaitan erat dengan media ini. Terutama sekali adalah media massa yang identik dengan gambar.
Media massa setiap hari akan menampilkan foto atau gambar yang mengandung pesan-pesan tertentu. Ada beberapa alasan mengapa Barthes membahas persoalan gambar; yang pertama adalah ia ingin mengembangkan sebuah pendekatan struktural untuk membaca foto media. Kedua, Barthes ingin melihat fungsi dan kedudukan gambar dalam pembentukan budaya media. Foto juga memiliki fungsi ideologis. Gambar memiliki peran penyampai informasi yang terkadang lebih efektif kepada masyarakat. Itulah kenapa foto atau gambar juga sering dianggap sebagai bagian dari propaganda. Dalam dunia bisnis gambar sering digabungkan dengan kata-kata. Dalam iklan gambar lebih menekankan pada fungsi memperjelas atau memberikan daya tarik.

Daftar Pustaka

Bangsamanusia. Titik Temu Semiotika Signifikasi & Semiotika Komunikasi; Sebuah Pengantar Pada Semiotika. Diakses tanggal 8 Mei 2010. http://benietzsche.wordpress.com/2009/12/05/titik-temu-semiotika-signifikasi-semiotika-komunikasi-sebuah-pengantar-pada-semiotika/

BEM F. HUMBUD. Semiotika. Diakses tanggal 8 Mei 2010. http://humbud.uin-malang.ac.id/index.php?option=com_content&view=article&id=353%3Asemiotika&catid=122%3Asemiotika&Itemid=105&showall=1

Benny H. Hoed. Kebudayaan sebagai Sistem Struktural. Diakses tanggal 8 Mei 2010. http://www.scribd.com/doc/25414802/ Kebudayaan-Sebagai-Sistem-Struktural

Wajiran. Dalam menganalisa Semiotika Negativa Karya St. Sunardi. Diakses tanggal 8 Mei 2010. http://coffee-cat.net/c2o/catalogue/lang/details/29413.html

