Minggu, 23 Januari 2011

Penyensoran, Kebebasan Intelektual, dan Pengembangan Koleksi

BAB 18

Penyensoran, Kebebasan Intelektual, dan Pengembangan Koleksi
Oleh: Muhammad Azwar, Rhoni Rodin, Hairul Agus Cahyono

Sebagai bagian dari persiapan kami untuk edisi baru ini, kami telah menghubungi orang-orang yang telah menggunakan edisi ke-4 untuk mendapatkan masukan mengenai hal-hal yang dapat ditambahkan dan hal-hal yang dapat diabaikan. Ketika hal tersebut terjadi pada bab ini, beberapa orang menyarankan mengabaikannya dan menjadikannya sebuah bab yang berdiri sendiri. Setelah mempertimbangkannya dengan matang, kami memutuskan bahwa permasalahan-permasalahan yang begitu kompleks tidak harus dalam sebuah bab yang terpisah. Kompleksitas permasalahan muncul dari fakta bahwa permasalahan penyensoran dan kebebasan intelektual keduanya merupakan karakter yang bersifat individu sekaligus organisasi. Menyediakan akses internet kepada pengguna menambah tingkat kompleksitas permasalahan tersebut.
Semua topik pengembangan koleksi telah didiskusikan dengan berbagai kompleksitasnya, dan beberapa hal menyentuh persoalan sosial yang lebih luas. Bagaimanapun, tidak ada permasalahan yang lebih kompleks daripada permasalahan pensensoran dan kebebasan intelektual. Bebas berbicara, bebas membaca, akses informasi yang terbuka merupakan istilah alternatif yang digunakan untuk kebebasan intelektual, sebagaimana yang telah didefinisikan ALA sebagai :
hak setiap individu untuk mencari dan menerima informasi dari semua sudut pandang tanpa batasan. Hal ini akan menyediakan untuk bebas akses untuk mengekspresikan semua ide melalui berbagai pertanyaan ataupun eksplorasi.
Demikian juga, sensorsip didefinisikan oleh ALA sebagai :
suatu perubahan dalam status akses terhadap bahan materi, berdasarkan konten dari suatu karya dan dibuat oleh yang memiliki otoritas atau yang mewakilinya. Perubahan yang dimaksud termasuk pengecualian, pembatasan, pemindahan, penghapusan, ataupun dalam hal perubahan level kelas.
Jelaslah, bahwa perubahan-perubahan ini merupakan pilar dimana pustakawan dan manajer informasi membangun koleksi. Sehingga, konsep kebebasan intelektual dan penyensoran haruslah ditujukan pada proses pengembangan koleksi.
Tidaklah cukup tempat dalam bab ini untuk secara penuh mengeksplorasi semua aspek kebebasan intelektual, pensensoran, dan berbicara panjang lebar. Meskipun merupakan konsep yang penting dan menarik untuk setiap orang yang terlibat dalam pengembangan koleksi, namun persoalan kebebasan intelektual dan pensensoran juga hal yang begitu kompleks dan menjadi subjek pembicaraan banyak buku dan artikel. Semua pustakawan harus memahami hal ini, bahkan penting bagi orang tertentu memahami dengan baik permasalahan-permasalahan yang terkait dengan pensensoran.

