Jumat, 20 November 2009

Peluang dan Tantangan Otomasi Perpustakaan di Indonesia

PELUANG DAN TANTANGAN
OTOMASI PERPUSTAKAAN DI INDONESIA
Pendahuluan
Pesatnya kemajuan teknologi informasi yang didukung teknologi jaringan komputer memungkinkan informasi tersalur dari satu belahan dunia ke belahan dunia yang lain dalam waktu singkat. Teknologi jaringan komputer yang sebelumnya hanya digunakan di lembaga-lembaga pendidikan dan perusahaan-perusahaan besar, sekarang sudah tersebar ke sebagian besar masyarakat dunia termasuk di Indonesia berupa jaringan internet.
Dampak positif dan negatif dari kemajuan teknologi informasi semakin terasa dalam segala aspek kehidupan baik sosial, ekonomi, budaya dan politik. Dengan kemajuan teknologi informasi telah mendorong percepatan globalisasi, sehingga aspek jarak dan waktu menjadi relatif dekat dan singkat.
Perpustakaan seperti kita ketahui adalah merupakan salah satu penyedia dan penyalur informasi yang fungsi dan peranannya cukup berarti di dunia informasi. Tantangan baru di dunia perpustakaan di abad 21 yang banyak dikatakan sebagai abad informasi adalah penyaluran informasi menggunakan protokol elektronik melalui jaringan komputer dengan cepat, tepat dan global. Salah satu solusi untuk menjawab tantangan tersebut adalah dengan membangun perpustakaan terotomasi.
Perpustakaan, dengan fungsinya sebagai penyedia informasi memiliki peranan yang besar dalam pemerataan pendidikan. Perpustakaan adalah salah satu komponen penting dalam menunjang terselenggaranya pendidikan yang berkualitas. Untuk mencapai hal itu, perpustakaan perlu menjalin kerjasama dan berbagai informasi antara satu dengan yang lainnya untuk memperluas jangkauan akses pengguna.
Selain itu, kerjasama pertukaran data dapat mengurangi waktu dan biaya untuk mencari bahan pustaka di perpustakaan yang tersebar secara geografis. Kerjasama pertukaran data dapat merintis inter library loan yang pada akhirnya dapat meningkatkan penetrasi dan kualitas ilmu pengetahuan dan budaya di masyarakat. Menghubungkan perpustakaan di Indonesia bukan merupakan hal yang mudah, setiap perpustakaan biasanya mengimplementasikan sendiri sistem informasi menurut kebutuhan masing-masing.
Hal ini menjadikan setiap sistem perpustakaan yang ada berbeda-beda dan sulit untuk disatukan. Selain itu, kepemilikan data serta keamanan data yang dipertukarkan menjadi penghalang perpustakaan untuk menyediakan datanya agar bisa diakses oleh yang lain. Paling tidak ada empat hal yang menjadi penyebab sulitnya mewujudkan pertukaran data perpustakaan di Indonesia, yaitu : penggunaan platform perangkat keras dan perangkat lunak yang berbeda-beda di setiap perpustakaan, arsitektur dan bentuk penyimpanan data yang berbeda-beda, kultur kepemilikan data yang kuat dan possessive dan kekhawatiran akan masalah keamanan data.
Pemanfaatan teknologi informasi dalam dunia perpustakaan menciptakan peningkatan kualitas serta variasi layanan. Peningkatan kualitas layanan tercermin dari pelayanan yang semakin cepat karena pelayanan tidak lagi dilakukan secara manual, akan tetapi dilakukan dengan menerapkan otomasi perpustakaan yang merupakan salah satu wujud dari pemanfaatkan kemajuan di bidang teknologi informasi. Proses peminjaman, pengembalian, penelusuran koleksi tidak lagi dilakukan secara manual dengan mencatat atau menelusurnya melalui katalaog perpustakaan, semuanya dilakukan dengan secara otomatis menggunakan komputer yang dapat didesain sesuai kebutuhan perpustakaan dengan memanfaatkan kemajuan teknologi yang terjadi. Untuk itu setiap pengelola perpustakaan perlu merencanakan kapan perpustakaan yang dikelolanya mampu mengimplementasikan otomasi. Melalui implementasi otomasi perpustakaan dan pembangunan perpustakaan, perpustakaan berusaha menyajikan layanan yang sesuai dengan harapan masyarakat pengguna.
Sayangnya masih banyak perpustakaan di tanah air yang belum mampu mengimplementasikan otomasi perpustakaan. Hal ini disebabkan banyak perpustakaan terbentur masalah keterbatasan dana sehingga tidak mampu membeli perangkat lunak otomasi sehingga tidak mampu mengimplementasikan otomasi perpustakaan. Implementasi otomasi perpustakaan hanyalah sebuah konsep tanpa ketersediaan perangkat lunak otomasi. Perangkat lunak merupakan komponen utama dalam implementasi otomasi dan harga perangkat lunak komersil yang ada di tanah air masih belum terjangkau oleh semua perpustakaan di Indonesia. Dengan demikian hanya perpustakaan yang ditopang dengan dana yang cukup yang mampu mengimplementasikan otomasi perpustakaan.
Dari permasalah di atas, maka yang jadi pertanyaan adalah apa yang dimaksud dengan otomasi perpustakaan? Bagaimana peluang dan tantangan otomasi perpustakaan di Indonesia?
Pembahasan
  1. Otomasi Perpustakaan
Definisi
Definisi otomasi perpustakaan menurut Lasa HS (1998) adalah pemanfaatan mesin, komputer, dan peralatan elektronik lainnya untuk memperlancar tugas-tugas perpustakaan. Sedangkan menurut Wahyudi (1999), yang dimaksud dengan otomasi perpustakaan adalah pemanfaatan komputer untuk pengelolaan aktivitas perpustakaan yang menyangkut pengadaan bahan pustaka, pengolahan dan pelayanan.
Jadi otomasi Perpustakaan adalah sebuah sebuah proses pengelolaan perpustakaan dengan menggunakan bantuan teknologi informasi (TI). Dengan bantuan teknologi informasi maka beberapa pekerjaan manual dapat dipercepat dan diefisienkan. Selain itu proses pengolahan data koleksi menjadi lebih akurat dan cepat untuk ditelusur kembali. Dengan demikian para pustakawan dapat menggunakan waktu lebihnya untuk mengurusi pengembangan perpustakaan karena beberapa pekerjaan yang bersifat berulang (repetable) sudah diambil alih oleh komputer. Otomasi perpustakaan bukanlah hal yang baru lagi dikalangan dunia perpustakaan. Konsep dan implementasinya sudah dilakukan sejak lama, namun di Indonesia baru populer baru-baru ini setelah perkembangan teknologi informasi di Indonesia mulai berkembang pesat.
2. Komponen Otomasi Perpustakaan
Sebuah sistem otomasi perpustakaan pada umumnya terdiri dari 3 (tiga) bagian, yaitu : pangkalan data, user/pengguna dan perangkat otomasi
a) Pangkalan Data
Setiap perpustakaan umum atau khusus pasti tidak akan terlepas dari proses pencatatan koleksi. Tujuan dari proses ini untuk memperoleh data dari semua koleksi yang dimiliki dan kemudian mengorganisirnya dengan menggunakan kaidah-kaidah ilmu perpustakaan. Pada sistem manual, proses ini dilakukan dengan menggunakan bantuan media kertas atau buku. Pencatatan pada kertas atau buku merupakan pekerjaan yang sangat mudah namun juga merupakan suatu proses yang tidak efektif karena semua data yang telah dicatat akan sangat susah ditelusur dengan cepat jika jumlah sudah berjumlah besar walaupun kita sudah menerapkan proses pengindeksan. Dengan menggunakan bantuan teknologi informasi, proses ini dapat dipermudah dengan memasukkan data pada perangkat lunak pengolah data seperti : CDS/ISIS (WINISIS), MS Access, MySQL. Perangkat lunak ini akan membantu kita untuk mengelola pangkalan data ini menjadi lebih mudah karena proses pengindeksan akan dilakukan secara otomatis dan proses penelusuran informasi akan dapat dilakukan dengan cepat dan akurat karena perangkat lunak ini akan menampilkan semua data sesuai kriteria yang kita tentukan.
b) User/Pengguna
Sebuah sistem otomasi tidak terlepas dari pengguna sebagai penerima layanan dan seorang atau beberapa operator sebagai pengelola sistem. Pada sistem otomasi perpustakaan terdapat beberapa tingkatan operator tergantung dari tanggung jawabnya, yaitu :
1)Supervisor; merupakan operator dengan wewenang tertinggi. Supervisor dapat mengakses dan mengatur beberapa konfigurasi dari sistem sekaligus dapat pula melakukan proses auditing.
2) Operator administrasi; beberapa proses pendaftaran anggota, pelaporan dan beberapa proses yang digunakan untuk urusan administrasi dapat ditangani oleh operator ini.
3) Operator pengadaan dan pengolahan; untuk urusan pengolahan koleksi buku dapat ditangani oleh operator dengan wewenang ini, dari proses pemasukan data hingga proses finishing seperti cetak barcode, lidah buku dan label punggung.
4) Operator sirkulasi; operator ini bertugas untuk melayani pengguna yang hendak meminjam atau memperpanjang atau mengembalikan koleksi ataupun yang hendak membayar tanggungan denda.
c) Perangkat Otomasi
Perangkat otomasi yang dimaksud disini adalah perangkat atau alat yang digunakan untuk membantu kelancaran proses otomasi.
Perangkat ini terdiri dari 2 (dua) bagian, yaitu :
1) Perangkat keras; Sebelum memulai proses otomasi, sebuah perangkat keras perlu disiapkan. Yang dimaksud perangkat keras disini adalah sebuah komputer dan alat bantunya seperti printer, barcode, scanner, dan lain-lain.
2) Perangkat lunak; Sebuah perpustakaan yang hendak menjalankan proses otomasi maka harus ada sebuah perangkat lunak sebagai alat bantu. Perangkat lunak ini mutlak keberadaannya karena digunakan sebagai alat pembantu mengefisienkan dan mengefektifkan proses, seperti CDS/ISIS, WinISIS, KOHA dan lain-lain.
Tanpa adanya dua perangkat ini secara memadai maka proses otomasi tidak akan dapat berjalan dengan baik.
  1. Peluang Otomasi Perpustakaan di Indonesia
Indonesia merupakan negara yang sedang berkembang sehingga sangat terbuka peluang kedepannya untuk mewujudkan perpustakaan-perpustakaan maju yang terotomasi bahkan perpustakaan digital. Peluang untuk otomatisasi perpustakaan dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu :
1. Perangkat Lunak Perpustakaan Berbasis Open Source
Saat ini, masih banyak perpustakaan di tanah air yang layanannya belum terotomasi serta belum mampu membangun perpustakaan digital. Mahalnya harga perangkat lunak serta tidak tersedianya sumber daya manusia yang mampu membangun perangkat lunak otomasi perpustakaan, menyebabkan banyak perpustakaan tidak mampu memenuhi kebutuhan perangkat lunak untuk otomasi perpustakaan dikarenakan banyak perpustakaan di tanah air yang mengalami kesulitan terkait dengan pendanaan perpustakaan. Jangankan untuk pengadaan perangkat lunak yang membutuhkan dana besar, untuk pengadaan koleksi perpustakaan banyak perpustakaan yang mengalami kesulitan. Belum lagi jika perpustakaan berada di bawah pimpinan yang tidak memiliki keberpihakan terhadap pengembangan perpustakaan sehingga otomasi perpustakaan hanyalah sebuah mimpi.
Keterbatasan dana serta pimpinan yang tidak memiliki keberpihakan terhadap perpustakaan, dapat ditutupi jika perpustakaan memiliki sumber daya manusia yang paham memanfaatkan teknologi informasi serta senantiasa mengikuti perkembangan teknologi informasi di dunia perpustakaan. Saat ini, jika para pustakawan dan sumber daya manusia lainnya di perpustakaan selalu mengikuti perkembagan teknologi informasi di perpustakaan maka mereka seharusnya mengerti bahwa saat ini banyak tersedia perangkat lunak berbasis open source yang dapat digunakan gratis oleh perpustakaan. Perangkat lunak berbasis open source ini menyedikan berbagai perangkat lunak yang dapat digunakan sebagai perangkat lunak otomasi perpustakaan.
Fenomena open source memberikan peluang bagi perpustakaan di Indonesia untuk maju dan meningkatkan kualitasnya. Open source memberikan kesempatan bagi perpustakaan untuk menggunakan berbagai perangkat lunak yang tersedia sehingga mampu memberikan layanan terbaik kepada pengguna perpustakaan.
Selama ini, banyak perpustakaan di Indonesia yang tidak mampu melakukan otomasi perpustakaan dikarenakan minimnya dana perpustakaan. Perpustakaan mengalami kesulitan dalam pengadaan perangkat lunak-perangkat lunak otomasi perpustakaan. Padahal melalui otomasi perpustakaan, pengguna perpustakaan akan semakin termanjakan oleh perpustakaan. Perpustakaan semakin menuju kearah layanan yang memberikan kepuasan kepada siapapun yang mengaksesnya.
Keterbatasan inilah yang sebenarnya dapat dijembatani oleh munculnya gerakan open source. Gerakan open source yang menghasilkan produk berupa perangkat lunak berbasis open source memungkinkan perpustakaan memperoleh perangkat lunak yang dibutuhkan tanpa harus mengeluarkan dana. Hal ini merupakan solusi permasalahan klasik selama ini, penyebabkan perpustakaan tidak mampu melakukan otomasi perpustakaan karena keterbatasan dana sehingga perpustakaan tidak mampu mengadakan perangkat lunak otomasi.
Dengan demikian maka keterbatasan dana bukan lagi masalah yang mampu menghambat implementasi perpustakaan berbasis teknologi informasi. Keterbatasan dana bukan lagi menjadi alasan karena kebutuhan perpustakaan terkait dengan pengadaan perangkat lunak perpustakaan telah disediakan oleh gerakan open source. Justru yang lebih penting disini adalah niat dari pengelola perpustakaan untuk belajar memanfaatkan produk-produk gerakan open source. Bahasa Pemrograman yang termasuk dalam kategori open source antara lain PHP dan Perl. Untuk database yang termasuk dalam kategori open source adalah MySQL dan Postgre SQL. Sedangkan yang dimaksud dengan perangkat lunak tambahan berbasis open source, adalah penggunaan aplikasi web server berbasis open source seperti Apache.
2. Transformasi dari Sistem Perpustakaan Traditional ke Perpustakaan Digital
Perlu formulasi kebijakan, perencanaan strategis secara holistic termasuk aspek hukum (copyrights), standarisasi, pengembangan koleksi, infrastruktur jaringan, metoda akses, pendanaan, kolaborasi, kontrol bibliografi, pelestarian, dan sebagainya untuk memandu keberhasilan mengintegrasikan tradisional ke format digital.
Penguatan kapasitas kebijakan harus ditekankan pada pelatihan dan penyegaran kepada staf perpustakaan dan pemakai dengan adanya layanan perpustakaan terotomasi seperti : penggunaan “search engine” dengan konsep “a one stop window”, subject gateways, aplikasi perangkat lunak, sumber daya informasi secara online, digitalisasi, dan lain-lain.
Dunia perpustakaan semakin hari semakin berkembang dan bergerak ke depan. Perkembangan dunia perpustakaan ini didukung oleh perkembangan teknologi informasi dan pemanfaatannya yang telah merambah ke berbagai bidang. Hingga saat ini tercatat beberapa masalah di dunia perpustakaan yang dicoba didekati dengan menggunakan teknologi informasi.
Dari segi data dan dokumen yang disimpan di perpustakaan, dimulai dari perpustakaan tradisional yang hanya terdiri dari kumpulan koleksi buku tanpa katalog, kemudian muncul perpustakaan semi modern yang menggunakan katalog (index). Katalog mengalami metamorfosa menjadi katalog elektronik yang lebih mudah dan cepat dalam pencarian kembali koleksi yang disimpan di perpustakaan.
Koleksi perpustakaan juga mulai dialihmediakan ke bentuk elektronik yang lebih tidak memakan tempat dan mudah ditemukan kembali. Ini adalah perkembangan mutakhir dari perpustakaan, yaitu dengan munculnya perpustakaan digital ( digital library) yang memiliki keunggulan dalam kecepatan pengaksesan karena berorientasi ke data digital dan media jaringan komputer (internet).
Di sisi lain, dari segi manajemen (teknik pengelolaan), dengan semakin kompleksnya koleksi perpustakaan, data peminjam, transaksi dan sirkulasi koleksi perpustakaan, saat ini muncul kebutuhan akan penggunaan teknologi informasi untuk otomatisasi business process di perpustakaan. Sistem yang dikembangkan dengan pemikiran dasar bagaimana kita melakukan otomatisasi terhadap berbagai business process di perpustakaan, kemudian terkenal dengan sebutan sistem otomasi perpustakaan (library automation system).
3. Pengelolaan Dokumen Elektronik
Pengelolaan dokumen elektronik memerlukan teknik khusus yang memiliki perbedaan dengan pengelolaan dokumen tercetak. Proses pengelolaan dokumen elektronik melewati beberapa tahapan, yang dapat kita rangkumkan dalam proses digitalisasi, penyimpanan dan pengaksesan/temu kembali dokumen. Pengelolaan dokumen elektronik yang baik dan terstruktur adalah bekal penting dalam pembangunan sistem perpustakaan terotomasi bahkan perpustakaan digital (digital library)
a) Proses Digitalisasi Dokumen
Proses perubahan dari dokumen tercetak (printed document) menjadi dokumen elektronik sering disebut dengan proses digitalisasi dokumen. Dokumen mentah (jurnal, prosiding, buku, majalah, dsb) diproses dengan sebuah alat (scanner) untuk menghasilkan doumen elektronik. Proses digitalisasi dokumen ini tentu tidak diperlukan lagi apabila dokumen elektronik sudah menjadi standar dalam proses dokumentasi sebuah organisasi.

