Jumat, 18 September 2009

Paradigma Baru dan Persoalan Metodologi Ilmu Sosial-Budaya

1. Reduksionisme dalam Ilmu Pengetahuan Modern


Pandangan yang menyamakan manusia sama dengan alam (hewan), pangan yang melihat manusia hanya dari satu aspek atau dimensi saja, dimensi dalam (kesadaran atau ketidaksadaran) atau dimensi luar atau tingkahlaku yang teramati adalah bentuk reduksionisme.

Pandangan dalam ilmu pengetahuan modern cenderung sangat reduksionis dan terlalu menekankan dimensi yang teramati dan terukur saja. Hal ini disebabkan pengaruh naturalisme dan materialisme ilmiah sebagai aliran pemikiran yang dominan setelah zaman pencerahan.

Freud dalam The Interpretation of Dream (1900), menyatakan bahwa manusia atau mahluk hidup lahir dan berkembang akibat daya-daya kosmik terhadap benda-benda anorganik. Daya kosmik itu mendorong proses evolusi dari binatang paling sederhana menuju manusia. Sementara itu manusiapun memperoleh aneka dorongan dasar yang lebih bersifat turunan dan naluriah dimana dorongan seks menurutnya paling dominan dalam menentukan tingkahlaku manusia. Atas asumsi ini Freud berusaha mereduksi tingkahlaku manusia kedalam ukuran fisis-kimiawi belaka. Bahkan tingkahlaku manusia sepenuhnya ditentukan secara determinis oleh dinamika atau daya dorong dan penghambat dari 'id', 'ego' dan 'super ego'.


2. Perbedaan Paradigma Lama dan Paradigma Baru


Neokantianisme, neopositivisme, filsafat hidup adalah aliran filsafat yang terdapat pada zaman modern yang memiliki alam pikiran yang berbeda dan tentu saja ada persamaannya. Persamaannya adalah pada perhatiannya yang besar terhadap metodologis dan perbedaannya adalah pandangannya terhadap objek realitas yang dihadapi ilmu pengetahuan.

Paradigma lama (positivisme) menerapkan metode kuantitatif, maka pengukuran perhitungan, analisa statistik, penemuan hukum, tindakan kontrol menjadi sangat penting. Menurut Lingkaran Luina (positivisme logis) metode empiris kuantitatif dijadikan satu-satunya metode yang valid bagi ilmu pengetahuan. Hasil ilmu pengetahuan dianggap menggambarkan keseluruhan objek-objek yang diteliti bebas dari bias dan nilai-nilai subjek dan konteks sosial-historis maka ilmu pengetahuan dinyatakan obyektif dan bersifat universal.


3. Antifundasionalisme dan Analisis Keterbatasan Ilmuwan


Tokok epistemologi filsafat ilmu pasca positivisme dan posmodernis umumnya tidak mempercayai fundasionalisme baik rasionalis maupun empiris dengan mengemukakan keterbatasan manusia. Secara umum semua aliran filsafat ilmu pengetahuan menerima bahwa semua ilmu pengetahuan dan filsafat disusun dengan menggunakan wacana bahasa, jadi ada ketergantungan ilmu pengetahuan.

4. Asumsi Metafisik dan Pluralisme Paradigma Ilmiah

Paradigma adalah model yang mengandung asumsi-asumsi tentang ontologi, epistemologi dan metodologi. Jika kita sebut ada paradigma positivisme, pascapositivisme dan posmo-demisme, maka itu ada perbedaan asumsi-asumsi yang mendasar yang terdapat antar paradigma. Paradigma itu akan membimbing untuk melihat realitas yang diteliti serta bagaimana prosedur penelitian dilakukan.

Egon G. Guba dan Yvonna S. Lincoln mengemukakan asumsi-asumsi 4 paradigma utama yang bersaing dalam ilmu pengetahuan dengan berbagai asumsi-asumsi yang mendasari, seperti:

a. Paradigma Pospositivisme

Kebenaran teori dalam pandangan pascapositivisme tidak pernah sempurna, karena ilmuwan selalu menghadapi realitas berdasarkan paradigma (Khun), berdasarkan perspektif (Nietzsche) atau kerangka konseptual tertentu (Putnam). Penemuan kepastian (kebenaran mutlak) tentang semua bentuk pengetahuan tidak mungkin karena manusia adalah mahluk yang kontingen dan fallible. Namun bukan berarti bahwa semua ilmu pengetahuan kita salah dan tak berguna (penolakan skeptisisme mutlak).