A. Latar BelakangPada sisi organisasi, pensensoran muncul dari hukum, peraturan, kebijakan pemerintah, kebijakan perpustakaan, dan tekanan dari kelompok lainnya. Dari sudut pandang individu, pensensoran muncul dari pengguna individu, dan mungkin paling banyak dari orang-orang yang membuat keputusan mengenai koleksi.
Konsep “koleksi yang seimbang” merepresentasikan semua pandangan dari suatu masyarakat yang plural, masih relatif baru bagi perpustakaan Amerika. Masa terbaik (1870-an sampai 1970-an) peraturan legal ditegakkan, berusaha menegakkan moralitas. Anthony Comstock orang yang memiliki personali dan kepercayaan yang kuat berupaya untuk mengawasi bahan-bahan bacaan orang Amerika, yang begitu kuat dan berhasil menjadikan namanya saat ini sebagai bagian dari kamus dari diskusi intelektual dan pensensoran―Comstockery.
Memang, Comstock terlalu vokal dalam usahanya itu, pada tahun 1873, Kongres meloloskan sebuah undang-undang yang berupaya menciptakan sebuah struktur untuk moralitas nasional. Hampir 75 tahun, hukum ini berlaku. Pos layanan yang ditunjuk sebagai agen pemerintah terutama bertanggung jawab untuk melaksanakannya pada level nasional. Pada level setempat, beberapa unsur berfungsi. Pemerintah Amerika meloloskan peraturan yang sama demikian juga departemen kepolisian setempat terlibat juga dalam wakil pengendali. Agen penegakan hukum cukup membantu dari dua kelompok warga: yaitu masyarakat untuk kelompok tertindas dan lingkungan masyarakat. Masyarakat untuk kelompok tertindas kendaraan Comstock digunakan untuk mendapatkan dukungan dan menunjukkan dukungan nasional yang dalam atas pandangan-pandangannya. Kegiatan utama masyarakat tersebut adalah mengecek ketersediaan material tercetak pada warga setempat, apapun sumbernya (toko buku, kios koran, dan perpustakaan baik umum maupun khusus). Terkadang, ketika masyarakat merasa bahwa pejabat penegakan hukum setempat tidak bergerak begitu cepat, hal tersebut akan menjadi permasalahan tersendiri.
Dari tahun 1873 hingga masuk abad ke-20, pengalaman Amerika Serikat memadukan tiga jenis penyensoran : penyensoran resmi karena hukum tahun 1873; tekanan dari masyarakat yang konsen dengan standar moral komunitas mereka; dan pada pensensoran pada bagian penerbit, penjualan buku, dan pustakawan. Sikap para pustakawan terhadap pensensoran semacam itu hampir tidak terdengar, kenyataannya sekelompok profesional mensponsori kegiatan workshop dan seminar untuk membantu pustakawan mengidentifikasi buku-buku yang tidak tepat. Kebanyakan pustakawan terkemuka di masa lalu menyimpan (prosiding ALA, pidato, ataupun tulisan) mendukung pengembangan koleksi jenis ini.
Situasi menarik muncul dengan judul-judul bahasa asing. Banyak pengarang tersedia dalam bahasa mereka sendiri, namun bukan dalam bahasa Inggris. Tampaknya, jika seseorang dapat membaca bahasa Perancis, Jerman, Spanyol, Rusia, ataupun bahasa lainnya, seseorang sedang membaca sebuah buku “moral”, namun dengan karya yang sama dalam terjemahan bahasa Inggris diartikan tidak bermoral. Suasana pensensoran menyebabkan beberapa pengarang Amerika tinggal di luar negeri. Pada saat tersebut, pustakawan tidak memprotes situasi ini daripada orang lain di negeri tersebut.
Pada periode antara 1873 dan pertengahan 1950-an ditunjukkan semua permasalahan pensensoran sehingga orang-orang dapat bertemu. Dari tahun 1930-an hingga pertengahan 1950-an, beberapa keputusan pengadilan federal, termasuk beberapa pengadilan agung Amerika Serikat, memodifikasi hukum tahun 1873. (hal ini terjadi selama tahun 1930-an ketika ALA mengambil sikap untuk membuka akses).
Perubahan utama dalam menginterpretasikan hukum dimulai dengan Pengadilan Agung Amerika pada tahun 1957 dengan keputusan Roth. Keputusan ini membuat tes yang terdiri dari tiga bagian dari kecarutan. Pertama, tema dominan dari karya tertentu sebagai keseluruhan harus menarik minat kecarutan (kecabulan) dalam seks. Kedua, karya tertentu harus secara nyata menunjukkan ketidaksopanan (penyerangan) karena menghina standar-standar komunitas secara kontemporer dalam merepresentasikan seks. Ketiga, karya tertentu harus sama sekali tanpa penebusan nilai sosial. Dengan interpretasi tersebut, material seksual secara explisit menjadi tersedia di pasar terbuka. Tidak terduga, beberapa orang keberatan terhadap keterbukaan baru tersebut, dan pada tahun 1973, Pengadilan Agung, memutuskan kasus Miller dan memodifikasi tes tiga bagian tersebut. Pengadilan menyarankan tes tiga baru yang baru. Pertama, akankah rata-rata orang menerapkan standar komunitas untuk menemukan suatu karya sebagai keseluruhan yang menarik minat unsur-unsur kecabulan? Kedua, apakah karya tertentu menggambarkan suatu jalan penyerangan secara seksual yang dilarang dalam hukum Amerika? Ketiga, apakah karya tertentu sebagai suatu keseluruhan , kurang serius dalam literatur, artistik, politik, dan nilai sains? Pengaruh dari keputusan tersebut adalah untuk mengurangi dampak dari tes-tes sebelumnya yang menekankan pada standar setempat. Tes inilah yang mendapatkan tempat saat ini.
Konsep penyensoran mengacu pada pemeriksaan dan peraturan resmi terhadap naskah yang akan diterbitkan atau akan dinyanyikan atau akan dipanggungkan. Jadi sensor berlangsung sebelum penerbitan atau pemanggungan atau pagelaran. Jika mengacu pada buku maka pengertian larangan beredar terhadap sebuah buku berlangsung sesudah buku diterbitkan.
Bila dikaji asal usul kata sensor, menurut Sulistyo-Basuki (1991, p.112) kata sensor sebenarnya berasal dari kata Latin sensor artinya pejabat Roma yang bertanggung jawab atas sensus warga Roma (ingat saja akan kelahiran Jesus karena Jusuf dan Maria harus ke Jerusalem untuk keperluan sensus), menaksir milik mereka, memeriksa moral umum, dan mengatur keuangan negara. Sehnggan pada akhirnya dari kata sensor ini berkembanglah istilah censorship dalam kosa kata inggris.
Menurut Qolyubi dkk (79) bahwa rumusan yang dituangkan dalam kebijakan pengembangan koleksi tertulis dimulai dengan penjelasan singkat tentang misi perpustakaan dan sasaran yang ingin dicapat, deskripsi singkat mengenai masyarakat yang dilayani, koleksi yang sudah ada, kemudian dilanjutkan dengan salah satunya adalah mengenai sikap perpustakaan terhadap sensor dan masalah lain yang berkaitan dengan kebebasan intelektual.