b) Proses Penyimpanan
Pada tahap ini dilakukan proses penyimpanan dimana termasuk didalamnya adalah pemasukan data (data entry), editing, pembuatan indeks dan klasifikasi berdasarkan subjek dari dokumen. Klasifikasi bisa menggunakan UDC (Universal Decimal Classification) atau DDC (Dewey Decimal Classfication) yang banyak digunakan di perpustakaanperpustakaan di Indonesia.
Ada dua pendekatan dalam proses penyimpanan, yaitu pendekatan basis file (file base approach) dan pendekatan basis data (database approach). Masing-masing pendekatan memiliki kelebihan dan kelemahan, dan kita dapat memilih pendekatan mana yang akan kita gunakan berdasarkan kebutuhan.
c) Proses Pengaksesan dan Pencarian Kembali Dokumen
Inti dari proses ini adalah bagaimana kita dapat melakukan pencarian kembali terhadap dokumen yang telah kita simpan. Metode pengaksesan dan pencarian kembali dokumen akan mengikuti pendekatan proses penyimpanan yang kita pilih. Pendekatan database membuat proses ini lebih fleksibel dan efektif dilakukan, terutama untuk penyimpanan data skala besar. Disisi lain, kelemahannya adalah relatif lebih rumitnya sistem dan proses yang harus kita lakukan.
4. Pengembangan Sistem Otomasi Perpustakaan Berdasar Business Process di Perpustakaan
Sistem otomasi perpustakaan yang kita kembangkan harus berdasarkan kepada proses bisnis (business process) sebenarnya yang ada di perpustakaan kita. Prosentase kegagalan implementasi suatu sistem dikarenakan sistem dikembangkan bukan berdasarkan kebutuhan dan proses bisnis yang ada di organisasi yang akan menggunakan sistem tersebut.
Sistem otomasi perpustakaan yang baik adalah yang terintegrasi, mulai dari sistem pengadaan bahan pustaka, pengolahan bahan pustaka, sistem pencarian kembali bahan pustaka, sistem sirkulasi, membership, pengaturan denda keterlambatan pengembalian, dan sistem reporting aktifitas perpustakaan dengan berbagai parameter pilihan.
Lebih sempurna lagi apabila sistem otomasi perpustakaan dilengkapi dengan barcoding, dan mekanisme pengaksesan data berbasis web dan internet.
  1. Tantangan Otomasi Perpustakaan di Indonesia
Pengembangan sistem otomasi perpustakaan di Indonesia diawali sekitar 1985, ketika PDIN (Pusat Dokumentasi dan Informasi Nasional, kini Pusat Dokumentasi dan Informasi Ilmiah - PDII) menggunakan program MINISIS atau CDS/ISIS versi komputer mini dari UNESCO. Saat itu komputer PC (Personal Computer) belum berkembang dengan baik seperti dewasa ini. Kemudian Perpustakaan Lembaga Kelistrikan Nasional mengembangkan program untuk mengelola data perpustakaan dengan memanfaatkan dBase II dan Litbang Depkes RI membuat sistem otomasi perpustakaan berbasis dBase III. Otomasi perpustakaan perguruan tinggi antara lain dirintis oleh Institut Pertanian Bogor tahun 1986, saat kepindahannya ke kampus baru Darmaga dengan program SIMPUS (Sistem Perpustakaan) berbasis dBase III Plus (Mustafa, 2005).
Sistem otomasi perpustakaan yang baik adalah yang terintegrasi, mulai dari system pengadaan bahan pustaka, pengolahan bahan pustaka, sistem pencarian kembali bahan pustaka, sistem sirkulasi, membership, pengaturan denda keterlambatan pengembalian, dan sistem reporting aktifitas perpustakaan dengan berbagai parameter pilihan. Lebih sempurna lagi apabila sistem otomasi perpustakaan dilengkapi dengan barcoding, dan mekanisme pengaksesan data berbasis web dan internet (Wahono, 2006).
1. Kendala Dalam Otomasi Perpustakaan
Pada tahun 1960-an dan awal 1970-an banyak pustakawan merasa keberatan terhadap pengembangan system perpustakaan berbasis komputer. Salah satu artikel klasik yang berkaitan dengan topik ini ditulis oleh Ellsworth Mason dalam Qolyubi (2003) yang mengungakapkan bahwa ada delapan mitos yang dipegangi oleh pustakawan pada saat itu, yaitu sebagai berikut: 1) Tidak semua hal bisa ditangani oleh computer; 2) Prosedur-prosedur berbasis computer tidak selalu lebih efisien daripada yang bersifat manual; 3) Sistem berbasis computer tidak murah; 4) Tidak mudah untuk diimplementasikan pada computer baru; 5) Program-program pada sistem berbasis komputer sukar ditransfer ke perpustakaan-perpustakaan; 6) Tidak mudah untuk men-Share jasa komputer; 7) Tidak mudah untuk menggabungkan sistem perpustakaan yang bersifat individual ke dalam suatu sistem yang teritegrasi secara total; 8) Pemakai tidak akan menerima jasa yang lebih baik dari sistem perpustakaan berbasis komputer.
Kendala-kendala klasik tersebut sangat dirasakan dalam membangun sistem otomasi perpustakaan di Indonesia. Inventarisasi kendala otomasi perpustakaan di Indonesia yang sering muncul antara lain :
a. Kesalahpahaman tentang otomasi perpustakaan
Ada beberapa anggapan yang tidak benar. Anggapan yang pertama bahwa biaya otomasi perpustakaan sangat besar. Pengalaman membuktikan bahwa dengan adanya otomasi perpustakaan justru menghemat biaya. Penghematan tersebut dapat dihitung, misalnya, dalam pembuatan dan penyajian katalog. Apabila kita menerapkan sistem manual yang standar, perpustakaan harus membuat 5 katalog untuk setiap judul buku. Masing-masing adalah katalog judul, pengarang, dan subyek untuk kepentingan pemustaka agar mereka dapat akses melalui tiga titik akses tersebut.
Dua katalog lainnya adalah Shelf List Catalog untuk kepentingan staf perpustakaan. Dari gambaran di atas dapat ditaksir besar biaya yang diperlukan untuk pembuatan catalog, biaya untuk tenaga, kertas, tinta, rak katalog dan sebagainya. Pada awalnya memang pembangunan otomasi perpustakaan memerlukan investasi yang besar. Namun dengan adanya kemajuan teknologi informasi sekarang ini harga hardware semakin turun dan juga muncul software open source yang dapat diunduh secara gratis untuk kepentingan otomasi perpustakaan, hal tersebut dapat menekan biaya untuk pembangunan otomasi perpustakaan.
b. Kurangnya staf yang terlatih
Kurangnya staf yang terlatih juga menjadi kendala yang menghambat pengembangan otomasi perpustakaan. Pembangunan otomasi perpustakaan paling tidak mempunyai staf yang mampu mengoperasikan komputer (operator), lebih baik apabila mempunyai tenaga ahli. Banyak perpustakaan yang sampai saat ini masih menjadi tempat pembuangan. Artinya bila ada staf yang sulit dibina biasanya penentu kebijakan/pimpinan akan memindahkan staf tersebut ke perpustakaan. Hal inilah yang dapat menyebabkan terhambatnya pengembangan perpustakaan termasuk dalam membangun otomasi perpustakaan.
c. Kurangnya dukungan dari pihak pimpinan
Dukungan pimpinan merupakan hal yang penting dan strategis dalam membangun otomasi perpustakaan. Tanpa dukungan pimpinan yang memadai rencana otomasi perpustakaan tidak akan berhasil dengan baik. Dukungan tersebut dapat berupa dana, pengembangan staf, dan dukungan moril.
d. Input data
Proses input data dapat juga menjadi kendala dalam membangun otomasi perpustakaan. Apalagi jumlah koleksi perpustakaan sudah besar tentu akan memakan waktu dan biaya yang tidak sedikit. Agar proses input data dapat lancar dan tidak perlu dana besar serta tidak mengganggu layanan perpustakaan, sebaiknya pada permulaan pelaksanaan otomasi perpustakaan tetap menjalankan dua sistem yaitu sistem manual dan sistem otomasi.
Untuk melengkapi penjelasan kendala-kendala otomasi perpustakaan di atas, berikut pendapat Qolyubi (2003), bahwa pada umumnya permasalahan potensial terhadap penerapan sistem perpustakaan berbasis komputer dapat digolongkan ke dalam beberapa tajuk, antara lain sebagai berikut:
1) Perangkat keras (Hardware)
Supplier yang gagal dalam menyediakan hal-hal yang sangat dibutuhkan dalam bekerja, skala waktu yang benar, dan harga yang layak, serta penyediaan jasa pemeliharaan yang sesuai. Di samping itu, perangkat keras yang telah didesain tidak dapat menguasai jumlah data untuk diproses atau tidak dapat merespons secara cepat. Pemakai tidak suka bekerja pada workstation yang online apabila system computer mengambil waktu yang signifikan untuk merespon setiap pertanyaan.
2) Perangkat lunak (Software)
Pada tataran ini, permasalahan terletak pada ketidaklayakan desain, implementasi, pengujian, dan dokumentasi. Problem ini cenderung muncul apabila perangkat keras dikembangkan secara inhouse daripada menggunakan suatu paket purpouse-build. Pada system paket ini akan muncul masalah jika peluncuran baru yang dijanjikan tidak ada atau tidak adanya suatu perbandingan antara kesalahan yang terjadi pada peluncuran yang baru dan peluncuran yang lama. Oleh karena itu, kesuksesan system tersebut perlu ada komitmen dari supplier untuk mengadakan pengembangan dan pemeliharaan program.
3) Manusia
Masalah potensial yang berkaitan dengan factor manusia diantaranya adalah desain system komputer tidak didasarkan pada kebutuhan riil pemakai, kurangnya komunikasi antara staf perpustakaan dan staf computer dalam merencanakan, mendesain, mengimplementasikan, dan menjalankan system tersebut. Cox dkk. Selama pertengahan tahun 1960-an mengidentifikasi beberapa area kesalahpahaman yang dapat terjadi adalah antara staf perpustakaan dan staf computer sebagai pustakawan memiliki harapan terlalu tinggi terhadap system computer, sedangkan orang-orang computer tidak memahami kebutuhan riil perpustakaan.
Masalah potensial lainnya adalah tidak adanya komunikasi dalam perpustakaan. Apabila staf yang tidak terlibat secara langsung dalam pengembangan dan implementasi system berbasis computer tersebut tidak mengetahui tujuan, kemajuan, dan implikasi-implikasi yang lain, mereka sulit untuk mempercayai bahwa system tersebut sangat dibutuhkan dan berpengaruh pada perpustakaan. Masalah lainnya adalah dampak terhadap struktur organisasi di Perpustakaan. Struktur organisasi perpustakaan perlu menyesuaikan dengan system berbasis computer.
4) Keuangan
Penerapan suatu system perlu pemahaman yang mendalam terhadap system tersebut sehingga hal itu mengharuskan orang-orang yang akan terlibat di dalamnya harus mengikuti serangkaian pendidikan atau workshop. Tujuannya adalah untuk memahami seluk-beluk perangkat keras dan pengembangan perangkat lunaknya. Dan semua itu membutuhkan dana.
Selain itu dalam prakteknya ada sejumlah perpustakaan mengalami beberapa tantangan yang boleh jadi dapat memacu maupun menghambat perpustakaan itu sendiri.
1.Tantangan pertama
Saat ini pemanfaatan internet telah sangat banyak. Bahkan dalam suatu survey, terlihat anak-anak sekarang akan memprioritaskan internet sebagai alat Bantu dalam menyelesaikan tugas-tugas sekola ataupun perkuliahannya. Dengan kata lain, internet telah menjadi fasilitas utama penunjang pendidikan dan mengesampingkan adanya perpustakaan. Fenomena ini juga semakin terlihat di Indonesia dimana semakin banyak anak-anak yang menggunakan internet sebagai alat Bantu untuk menyelesaikan tugas atau pekerjaan rumah.
Sementara itu, internet pun juga terus berkembang dan saat ini masyarakat telah banyak memanfaatkan web 2.0 sebagai suatu media untuk berkomunikasi dan berbagi pengalaman dan cerita, berbagi gambar, berbagi audio dan sebagainya.
Sebagian perpustakaan juga telah mulai menerapkan web 2.0 agar fasilitas dan informasi mereka dapat dengan mudah diketahui oleh para penggunanya. Web 2.0 merupakan pengembangan internet sebagai media untuk bersosialisasi dengan sesama serta untuk berbagi. Dalam kaitan dengan perpustakaan, web 2.0 dapat digunakan misalnya untuk lebih menjelaskan tentang isi katalog. Dengan berbasis web 2.0 maka katalog yang dulunya hanya berisi informasi serba sedikit tentang sebuah buku, kini informasinya jauh lebih bermanfaat dari sebelumnya, karena katalog ini dilengkapi dengan daftar isi buku, review dan lain sebagainya; bahkan orang yang pernah membaca buku tersebut dapat pula menambahkan informasi tentang buku tersebut.
Walaupun saat ini para pustakawan Indonesia masih berbicara tentang perpustakaan digital dengan berbagai seluk beluknya dan semoga dalam waktu yang tidak terlalu lama akan pula masuk dalam kancah web 2.0 dan library 2.0. Dan tentu saja masih ada berbagai kemajuan web 2.0 yang dapat diterapkan di perpustakaan. Untuk dapat maju dan sejajar dengan para pustakawan di negara lain, kita harus berani tampil dalam dunia kepustakawanan yang berwawasan multidisiplin dan multi-skills.
2.Tantangan kedua
Beberapa waktu yang lalu penulis sempat bertemu dengan Jeffrey Trzeciak, kepala Perpustakaan McMaster University. Penulis bertemu beliau dalam suatu forum di China. Beliau mengatakan telah mengangkat 7 pustakawan baru yaitu (1) gaming librarian, (2) digital strategist, (3) digital technologist, (4) e-resources librarian, (5) archivist librarian, (6) marketing and communication librarian, (7) teaching and learning librarian. Ketujuh posisi tersebut dijabat oleh para pustakawan dan berlatar belakang pustakawan juga. Bagaimana dengan kita? Beranikah kita merancang peran-peran baru dalam kepustakawanan? Ataukah kita akan tetap terbelenggu dengan rutinitas sesuai yang tertulis pada jabatan fungsional pustakawan?
3. Tantangan ketiga
Tantangan ketiga merupakan tantangan klasik yang terutama kita hadapi dalam dunia sehari-hari. Walaupun selalu saja banyak perpustakaan mengatakan bahwa perpustakaan mereka selalu ramai dikunjungi oleh para pemakainya, namun perlu ditelusuri lebih lanjut, berapa persen dari masyarakat tersebut yang telah memanfaatkan perpustakaan. Angka statistic yang besar tidak akan ada artinya bila pembaginya sangat besar. Pengembangan minat baca memang harus dilakukan dari kecil dan jangan sampai terputus di tengah jalan. Untuk itulah kita perlu memikirkan juga para pustakawan yang bekerja di sekolah-sekolah (SD, SMP, dan SMA) agar perjuangan mereka bisa lebih diargai dan mendapatkan apresiasi yang lebih baik lagi. Usia sekolah merupakan critical ages untuk mengembangkan minat baca, sehingga pustakawan harus mendapatkan dukungan dalam rangka meningkatkan minat baca tersebut. UNESCO telah mengeluarkan berbagai bacaan tentang literasi yang sangat baik untuk dipelajari oleh para pustakawan.
4.Tantangan keempat
Tantangan ini ada di dunia kampus dan setelahnya. Para pengajar dan pembelajar akan sangat baik kalau bisa mempertimbangkan para calon pustakawan tersebut tidak hanya memiliki ketrampilan dalam bidangnya saja, tetapi juga mampu berbicara pada forum-forum yang mungkin berawal dari kampus dan kemudian masuk ke tingkat lokal, nasional dan internasional. Penulis merasakan betapa sedikitnya pustakawan kita yang berperan serta dalam kancah internasional. Dua kali saya mempresentasikan makalah di konferensi perpustakaan internasional yang diselenggarakan di Malaysia, tetapi tak satu pun pustakawan Indonesia mengikutinya. Juga di forum IFLA, misalnya, lebih berperan sebagai peserta dan itupun didominasi oleh Perpustakaan Nasional, sedangkan presenter dari Indonesia hanya satu.orang saja. Pada pertemuan kongres internasional ALA dua bulan lalu beberapa pustakawan ramai ramai menulis satu makalah yang lolos karena penulis utamanya adalah orang Amerika sendiri
III. Penutup
Sistem otomasi perpustakaan sangat bermanfaat dan mempermudah dalam proses kegiatan yang ada di perpustakaan karena telah terotomasi, sehingga semakin mempermudah akses temu kembali informasi dan dengan begitu akan lebih mempermudah tugas pustakawan atau tenaga pengelola teknis yang bekerja di perpustakaan.
Perpustakaan yang andal di masa depan adalah perpustakaan yang memiliki kemampuan akses terhadap teknologi. Dalam hal ini, perpustakan terotomasi merupakan perpustakaan yang dimotori oleh keunggulan teknologi. Sistem dan manajemennya telah didukung oleh teknologi serta koleksi-koleksinya berupa teknologi yang telah diotomasi. Keberadaan otomasi perpustakaan akan memberikan wajah baru dalam dunia perpustakaan, sedangkan image negatif yang telah memarginalisasikan perpustakaan akan terpecahkan. Di samping itu, otomasi memiliki daya sistem pelayanan yang super efisien, akurat, dan cepat sehingga pemakai atau anggota perpustakaan akan merasa nyaman dan puas.
Daftar Pustaka
Bambang Hariyanto (2003), Sistem Pengarsipan dan Metode Akses, Informatika, Bandung.
Diao, Ai Lien (2003), Perubahan perpustakaan perguruan tinggi dan kebutuhan akan tenaga baru, Makalah yang dipresentasikan di Musyawarah Kerja Nasional II dan Seminar Ilmiah Forum Perpustakaan Perguruan Tinggi Indonesia (FPPTI), yang diselenggarakan pada tanggal 16-18 September 2003 di Pusat Studi Jepang Universitas Indonesia, Depok.
Diao, Ai Lien. Transpormasi Dunia Perpustakaan. http://www.aptik.or.id/artikel/TRANSFORMASI%20DUNIA%20PERPUSTAKAAN2.pdf. Diakses tanggal 15 November 2009
Fahmi, Ismail. Pendayagunaan Digital Library Network Untuk Mendukung Riset Nasional. http://yb1zdx.arc.itb.ac.id/data/OWP/library-sw-hw/digital-library/gdl40/PAPERS/filosofi-teknis-idln.PDF. Diakses tanggal 15 November 2009
Hakim, Heri Abi Burachman. Open source Sebuah Peluang Bagi Pengembangan Perpustakaan.http://www.heri_abi.staff.ugm.ac.id/index.php?option=com_content&task=view&id=17&Itemid=33. Diakses tanggal 15 November 2009