Penerapan Analisis Semiotic

Semiotika berasal dari kata Yunani: semeion, yang berarti tanda. Semieon adalah istilah yang digunakan oleh orang Greek untuk merujuk kepada sains yang mengkaji sistem perlambangan atau sistem tanda dalam kehidupan manusia. Daripada akar kata inilah terbentuknya istilah semiotik, yaitu kajian sastera yang bersifat saintifik yang meneliti sistem perlambangan yang berhubung dengan tanggapan dalam karya.
Bila melihat dalam sekejab, gambar Garuda di atas berfungsi sebagai pemberi informasi tentang kejadian atau peristiwa yang akan diinformasikan. Dan Garuda digambarkan dibuat semirip mungkin dengan peristiwa yang berlangsung dan memberikan pesan secara langsung. Untuk lebih menganalisa gambar Garuda dan dalam menjawab soal ini, penulis mengambil tulisan dari ibu Okke K.S. Zaimar yang terdapat di http://www.scribd.com/doc/25414918/Kebudayaan-sebagai-tanda diakses tanggal 7 Mei 2010 yang menyataka bahwa Garuda Pancasila adalah mitos karena mengandung sekumpulan pesan. Oleh karena itu, gambar ini akan dianalisis dengan menggunkan teori mitos Roland Barthes yang berdasarkan teori signifikasi Ferdinand De Saussure.
Gambar Garuda merupakan lambang negara Indonesia. Gambar ini akan dianalisis dari segi denotatif dan konotatif. Secara denotatif, simbol-simbol di dalam perisai masing-masing melambangkan sila-sila dalam Pancasila yaitu: Bintang melambangkan sila kesatu. Rantai melambangkan sila kedua. Pohon beringin melambangkan sila ketiga. Kepala banteng melambangkan sila keempat. Terakhir, padi dan kapas melambangkan sila kelima.
Untuk memahami makna denotatif, penulis mengutip dari Spradley (l997:122) menjabarkan makna denotatif meliputi hal-hal yang ditunjuk oleh kata-kata (makna referensial). Piliang (1998:14) mengartikan makna denotatif adalah hubungan eksplisit antara tanda dengan referensi atau realitas dalam pertandaan tahap denotatif, Misalnya, ada gambar manusia, binatang, pohon, rumah. Warnanya juga dicatat, seperti merah, kuning, biru, putih, dan sebagainya. Pada tahapan ini hanya informasi data yang disampaikan.
Secara konotatif menurut ibu Okke sebagai pembaca mitos bahwa Burung Garuda melambangkan kekuatan karena garuda adalah burung besar kuat yang dapat terbang tinggi dan mengalahkan lawan-lawannya. Di sisi lain garuda menakutkan karena garuda suka memangsa hewan yang lemah dan lebih kecil misalnya ayam, tikus dan lain-lain. Oleh karena itu, menurut pendapat ibu Okke, burung garuda tidak hanya melambangkan kekuatan negara Indonesia tetapi juga melambangkan pemerintahan yang otoriter. Sebagai seorang warga negara Indonesia, merasa terintimidasi dengan gambar garuda yang kuat karena gambar garuda tersebut menyampaikan pesan bahwa semua warga negara (yang dapat disamakan dengan mahluk kecil dan lemah) harus tunduk pada Pancasila jika ingin selamat.
Konotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan penanda dan petanda yang di dalamnya beroperasi makna yang tidak eksplisit, tidak langsung, dan tidak pasti (Yusita Kusumarini,2006). Penanda bahasa konotatif membantu untuk menyodorkan makna baru yang melampaui makna asalnya atau dari makna denotasinya.
Terakhir ibu Okke menyimpulkan bahwa, semua simbol yang ada di gambar Burung Garuda menunjukkan bahwa garuda adalah mitos yang digunakan pemerintah untuk menunjukkan supremasi kekuasaannya atas semua warga negara Indonesia. Akan tetapi, ibu Okke menyadari bahwa interpretasi mitos bersifat subjektif. Selain itu, seperti yang dipercayai oleh para pascamodernis dan pascastrukturalis khususnya Nietzchean, ibu Okke menyadari bahwa kebenaran mutlak itu tidak ada. Oleh karena itu, mitos garuda ini dapat di interpretasikan secara beragam dan menghasilkan interpretasi yang berbeda-beda. Contohnya: Garuda Pancasila bagi bangsa Indonesia adalah burung yang memiliki perlambang yang kaya makna. Namun bagi orang yang memiliki latar budaya berbeda, seperti orang Eskimo, misalnya, Garuda Pancasila hanya dipandang sebagai burung elang biasa.

BibliografiAnang Hermawan. Mitos dan bahasa Media: Mengenal Semiotika Roland Barthes. Diakses tanggal 8 Mei 2010. http://www.averroes.or.id/thought/mitos-dan-bahasa-media-mengenal-semiotika-roland-barthes.html
Junaedi. 2008. Teori Semiotik. Diakses tanggal 8 Mei 2010. http://junaedi2008.blogspot.com/2009/01/teori-semiotik.html
Okke K. S. Zaimar. Kebudayaan sebagai sistem tanda. Diakses tanggal 7 Mei 2010. http://www.scribd.com/doc/25414875/Kebudayaan-Sebagai-Sistem-Tanda
Okke K. S. Zaimar. Kebudayaan sebagai Tanda. Diakses tanggal 7 Mei 2010. http://www.scribd.com/doc/25414918/Kebudayaan-sebagai-tanda
Sumbo Tinarbuko. Semiotika Iklan Sosial. Diakses tanggal 8 Mei 2010. http://dgi-indonesia.com/semiotika-iklan-sosial/
Zulkarnain Yani. Pengantar Teori Semiotik. Diakses tanggal 8 Mei 2010. http://zulkarnainyani.wordpress.com/2009/02/09/pengantar-teori-semiotik/