b. Paradigma Teori Kritis

Ontologi: Realitas diasumsikan sebagai suatu yang dapat dipahami dan bersifat plastis, mudah dibentuk, berubah dan dipengaruhi oleh faktor sosial, kultural, ekonomi, etnik dan gender. Karena itu realitas bersifat virtual. Teori kritis melihat melihat bahwa problem ontologi dalamilmu pengetahuan khususnya Ilmu Sosial Budaya, tidak dapat disamakan dengan realitas ilmu-ilmu alam yang sifatnya statis dan tidak tercampuri, terpengaruh oleh faktor sosial budaya.

Epistemologi: Dialogis dan dialektis. Ada saling pengaruh antara peneliti dengan objek manusia dan budaya yang diteliti. Obyektivitas murni sulit diterapkan, karena nilai-nilai tanpa disadari berperan dalam menentukan pemilihan masalah, pemilihan paradigma atau kerangka teori, sementara paradigma atau kerangka teori yang dipilih akan menentukan realitas dan bagaimana prosedur penelitian dilakukan. Realitas objekyang diteliti dan prosedur penelitian yang dipilih menentukan asumsi-asumsi yang terkandung dalam paradigma. Asumsi ini umumnya bersifat dimensi yang tersembuyi tak terungkap, tidak disadari oleh ilmuwan yang terkandung dalam setiap paradigma.

Metodologi: Metode dialogis atau dialektis, metode Hermeutika mengakui huungan yang dialogis antara subyek dengan obyek yang diteliti, teks, respondens. Metode hermeutika ini memungkinkan adanya berbagai macam konstruksi, interprestasi terhadap obyek yang diteliti.

c. Paradigma Konstruktivis

Peter L. Berger menyatakan bahwa realitas terbentuk atau terkonstruksi secara sosial melalui proses yang dialektis, timbal balik, berulang dan berjalan sekaligus antara individu dan struktur sosial. Konstruksi manusia atas realitas itu tidak tunggal akan tetapi berganda (multiple). Sementara realitas yang diterima umum atau realitas yang menonjol adalah realitas kesehari an yang disebut Schutz dengan every reality yang dianggap normal, obyektif dan wajar yang sesungguhnya berbeda dengan realitas dari perspektif ilmuwan (Wuthnow, 1984:32).

Apa yang disebut orang dengan pengetahuan obyektif adalah hasil perspektif tertentu. Dengan demikian kebenaran dan pengetahuan obyektif bukan ditemukan, akan tetapi dikonstruksi pikiran (perspektif, paradigma, kerangka teori). Kebenaran teori terkait dengan banyak informasi dan konstruksi yang secara konsensus dianggap terbaik dan tercanggih pada saat tertentu. (Swant dalam Denzin & Yvonna, 1994: 127).

Meskipun paradigma konstruktivisme secara umum ditemukan da;am sosial budaya dan humaiora yang sarat dengan fakta konstruksi atau institutional fact, bukan berarti berarti bahwa dalam fisika tidak terdapat konstruksi itu. Dalam fisika quamtum misalnya, ilmuwan harus memilih salah satu diantara momentum partikel atau posisinya dan tidak kedua-duanya. Secara metafisik peneliti menciptakan sifat-sifat tertentu, karena memilih untuk mengukur sifat-sifat itu. Dengan demikian tidak ada realitas obyektif, yang ada adalah realitas berdasarkan perspektif atau kerangka teori yang kita gunakan, dalam arti realitas konstruksi kita (Zukaf, 1970: 28).

4. Posmodernisme dan Permasalahan Ontologi

Francois Lyotard dalam The Postmodern Condition: A Report on Knowledge, 1984 mengalnalisis kedudukan ilmu pengetahuan dan perubahan dalam ilmu pengetahuan sebagai akibat perkembangan teknologi baru atau teknologi informasi.
Lyotard lebih memfokuskan perhatian pada perubahan mendasar dalam ilmu pengetahuan yang mengiringi perubahan dari era budaya modern ke pos modern dan mengatakan bahwa ilmu pengetahuan modern telah usang. Posmodernitas merujuk pada suatu era yang telah kehilangan pada abad pencerahan (The Enlightenment belief) atau modern.


Sumber :
Makalah Hasil Penelitian Dr. Akhyar Yusuf, Paradigma Baru dan Persoalan Metodologi Ilmu Sosial-Budaya