Harmawan, Sistem Otomasi Perpustakaan.
http://blog.unila.ac.id/ainul/files/2009/06/tugas-ta.doc., akses jum’at 13 Nov 09, pukul 15.03 wib
Lasa HS (2005), ManajemenPerpustakaan, Yogyakarta, Gama Media.
Mustafa, B.2005. Peta Otomasi Perpustakaan Di Indonesia: Studi Kasus Software Sipisis
Otomasi Perpustakaan. http://librarycorner.org/2007/02/28/otomasi-perpustakaan/. Diakses tanggal 15 November 2009
Priyanto, Ida Fajar, (2008),Tantangan baru dunia kepustakawanan:Menuju masa depan yang berubah.http://lib.ugm.ac.id/data/pubdata/pusta/priyanto UIN.pdf. Diakses tanggal 15 November 2009
Satria, Romi, http://romisatriawahono.net/publications/1998/romi-tekno98.pdf. Diakses tanggal 15 November 2009
Setiarso, Bambang, Pengembangan Perpustakaan Digital (DL) di Instansi Pemerintah. http://media.diknas.go.id/media/document/4364.pdf. Diakses tanggal 15 November 2009
Sulistiyo-Basuki, (2004), Pengantar Dokumentasi. Rekayasa Sains.
Qalyubi, Syihabuddin. dkk. 2003. Dasar-dasar Ilmu Perpustakaan dan Informasi. Yogyakarta: Jurusan Ilmu Perpustakaan dan Informasi, Fakultas Adab IAIN Sunan Kalijaga.
Wahono, Romi Satria.2006. Teknologi Informasi untuk Perpustakaan: Perpustakaan Digital dan Sistem Otomasi Perpustakaan, dalam ilmukomputer.com, akses Senin 16 Nov 2009, pukul 15.22 wib.
Wahyudi, Kumoroto, dan Subandono Agus Margono, (1999), Sistem Informasi Manajemen Dalam Organisasi-organisasi Publik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Senin, 09 November 2009

Pengertian Pelayanan Publik

A. Pengantar

Sinyalemen terhadap ketidak berdayaan administrasi negara melalui birokrasinya dalam menghadapi masalah-masalah sosial, ekonomi dan politik sudah dirasakan sejak lama. Kondisi semacam ini dalam perdebatan administrasi negara sering disebut sebagai “Krisis Identitas” yang mempertanyakan kecenderungan peran dan posisi administrasi negara sebagai ilmu (science) ataukah sebagai praktek (art). Kesan semacam ini didukung oleh adanya fakta tumpang tindihnya antara posisi peran ilmu politik (ilmu pemerintahan) dan ilmu ekonomi (ilmu manajemen) dengan ilmu administrasi dalam praktek-praktek administrasi negara yang terkesan bersifat legal formal, spesifik, bernuansa budaya sentris, sampai dengan anggapan bahwa administrasi negara tidak memiliki persyaratan ilmiah dan teoritisasi yang sifatnya berlaku umum.

Oleh karena itu Robert Dahl (1947) menyarankan adanya studi perbandingan administrasi negara (atau studi perbandingan birokrasi) yang mampu melakukan terobosan, terutama dalam menjawab tantangan-tantangan pembangunan yakni masalah kemiskinan dan ketidak adilan sosial, terutama yang terjadi dinegara-negara berkembang dan negara-negara miskin. Produk dari pemikiran ini, kemudian berkembang dan melahirkan paradigma administrasi pembangunan (development administration paradigm) yang dibentuk oleh Ikatan Sarjana Administrasi Pembangunan Asia di Teheran (1966) yang bergerak dalam bidang penyempurnaan administrasi negara di wilayah timur. Salah satu orientasinya adalah bagaimana administrasi negara mampu mengembangkan dirinya dalam melaksanakan fungsi-fungsi pembangunan, terutama dalam hal pelayanan publik yang dapat dipertanggung jawabkan (responsebelity), memiliki daya tanggap yang kuat (responsivity) dan mampu mewakili kepentingan masyarakat (representativity) berdasar ketentuan hukum dan aturan yang berlaku dengan pancaran hati nurani (akuntabelity) . Oleh sebab itu, pergeseran pemikiran administrasi semacam ini seharusnya tidak hanya membawa konsekuensi terhadap perubahan struktur, fungsi, finansial dan personalia dari organisasi birokrasi itu saja, tetapi yang lebih penting bagaimana perubahan struktur, fungsi, finansial dan personalia organisasi birokrasi mampu diikuti oleh perubahan kultur organisasi birokrasi dan perilaku manusia-manusia yang terlibat di dalamnya.

Apabila perubahan ini dapat terwujud, maka apa yang diharapkan dalam orientasi efektivitas pelayanan publik, Insyaallah akan dapat tercapai.

B. Adakah Teori Pelayanan Publik?

Jika pelayanan publik sebagai produk dari orientasi pemikiran administrasi pembangunan, dan administrasi pembangunan sebagai orientasi baru dari reformasi administrasi negara; maka muncul pertanyaan, adakah teori khusus yang berkaitan dengan pelayanan publik ?
Gerald Caiden (1986) sebagai seorang pakar administrasi negara pernah menyindir tentang keberadaan teori administrasi negara ini. Menurut Caiden, administrasi negara itu terlalu banyak teori, tetapi tidak terdapat satu teoripun yang dapat diberlakukan secara umum dari administrasi negara.

Hal yang bernada sama pernah disampaikan pula oleh Fred.W Riggs (1964) dan Ferrel Heady (1966) yang mempertanyakan perihal isi dan kecenderungan dari teori administrasi negara yang dianggapnya tidak jelas metodologinya. Dipihak lain, dalam beberapa literatur pelayanan publik lebih dikenal sebagai tatanan konsep daripada tatanan teori (Thoha,1992; Munafe,1966; Djumara,1994; Hardjosoekarso, Kristiadi dan Saragih,1994).

Oleh karena itu istilah pelayanan publik disebut juga dengan istilah pelayanan kepada orang banyak (masyarakat), pelayanan sosial, pelayanan umum dan pelayanan prima. Pernyataan semacam ini sekaligus menambah adanya kerancuan ontologis (apa, mengapa), epistemologis (bagaimana) dan axiologis (untuk apa) dalam memperbincangkan teori yang berkaitan dengan pelayanan publik?
Secara ideal, persyaratan teori administrasi yang menyangkut pelayanan publik antara lain :
1. Harus mampu menyatakan sesuatu yang berarti dan bermakna yang dapat diterapkan pada situasi kehidupan nyata dalam masyarakat (konteksual)
2. Harus mampu menyajikan suatu perspektif kedepan
3. Harus dapat mendorong lahirnya cara-cara atau metode baru dalam situasi dan kondisi yang berbeda
4. Teori administrasi yang sudah ada harus dapat merupakan dasar untuk mengembangkan teori administrasi lainnya, khususnya pelayanan publik 5 Harus dapat membantu pemakainya untuk menjelaskan dan meramalkan fenomena yang dihadapi 6 Bersifat multi disipliner dan multi dimensional (komprehensif).

Berpedoman dari persyaratan diatas, maka Ferrel Heady (1966) menyarankan adanya :
a. Tindakan modifikasi terhadap teori administrasi negara klasik/ tradisional
b. Perubahan isi dari teori administrasi yang lebih diorientasikan kepada kepentingan pembangunan
c. Melakukan redifinisi secara umum terhadap sistem dan model-model pengembangan
d. Menemukan perumusan baru teori administrasi yang bersifat middle range theory.

Adapun Fred. W Riggs (1964) menyarankan adanya pergeseran pendekatan metodologi penelitian administrasi (khususnya yang berkaitan dengan pengamatan fenomena pelayanan publik) dari :
(1) Pendekatan normatif ke pendekatan empiris
(2) Pendekatan ideografik ke pendekatan nomotetik
(3) Pendekatan struktural ke pendekatan ekologi, dan
(4) Pendekatan behavior ke pendekatan post-behavior (pendekatan analogi).

Apabila hal-hal tersebut dapat dilakukan, maka diharapkan studi administrasi negara:
(a) Mampu menciptakan konsep dan teori-teori baru yang dapat menerobos batas-batas kebudayaan,
(b) Mampu membandingkan ketentuan-ketentuan formal, hukum-hukum dan peraturan-peraturan yang ada sebagai landasan perumusan keputusan dan kebijaksanaan (pelayanan publik),
(c) Mampu bertindak sesuai dengan kajian fakta dan data dilapangan.
Kesimpulan sementara yang dapat diambil apabila administrasi negara ingin menemukan identitas teori-teori yang berkaitan dengan pelayanan publik, maka perlu adanya kegiatan studi komparatif administrasi negara dalam bidang pelayanan publik dan meningkatkan kegiatan penelitian atau riset lapangan yang berkaitan dengan proses perumusan kebijakan pelayanan publik, proses implementasi pelayanan publik dan evaluasi produk pelayanan publik.

C. Budaya Birokrasi Pelayanan Publik

Ada asumsi menarik yang dipertanyakan, Apakah budaya organisasi birokrasi mempengaruhi proses pelayanan publik, ataukah tradisi pelayanan publik akan mempengaruhi dan menciptakan budaya organisasi birokrasi?

Jika yang pertama muncul maka akan terjadi stagnasi dan kekuatan statusquo dalam organisasi birokrasi; tetapi jika yang kedua muncul maka akan tercipta perubahan dan pengembangan organisasi birokrasi yang dinamis. Budaya organisasi (birokrasi) merupakan kesepakatan bersama tentang nilai-nilai bersama dalam kehidupan organisasi dan mengikat semua orang dalam organisasi yang bersangkutan ( Sondang P.Siagian,1995).

Oleh karena itu budaya organisasi birokrasi akan menentukan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh para anggota organisasi; menentukan batas-batas normatif perilaku anggota organisasai; menentukan sifat dan bentuk-bentuk pengendalian dan pengawasan organisasi; menentukan gaya manajerial yang dapat diterima oleh para anggota organisasi; menentukan cara-cara kerja yang tepat, dan sebagainya. Secara spesifik peran penting yang dimainkan oleh budaya organisasi (birokrasi) adalah membantu menciptakan rasa memiliki terhadap organisasi; menciptakan jati diri para anggota organisasi; menciptakan keterikatan emosional antara organisasi dan pekerja yang terlibat didalamnya; membantu menciptakan stabilitas organisasi sebagai sistem sosial; dan menemukan pola pedoman perilaku sebagai hasil dari norma-norma kebiasaan yang terbentuk dalam keseharian.

Begitu kuatnya pengaruh budaya organisasi (birokrasi) terhadap perilaku para anggota organisasi, maka budaya organisasi (birokrasi) mampu menetapkan tapal batas untuk membedakan dengan organisasi (birokrasi) lain; mampu membentuk identitas organisasi dan identitas kepribadian anggota organisasi; mampu mempermudah terciptanya komitmen organisasi daripada komitmen yang bersifat kepentingan individu; mampu meningkatkan kemantapan keterikatan sistem sosial; dan mampu berfungsi sebagai mekanisme pembuatan makna dan simbul-simbul kendali perilaku para anggota organisasi. Pelayanan publik sebagai suatu proses kinerja organisasi (birokrasi), keterikatan dan pengaruh budaya organisasi sangatlah kuat. Dengan kata lain, apapun kegiatan yang dilakukan oleh aparat pelayanan publik haruslah berpedoman pada rambu-rambu aturan normatif yang telah ditentukan oleh organisasi publik sebagai perwujudan dari budaya organisasi publik.

Oleh karena itu Dennis A.Rondinelli (1981) pernah mengingatkan bahwa penyebab kegagalan utama dalam melaksanakan orientasi pelayanan publik ini (jelasnya, tugas desentralisasi) adalah: Kuatnya komitmen budaya politik yang bernuansa sempit; kurangnya tenaga-tenaga kerja yang terlatih dan trampil dalam unit-unit lokal; kurangnya sumber-sumber dana untuk melaksanakan tugas dan tanggung jawab; adanya sikap keengganan untuk melakukan delegasi wewenang; dan kurangnya infrastruktur teknologi dan infra struktur fisik dalam menunjang pelaksanaan tugas-tugas pelayanan publik.

Demikian juga Malcolm Walters (1994) menambahkan bahwa kegagalan daripada pelayanan publik ini disebabkan karena aparat (birokrasi) tidak menyadari adanya perubahan dan pergeseran yang terjadi dalam budaya masyarakatnya dari budaya yang bersifat hirarkhis, budaya yang bersifat individual, budaya yang bersifat fatalis, dan budaya yang bersifat egaliter. Pelayanan publik yang modelnya birokratis cocok untuk budaya masyarakat hirarkhis; pelayanan publik yang modelnya privatisasi cocok untuk budaya masyarakat individual (yang anti hirarkhis); pelayanan publik yang modelnya kolektif cocok untuk budaya masyarakat fatalis (yang mendukung budaya hirarkhis dan anti budaya individu); sedangkan pelayanan publik yang modelnya memerlukan pelayanan cepat dan terbuka cocok untuk budaya masyarakat egaliter (yang anti budaya hirarkhis, anti budaya individu dan anti budaya fatalis). Masalahnya sekarang, untuk masyarakat Indonesia dewasa ini tergolong dalam kategori budaya masyarakat yang mana ? Ini harus dipahami ! ( Penulis, cenderung mengatakan bahwa masyarakat Indonesia saat ini sudah memasuki era budaya masyarakat egaliter; oleh karenanya bentuk pelayanan publik yang cocok adalah model pelayanan cepat dan terbuka).

Menurut Grabiel A.Almond (1960) proses perubahan pembudayaan ini harus disebar luaskan atau disosialisasikan secara merata kepada masyarakat, dicarikan rekruitmen tenaga-tenaga kerja (birokrasi) yang profesional, dipahami atau diartikulasikan secara tepat dan benar, ditumbuh kembangkan sebagai kepentingan masyarakat secara umum, dan dikomunikasikan secara dialogis. Hasil dari proses pembudayaan diharapkan mampu menciptakan pengambilan keputusan/ kebijaksanaan yang benar,menciptakan terbentuknya kelompok pelaksana kerja yang efektif, dan terciptanya tim pengawasan yang bertindak jujur dan obyektif.

Pada akhirnya, proses ini berujung pada proses internalisasi kepribadian dan sinergi ekonomi masyarakat sebagai basis utamanya.

D. Efektivitas Pelayanan

Publik Substansi pelayanan publik selalu dikaitkan dengan suatu kegiatan yang dilakukan oleh seseorang atau kelompok orang atau instansi tertentu untuk memberikan bantuan dan kemudahan kepada masyarakat dalam rangka mencapai tujuan tertentu. Pelayanan publik ini menjadi semakin penting karena senantiasa berhubungan dengan khalayak masyarakat ramai yang memiliki keaneka ragaman kepentingan dan tujuan. Oleh karena itu institusi pelayanan publik dapat dilakukan oleh pemerintah maupun non-pemerintah. Jika pemerintah, maka organisasi birokrasi pemerintahan merupakan organisasi terdepan yang berhubungan dengan pelayanan publik.

Dan jika non-pemerintah, maka dapat berbentuk organisasi partai politik, organisasi keagamaan, lembaga swadaya masyarakat maupun organisasi-organisasi kemasyarakatan yang lain. Siapapun bentuk institusi pelayanananya, maka yang terpenting adalah bagaimana memberikan bantuan dan kemudahan kepada masyarakat dalam rangka memenuhi kebutuhan dan kepentingannya. Dalam kaitannya dengan penyelenggaraan pemerintahan, birokrasi sebagai ujung tombak pelaksana pelayanan publik mencakup berbagai program-program pembangunan dan kebijaksanaan-kebijaksanaan pemerintah.

Tetapi dalam kenyataannya, birokrasi yang dimaksudkan untuk melaksanakan tugas-tugas umum pemerintahan dan pembangunan tersebut, seringkali diartikulasikan berbeda oleh masyarakat. Birokrasi di dalam menyelenggarakan tugas pemerintahan dan pembangunan (termasuk di dalamnya penyelenggaraan pelayanan publik) diberi kesan adanya proses panjang dan berbelit-belit apabila masyarakat menyelesaikan urusannya berkaitan dengan pelayanan aparatur pemerintahan . Akibatnya, birokrasi selalu mendapatkan citra negatif yang tidak menguntungkan bagi perkembangan birokrasi itu sendiri (khususnya dalam hal pelayanan publik).

Oleh karena itu, guna menanggulangi kesan buruk birokrasi seperti itu, birokrasi perlu melakukan beberapa perubahan sikap dan perilakunya antara lain :
a. Birokrasi harus lebih mengutamakan sifat pendekatan tugas yang diarahkan pada hal pengayoman dan pelayanan masyarakat; dan menghindarkan kesan pendekatan kekuasaan dan kewenangan
b. Birokrasi perlu melakukan penyempurnaan organisasi yang bercirikan organisasi modern, ramping, efektif dan efesien yang mampu membedakan antara tugas-tugas yang perlu ditangani dan yang tidak perlu ditangani (termasuk membagi tugas-tugas yang dapat diserahkan kepada masyarakat)
c. Birokrasi harus mampu dan mau melakukan perubahan sistem dan prosedur kerjanya yang lebih berorientasi pada ciri-ciri organisasi modern yakni : pelayanan cepat, tepat, akurat, terbuka dengan tetap mempertahankan kualitas, efesiensi biaya dan ketepatan waktu.
d. Birokrasi harus memposisikan diri sebagai fasilitator pelayan publik dari pada sebagai agen pembaharu (change of agent ) pembangunan
e. Birokrasi harus mampu dan mau melakukan transformasi diri dari birokrasi yang kinerjanya kaku (rigid) menjadi organisasi birokrasi yang strukturnya lebih desentralistis, inovatif, flrksibel dan responsif.

Dari pandangan tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa organisasi birokrrasi yang mampu memberikan pelayanan publik secara efektif dan efesien kepada masyarakat, salah satunya jika strukturnya lebih terdesentralisasi daripada tersentralisasi. Sebab, dengan struktur yang terdesentralisasi diharapkan akan lebih mudah mengantisipasi kebutuhan dan kepentingan yang diperlukan oleh masyarakat, sehingga dengan cepat birokrasi dapat menyediakan pelayanannya sesuai yang diharapkan masyarakat pelanggannya. Sedangkan dalam kontek persyaratan budaya organisasi birokrasi, perlu dipersiapkan tenaga kerja atau aparat yang benar-benar memiliki kemampuan (capabelity), memiliki loyalitas kepentingan (competency), dan memiliki keterkaitan kepentingan (consistency atau coherency).

E. Tolok Ukur Kualitas Pelayanan Publik

Dalam tinjauan manajemen pelayanan publik, ciri struktur birokrasi yang terdesentralisir memiliki beberapa tujuan dan manfaat antara lain :
(1) Mengurangi (bahkan menghilangkan) kesenjangan peran antara organisasi pusat dengan organisasi-organisasi pelaksana yang ada dilapangan
(2) Melakukan efesiensi dan penghematan alokasi penggunaan keuangan
(3) Mengurangi jumlah staf/aparat yang berlebihan terutama pada level atas dan level menengah ( prinsip rasionalisasi)
(4) Mendekatkan birokrasi dengan masyarakat pelanggan Mencermati pandangan ini, maka dalam kontek pelayanan publik dapat digaris bawahi bahwa keberhasilan proses pelayanan publik sangat tergantung pada dua pihak yaitu birokrasi (pelayan) dan masyarakat (yang dilayani).

Dengan demikian untuk melihat kualitas pelayanan publik perlu diperhatikan dan dikaji dua aspek pokok yakni : Pertama, aspek proses internal organisasi birokrasi (pelayan); Kedua, aspek eksternal organisasi yakni kemanfaatan yang dirasakan oleh masyarakat pelanggan. Dalam hal ini Irfan Islamy (1999) menyebut beberapa prinsip pokok yang harus dipahami oleh aparat birokrasi publik dalam aspek internal organisasi yaitu :
(a) Prinsip Aksestabelitas, dimana setiap jenis pelayanan harus dapat dijangkau
secara mudah oleh setiap pengguna pelayanan (misal: masalah tempat, jarak dan prosedur pelayanan)
(b) Prinsip Kontinuitas, yaitu bahwa setiap jenis pelayanan harus secara terus menerus tersedia bagi masyarakat dengan kepastian dan kejelasan ketentuan yang berlaku bagi proses pelayanan tersebut
(c) Prinsip Teknikalitas, yaitu bahwa setiap jenis pelayanan proses pelayanannya harus ditangani oleh aparat yang benar-benar memahami secara teknis pelayanan tersebut berdasarkan kejelasan, ketepatan dan kemantapan sistem, prosedur dan instrumen pelayanan (e) Prinsip Profitabilitas, yaitu bahwa proses pelayanan pada akhirnya harus dapat dilaksanakan secara efektif dan efesien serta memberikan keuntungan ekonomis dan sosial baik bagi pemerintah maupun bagi masyarakat luas.
(f) Prinsip Akuntabelitas, yaitu bahwa proses, produk dan mutu pelayanan yang telah diberikan harus dapat dipertanggung jawabkan kepada masyarakat karena aparat pemerintah itu pada hakekatnya mempunyai tugas memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya kepada masyarakat.

Begitu pentingnya profesionalisasi pelayanan publik ini, pemerintah melalui Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara telah mengeluarkan suatu kebijaksanaan Nomer.81 Tahun 1993 tentang Pedoman Tatalaksana Pelayanan Umum yang perlu dipedomani oleh setiap birokrasi publik dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat berdasar prinsip-prinsip pelayanan sebagai berikut :
(1) Kesederhanaan, dalam arti bahwa prosedur dan tata cara pelayanan perlu ditetapkan dan dilaksanakan secara mudah, lancar, cepat, tepat, tidak berbelit-belit, mudah dipahami dan mudah dilaksanakan oleh masyarakat yang meminta pelayanan
(2) Kejelasan dan kepastian, dalam arti adanya kejelasan dan kepastian dalam hal prosedur dan tata cara pelayanan, persyaratan pelayanan baik teknis maupun administratif, unit kerja pejabat yang berwenang dan bertanggung jawab dalam meberikan pelayanan, rincian biaya atau tarif pelayanan dan tata cara pembayaran, dan jangka waktu penyelesaian pelayanan
(3) Keamanan, dalam arti adanya proses dan produk hasil pelayanan yang dapat memberikan keamanan, kenyamanan dan kepastian hukum bagi masyarakat
(4) Keterbukaan, dalam arti bahwa prosedur dan tata cara pelayanan, persyaratan, unit kerja pejabat penanggung jawab pemberi pelayanan, waktu penyelesaian, rincian biaya atau tarif serta hal-hal lain yang berkaitan dengan proses pelayanan wajib diinformasikan secara terbuka agar mudah diketahui dan dipahami oleh masyarakat, baik diminta maupun tidak diminta
(5) Efesiensi, dalam arti bahwa persyaratan pelayanan hanya dibatasi pada hal-hal yang berkaitan langsung dengan pencapaian sasaran pelayanan dengan tetap memperhatikan keterpaduan antara persyaratan dengan produk pelayanan
(6) Ekonomis, dalam arti bahwa pengenaan biaya atau tarif pelayanan harus ditetapkan secara wajar dengan memperhatikan: nilai barang dan jasa pelayanan, kemampuan masyarakat untuk membayar, dan ketentuan perundang-undangan yang berlaku
(7) Keadilan dan Pemerataan, yang dimaksudkan agar jangkauan pelayanan diusahakan seluas mungkin dengan distribusi yang merata dan adil bagi seluruh lapisan masyarakat
(8) Ketepatan Waktu, dalam arti bahwa pelaksanaan pelayanan harus dapat diselesaikan tepat pada waktu yang telah ditentukan. Oleh karena itu dalam merespon prinsip-prinsip pelayanan publik yang perlu dipedomani oleh segenap aparat birokrasi peleyanan publik , maka kiranya harus disertai pula oleh sikap dan perilaku yang santun, keramah tamahan dari aparat pelayanan publik baik dalam cara menyampaikan sesuatu yang berkaitan dengan proses pelayanan maupun dalam hal ketapatan waktu pelayanan.

Hal ini dimungkinkan agar layanan tersebut dapat memuaskan orang-orang atau kelompok orang yang dilayani. Ada 4 (empat) kemungkinan yang terjadi dalam mengukur kepuasan dan kualitas pelayanan publik ini, yaitu :
(1) Bisa jadi pihak aparat birokrasi yang melayani dan pihak masyarakat yang dilayani sama-sama dapat dengan mudah memahami kualitas pelayanan tersebut (mutual knowledge), (2) Bisa jadi pihak aparat birokrasi yang melayani lebih mudah memahami dan mengevaluasi kualitas pelayanan publik daripada masyarakat pelanggan yang dilayani (producer knowledge), (3) Bisa jadi masyarakat pelanggan yang dilayani lebih mudah dan lebih memahami dalam mengevaluasi kualitas pelayanan yang diberikan oleh aparat birokrasi pelayanan publik (consumer knowledge), dan
(4) Bisa jadi baik aparat birokrasi pelayanan publik maupun masyarakat yang dilayani sama-sama tidak tahu dan mendapat kesulitan dalam mengevaluasi kualitas pelayanan publik (mutual Ignorance). Dalam hal ini teori analisa yang dapat dipergunakan antara lain teori “Impression Management” yaitu bagaimana mengukur tingkat responsif, tingkat responsbelity dan tingkat representatif seseorang atau kelompok orang terhadap fenomena tertentu (Fred Luthans, 1995). Sayangnya, dalam praktek dan tinjauan teoritis untuk menentukan tolok ukur kualitas pelayanan publik tidak semudah membalikkan telapak tangan.

Suatu misal Richard M.Steers (1985) menyebutkan beberapa faktor yang berkepentingan dalam upaya mengidentifikasi kualitas pelayanan publik antara lain : variabel karakteristik organisasi, variabel karakteristik lingkungan, variabel karakteristik pekerja/aparat, variabel karakteristik kebijaksanaan, dan variabel parkatek-praktek manajemennya. Untuk melengkapi pendapat ini, maka Sofian Effendi (1995) menyebutkan beberapa faktor lagi yang menyebabkan rendahnya kualitas pelayanan publik (di Indonesia) antara lain adanya:
(a) Konteks monopolistik, dalam hal ini karena tidak adanya kompetisi dari penyelenggara pelayanan publik non pemerintah, tidak ada dorongan yang kuat untuk meningkatkan jumlah, kualitas maupun pemerataan pelayanan tersebut oleh pemerintah
(b) Tekanan dari lingkungan, dimana faktor lingkungan amat mempengaruhi kinerja organisasi pelayanan dalam transaksi dan interaksinya antara lingkungan dengan organisasi publik
(c) Budaya patrimonial, dimana budaya organisasi penyelenggara pelayanan publik di Indonesia masih banyak terikat oleh tradisi-tradisi politik dan budaya masyarakat setempat yang seringkali tidak kondusif dan melanggar peraturan-peraturan yang telah ditentukan.

Untuk solusinya dalam menghadapi tantangan dan kendala-kendala pelayanan publik sebagaimana disebutkan diatas, maka diperlukan adanya langkahlangkah strategis antara lain : Pertama: Merubah tekanan-tekanan sistem pemerintahan yang sifatnya sentralistik otoriter menjadi sistem pemerintahan desentralistik demokratis;
Kedua : Membentuk asosiasi/perserikatan kerja dalam pelayanan publik;
Ketiga : Meningkatkan keterlibatan masyarakat , baik dalam perumusan kebijakan pelayanan publik, proses pelaksanaan pelayanan publik maupun dalam monitoring dan pengawasan pelaksanaan pelayanan publik;
Keempat : Adanya kesadaran perubahan sikap dan perilaku dari aparat birokrasi pelayanan publik menuju model birokrasi yang lebih humanis (Post weberian);
Kelima : Menyadari adanya pengaruh kuat perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam menunjang efektivitas kualitas pelayanan publik;
Keenam: Pentingnya faktor aturan dan perundang-undangan yang menjadi landasan kerja bagi aparat pelayanan publik;
Ketujuh: Pentingnya perhatian terhadap faktor pendapatan dan penghasilan (wages and salary) yang dapat memenuhi kebutuhan minimum bagi aparat pelayanan publik;
Kedelapan: Pentingnya faktor keterampilan dan keahlian petugas pelayanan publik; Kesembilan: Pentingnya faktor sarana phisik pelayanan publik;
Kesepuluh : Adanya saling pengertian dan pemahaman bersama (mutual understanding) antara pihak aparat birokrasi pelayan publik dan masyarakat yang memerlukan pelayanan untuk mematuhi peraturan dan perundang-undangan yang berlaku khususnya dalam pelayanan publik.

F. Kesimpulan

Secara teoritis, perubahan-perubahan komitmen dalam organisasi akan dikuti oleh kegiatan pengembangan organisasi yang langsung maupun tidak langsung merubah pula tradisi-tradisi budaya kerja organisasi yang sudah ada. Keterkaitan semacam ini berhubungan erat dengan perubahan-perubahan struktural, fungsional, finansial, personalia, teknikal maupun perubahan-perubahan dibidang fisikal (tata ruang pelayanan kerja) yang memang diperlukan dalam proses perubahan tersebut. Perubahan dalam organisasi (birokrasi) apapun bentuknya jika tidak dipersiapkan dengan matang justru akan menimbulkan dampak negatif (dis-consequenses) daripada dampak positifnya (Eu-consequenses).

Oleh karena itu bagi administrator publik perubahan situasi dan kondisi yang berkembang dewasa ini (sebut saja, perubahan struktur, fungsi, finansial, personalia dan kultur organisasi dalam kasus otonomi daerah) harus diantisipasi dan disiasati sedini mungkin secara cermat dan bijaksana (wait and see) sebelum melakukan tindakan nyata. Sebab bisa jadi perubahan struktur, fungsi, finansial dan personalia tidak diikuti oleh perubahan kulturnya; tetapi bisa jadi juga perubahan struktur, fungsi, finansial dan personalia yang dikuti oleh perubahan kulturnya hanya bersifat sementara dan semu (pseudo) karena mengandung unsur keterpaksaan dan dipaksa oleh tuntutan reformasi massa.

Jika hal ini yang terjadi, maka apa yang dimaksud dengan reformasi administrasi (birokrasi) akan bersifat retorika belaka dan tidak autonomous (murni).

DAFTAR BACAAN :

Almond, Grabiel A, 1960, The Politics of Developing Areas, Princeton University Press. Caiden, Gerald, 1986, Public Administration, dalam MZ.Lawang, Pengantar Administrasi Negara, Universitas Terbuka, Jakarta.
Effendi, Sofian, 1993, Strategi Administrasi dan Pemerataan Akses pada Pelayanan Publik Indonesia, Laporan Hasil Penelitian, Fisipol UGM, Yogyakarta. ———————, 1995, Kebijaksanaan Pembinaan Organisasi Publik Pada PJP II, Percikan Pemikiran Awal, Makalah Pelatihan Analisis Kebijakan Sosial Angkatan III, Yogyakarta.
Hardjosoekarto, Sudarsono, 1994, Beberapa Perspektif Pelayanan Prima, Bisnis dan Birokrasi, Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Nomor 3/Volume II/September 1994, Universitas Indonesia.
Heady, Ferrel and Sybil l. Stokes (ed), 1962, Papers in Comparative Public Administration, The University of Michigan, Institute of Public Administration, Ann Arbor, Michigan. Islamy,M.Irfan, 1999, Reformasi Pelayanan Publik, Makalah Pelatihan Strategi Pembangunan Sumber Manusia Aparatur Pemerintah Daerah dalam Era Globalisasi, di Kabupaten Daerah Tingkat II Trenggalek.
Kristiadi,JB, Revitalisasi Birokrasi dalam Meningkatkan Pelayanan Prima, Bisnis dan Birokrasi, Jurna Ilmu Administrasi dan Organisasi, Nomer 3/Volume II/September 1994, Universitas Indonesia. Luthan, Fred, 1995, Organizational Behavior, Mc.Graw Hill Interntional.
Moenir, H.AS, 1998, Manajemen Pelayanan Umum di Indonesia, Cetakan III, Bumi Aksara, Jakarta. Osborne.D and T.Gaebler, 1992, Reinventing Government; How The Enterpreneurial Spirit is Transforming The Public Sector, Rending Mass: Addison-Wesley.
Riggs, Fred.W, 1964,Administration in Developing Countries, The Theory of Prismatic Society, Houghton Mifflin Company, Boston. Rondinelli. DA. 1981, Government Decentralization in Comparative Perspectivve: Theory and Practice in Developing Countries, International Review of Administrative Science, Volume XLVII, Number 2. Robbins, Stephen.P, 1996, Perilaku Organisasi, Prenhallindo, Jakarta.
Siffin,William J (ed), 1959, Toward Comparative Study of Public Administration, Indiana University Press, Bloomington, Indiana. Siagian, Sondang P, 1995, Teori Pengembangan Organisasi, Bumi Aksara, Jakarta
Steer, Richard.M, 1985, Efektivitas Organisasi, cetakan II, Erlangga, Jakarta. Thoha, Miftah, 1983, Perilaku Organisasi, Fisipol UGM, Rajawali Press, Jakarta. Waters, Malcolm, 1994, Modern Sociological Theory, Sage Publications, London, Thousand Oaks, New Delhi.

Kepuasan Masyarakat dalam Pelayanan Publik

Salah satu konsep dasar dalam memuaskan pelanggan, minimal mengacu pada :

(1) Keistimewaan yang terdiri dari sejumlah keistimewaan produk, baik keistimewaan langsung maupun keistimewaan atraktif yang dapat memenuhi keinginan pelanggan dan dengan demikian dapat memberikan kepuasan dalam penggunaan produk itu.
(2) Kualitas terdiri dari segala sesuatu yang bebas dari kekurangan atau kerusakan.Acuan dari kualitas seperti dijelaskan diatas menunjukan bahwa kualitas selalu berfokus pada kepentingan/kepuasan pelanggan (Customer Focused Quality), sehingga dengan demikian produk-produk didesain,diproduksi, serta pelayanan diberikan untuk memenuhi keinginan pelanggan.

Oleh karena itu, maka kualitas mengacu pada segala sesuatu yang menentukan kepuasan pelanggan, suatu produk yang dihasilkan baru dapat dikatakan berkualitas apabila sesuai dengan keinginan pelanggan, dapat dimanfaatkan dengan baik serta didiproduksi dengan cara yang baik dan benar.Sejalan dengan hal terdebut diatas, maka untuk memenuhi keinginan masyarakat (pelanggan), Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara (MENPAN) dalam keputusannya Nomor : 81/1995 menegaskan bahwa pelayanan yang berkualitas hendaknya sesuai dengan sendi-sendi sebagai berikut :
(1) Kesederhanaan, dalam arti bahwa prosedur/tata cara pelayanan diselenggarakan secara mudah, lancar, cepat dan tidak berbelit-belit serta mudah difahami dan dilaksdanakan.
(2) Kejelasan dan kepastian, menyangkut :? Prosedur/tata cara pelayanan umum? Persyaratan pelayanan umum, baik teknis maupun administratif? Unit kerja atau pejabat yang bertanggung jawab dalam memberikan pelayanan umum? Rincian biaya/tarif pelayanan umum dan tata cara pembayarannya? Jadwal waktu penyelesaian pelayanan umum? Hak dan kewajiban baik dari pemberi maupun penerima pelayanan umum berdasarkan bukti-bukti penerimaan permohonan/ kelengkapannya, sebagai alat untuk memastikan pemrosesan pelayanan umum? Pejabat yang menerima keluhan pelanggan (masyarakat)
(3) Keamanan, dalam arti bahwa proses serta hasil pelayanan umum dapat memberikan keamanan dan kenyamanan serta dapat memberikan kepastian hukum.
(4) Keterbukaan, dalam arti bahwa prosedur/tata cara, persyaratan, satuan kerja/pejabat penanggung jawab pemberi pelayanan umum, waktu penyelesaian dan rincian biaya/tarif dan hal-hal lain yang yang berkaitan dengan proses pelayanan umum wajib diinformasikan secara terbuka agar mudah diketahui dan difahami oleh masyarakat, baik diminta maupun tidak diminta
(5) Efisien, meliputi :? Persyaratan pelayanan umum hanya dibatasi pada hal-hal yang berkaitan langsung dengan pencapaian sasaran pelayanan dengan tetap memperhatikan keterpaduan antara persyaratan dengan produk pelayanan umum yang diberikan? Dicegah adanya pengulangan pemenuihan kelengkapan persyaratan, dalam hal proses pelayanannya mempersyaratkan kelengkapan persyaratan dari satuan kerja/instansi pemerintah lain yang terkait.
(6) Ekonomis, dalam arti pengenaan biaya pelayanan umum harus ditetapkan secara wajar dengan memperhatikan :? Nilai barang atau jasa pelayanan umum dengan tidak menuntut biaya yang tinggi diluar kewajaran? Kondisi dan kemampuan pelanggan (masyarakat) untuk membayar secara umum? Ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku
(7) Keadilan yang merata dalam arti cakupan atau jangkauan pelayanan umum harus diusahakan seluas mungkin dengan distribusi yang merata dan diperlakukan secara adil.
(8) Ketepapatan waktu, dalam arti pelaksanaan pelayanan umum dapat diselesaikan dalam kurun waktu yang telah ditentukan.Kompetensi pelayanan prima yang diberikan oleh aparatur pemerintahan kepada masyarakat, selain dapat dilihat dalam keputusan Menpan nomor 81/1993, juga dipertegas dalam instruksi Presiden nomor 1/1995 tentang peningkatan kualitas aparatur pemerintah kepada masyarakat.

Oleh karena itu, kualitas pelayanan masyarakat dewasa ini tidak dapat diabaikan lagi, bahkan hendaknya sedapat mungkin disesuaikan dengan tuntutan era globalisasi.Sudarsono Hardjosoekarto dalam Bisnis dan Birokrasi Nomor 3/Vol. IV/September 1994 (p. 16) menyebutkan beberapa kategori dalam mengkaji pelayanan prima. Pertama, kategori berdasar yang meliputi analisa makro dan analisa mikro. Kedua kategori yang berorientasi pada model Mc. Kinsey yang mengkaitkan upaya pelayanan prima dengan 7 (tujuh) unsur S, yakni :? Strategi? Struktur? System? Staff? Skill? Style? Share ValueTuntutan dibuatnya “Standar Pelayanan Prima” didasarkan pada pandangan bahwa :? The customer is always right? If the customer is wrong, see rule number oneMeskipun rumusan diatas seperti sesuatu yang tidak serius, namun mengandung konsekuensi penting yakni adanya adanya tuntutan untuk terus memperhatikan secara serius terhadap kepentingan pelanggan dan pengembangan pelayanan prima tetap terpusat pada manusia disamping jika dikaitkan dengan masalah kepemimpinan sering diungkapkan bahwa “Excellence starts at the top… leadership by example”. Suatu pertanyaan yang muncul dari uraian diatas, yaitu apakah kita cukup banyak pemimpin yang mampu dan mau melayani pelanggan secara prima melebihi apa yang diperlihatkan oleh anak buahnya dalam melayani ?

Ini merupakan suatu tantangan riil yang bukan pada ribuan karyawan, melainkan bagi sedikit pemimpin tingkat tinggi.Prinsip-prinsip yang diuraikan oleh Sudarsono Hardjosoekarto diatas dapat diperluas lagi sebagaimana yang dikemukakan De Vry (1994) yang mengarahkan elaborasi ini kedalam 7 (tujuh) simple strategi for success yang kemudian dalam perjalanan waktu disebut service model, yang meliputi :a. Self-esteemb. Exceed expecctationc. Recoverd. Visione. Improvef. Careg. EmpowerKepuasan pelanggan (masyarakat) dapat dicapai apabila aparatur pemerintah yang terlibat langsung dalam pelayanan, dapat mengerti dan menghayati serta berkeinginan untuk melaksanakan pelayanan prima. Untuk dapat melaksanakan pelayanan prima, unsur aparatur seyogiyanya mengerti dan memahami apakah kepemimpinan pelayan itu?, dan siapakan pemimpin pelayan ?.

Kepemimpinan pelayan membahas realitas kekuasaan dalam kehidupan sehari-hari, yang meliputi legitimasi, kekangan etika dan hasil yang menguntungkan yang dapat dicapai melalui penggunaan kekuasaan yang semestinya. Larry Spears dalam karyanya Greenleaf mengidentifikasi sepuluh ciri khas pemimpin pelayan, yakni :
(1) Mendengarkan
(2) Empati
(3) Menyembuhkan
(4) Kesadaran
(5) Bujukan atau persuasif
(6) Konseptualisasi
(7) Kemampuan meramalkan
(8) Kemampuan melayani
(9) Komitmen terhadap pertumbuhan manusia
(10) Membangun Masyarakat

Kepemimpinan pelayan seperti yang dikemukakan diatas dapat bermakna terhadap masyarakat pelanggannya apabila aparatur pelayan (pemerintah) sungguh-sungguh memperhatikan beberapa dimensi atau atribut perbaikan kualitas jasa termasuk kualitas pelayanan, yang terdiri:
a. Ketepatan waktu pelayanan
b. Akurasi pelayanan
c. Kesopanan, keramahan dalam memberikan pelayanan
d. Tanggung jawab
e. Kelengkapan
f. Kemudahan mendapatkan pelayanan
g. Variasi model pelayanan
h. Pelayanan pribadi
i. Kenyamanan dalam memperoleh pelayanan
j. Atribut pendukung pelayanan lainnya

Masyarakat (pelanggan) dapat terpuaskan dari pelayanan aparatur (pemerintah) hanya berorientasi pada kepuasan total pelanggan. Pelanggan membutuhkan komitmen dan tindakan nyata dal;am memberikan pelayanan prima. Adapun kriteria yang mencirikan pelayanan sekaligus membedakannya dari barang adalah :
• Pelayanan merupakan output tak berbentuk
• Pelayanan merupakan output variabel, tidak standar
• Pelayanan tidak dapat disimpan dalam inventori, tetapi dapat dikonsumsi dalam produksi
• Terdapat hubungan langsung yang erat dengan pelanggan melalui proses pelayanan
• Pelanggan berpartisipasi dalam proses memberikan pelayanan
• Keterampilan personil diserahkan atau diberikan secara langsung kepada pelanggan
• Pelayanan tidak dapat diproduksi secara massal
• Membutuhkan pertimbangan pribadi yang tinggi dari individu yang memberikan pelayanan
• Perusahaan pada umumnya bersifat padat karya
• Fasilitas pelayanan berada dekat lokasi pelanggan
• Pengukuran efektivitas pelayanan bersifat subyektif
• Pengendalian kualitas terutama dibatasi pada pengendalian proses
• Option penetapan harga adalah lebih rumitPeningkatan kualitas pelayanan pada masyarakat dalam menghadapi era globalisasi sangat memerlukan sebuah strategi, mulai dari strategi perancangan pelayanan prima dalam manajemen kualitas modern hingga kepada implementasi dari rancangan terhadap kualitas pelayanan.

Untuk itu, Gaspersz, 1997 merumuskan strategi pelayanan dengan manajemen jasa modern yang kemudian dikenal dengan strategi 7 (tujuh) P, yakni :
1. Product
2. Price
3. Place
4. Promotion
5. Phisical evidence
6. Proses desain
7. Participants

PENUTUP

Agar pelayanan aparatur pemerintah dapat lebih memuaskan masyarakat, selain dituntut memahami strategi 7 (tujuh) P, kriteria yang mencirikan yang pelayanan, ciri khas dari pemimpin pelayan, model 7 (tujuh) S dari Mc Kinsey, juga semua aparatur pelayan dituntut untuk memahami visi, misi dan standar pelayanan prima. Kiranya kepedulian kita terhadap kualitas pelayanan pada masyarakat dapat meningkat.

STUDY OBJECTIVE

STUDY OBJECTIVE

Indonesia as a developing country, needs more experiences and also knowledge from other countries. Therefore it is important for Indonesians to establish networks for improving human resources with other countries, especially developed ones. They have more advanced strategies, experiences. and also literatures on women’s studies

I am interested in studying women’s studies, especially from a social psychology perspective. I have a background in this field from my graduate degree in the department of social psychology at Gadjah Mada University and from my experiences when I have been in the Center for Women’s Studies for three years in my university. My several years work at this Center, one of the leading women organizations especially in gender issues and Islam, gave me valuable experience in applying my knowledge in the real world, in addition to the new knowledge that I acquired while doing research. However, in order to improve my knowledge of the field and develop my capacity, I feel that I have to continue my formal study to the another level more deeply. By doing so, I believe that I will be able to better understand the social phenomena around me, and therefore I will be able to come out with better analysis and policy recommendation.

Study in women’s studies from a social psychology perspective is particularly important for Indonesia at the present time. There is a social contraction that leads to the gender bias. Most gender bias has negative effects for women, not only from traditional thought but it also happens in modern thought. In the State Institute of Islamic Studies (IAIN) Context, women’s studies is very important in three aspects; first is in the Academic area. To strengthen the women’s studies program at IAIN, it is very important to improve the quality of human resources. In this regard, women’s studies offered by Fulbright scholarship would assist to achieve this goal. IAIN as a learning center in Indonesia has a significant role to become an agent of change in Indonesian society, for the majority of Indonesian population is Muslim .Secondly is in Research activity. It is very important to acquire a better understanding of research methodology in the area of women’s studies. Although in IAIN there is a lot of research of this kind but the quality is still limited. The last area is Social Service. It is the duty of Institute to empower society through direct service activities. To do this, the institute has worked hand in hand with other institutions.

My involvement in several social and academic activities such as giving guidance and consoling in the community and conducting some research, has given me an understanding that a new approach in development process is urgently needed in Indonesia. This approach should recognize the potensial and dynamics of the society, and even invite the participation of the leaders and also the women themselves in the development strategy. The research of The attitude of Islamic leaders toward gender issues in Yogyakarta that I was deeply involved with have shown that there is still gender bias among Islamic leaders. So far the general perception of the society indicates that the modern leaders are not gender biased. But in my research, I found that there were no significant differences of attitude between traditional and modern leaders toward gender issue. Therefore a new strategy to increase gender sensitivity among Islamic leader in Indonesia is very necessary.

In summary, for me pursuing a Master degree in a US university in this field is a way to improve my knowledge and capability. The quality of education in the US, with its experienced lecturers, excellent libraries, and abundant literature, undoubtedly, will give the opportunity to explore my field of interest that otherwise I am not able to do. Furthermore, it will also give me an additional advantage that is to build an international network with planners and researchers in developmental issues.

Upon my return to Indonesia, I will continue my contribution in the developmental process through my institution by developing it to be a special strategy. Our expertise to do research of the micro level, complete with my knowledge in macro context and theory, will support me to come out with comprehensive analysis of problems and help solve the gender bias among Islamic leaders. This is something that I have always wanted to do, to contribute my knowledge and my effort for the people in need.


PERSONAL STATEMENT
After having graduated from senior high school in 1998, I enrolled in the English Department of the State Islamic University (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Indonesia because I was inspired by my experiences when I have to speech in English-as a foreign Language in my country. I have made speech in front of the audience since I was in Senior High School.
During my 5 years of study in the Department, I found that campus life was not only meant for the purpose of study Islamic and English language,so I joined the social and religion organization.
Graduated from English department does not make me satisfy with it. So,after graduated from my under graduate, I take post graduate in the University of Muhammmadiyah Prof. Dr. Hamka in Jakarta, English Department.