B. Contoh PenyensoranHampir setiap jenis perpustakaan menemukan satu atau dua tantangan. Namun, media perpustakaan sekolah adalah salah satu yang paling menantang. Tantangan-tantangan ini biasanya berhubungan dengan seksualitas, penggunaan narkoba, hak-hak kelompok minoritas, nilai-nilai agama, dan kadang-kadang pandangan politik. Kantor Kebebasan Intelektual melaporkan bahwa 71 persen dari tantangan antara tahun 1990 sampai 2000 adalah pengaturan dalam sekolah dan tantangan dari orang tua sekitar 60 persen.
Seperti bisa diduga, perpustakaan umum menerima sejumlah tantangan terbesar kedua. Perpustakaan akademik dan khusus adalah sejumlah tantangan yang jauh di belakangnya, tetapi ini sering berupa beberapa tantangan yang lebih kompleks untuk diselesaikan. Berikut ini menyoroti hanyalah beberapa dari ratusan upaya penyensoran di perpustakaan dan pusat-pusat informasi di Amerika Serikat dan merupakan contoh dari masing-masing jenis perpustakaan. Newsletter Kebebasan Intelektual ALA (http://members.ala.org/nif/>) menyediakan sumber berkelanjutan berita tentang bidang ini.

Jurnal
Pada akhir 1960-an, dua majalah, Ramparts (Bahtera Nuh) dan Evergreen Review (ER, http://www.evergreenreview.com/), disebabkan perpustakaan dan pustakawan untuk menghadapi mengangkatnya masalah sensor. Konfrontasi ini mengilustrasikan berbagai cara menangani perpustakaan dengan kontroversi. Di Los Angeles, perpustakaan umum telah berupaya melawan seorang anggota dewan kota untuk menghapus ER dari perpustakaan. Anggota dewan itu tidak berhasil, tetapi perpustakaan menghapus isu ER pada waktu itu dari tempat umum sementara kontroversi berkobar. Akhirnya, jurnal dikembalikan ke rak-rak terbuka setelah para pihak mencapai keputusan akhir. Ini adalah sebuah kemenangan jangka pendek untuk sensor tetapi, pada akhirnya, kemenangan untuk akses gratis.
Antara menjaga item pada rak dan menghapus itu adalah posisi kompromi untuk pustakawan yang kadang-kadang resor- ketersediaan yang terbatas. Perpustakaan Kebebasan Philadelpia memperbaharui berlangganan untuk bangunan utama dan satu cabang regional, tetapi isu itu terus tertumpuk di daerah tertutup, dan tidak ada satupun anak-anak di bawah usia delapan belas tahun bisa memeriksa judul. Emerson Greenaway, yang pada waktu itu direktur perpustakaan untuk Philadelphia Free Library, mengatakan hal ini dilakukan karena ER adalah penting secara sosiologis. Siapa pemenang di sini, sensor atau pustakawan?
Hal tersebut di atas adalah contoh kecil dari masalah yang timbul dengan Evergreen Review dan Ramparts, dan mereka hanya dua dari ratusan majalah yang telah menyerang selama bertahun-tahun. Bahkan, kelompok sering pertanyaan Newsweek dan Time. Beberapa jurnal lain yang telah dipertanyakan oleh seorang individu atau kelompok dalam beberapa tahun terakhir termasuk The Advocate, People, Penthouse, playgirl, Reader's Digest, Rolling Stone (dihapus dari Livingston Park High School Perpustakaan pada bulan Oktober 2002 setelah upaya gagal untuk hanya membatasi penggunaan untuk siswa dengan izin orang tua), dan Young Miss.

BukuDaftar buku yang telah menimbulkan kesulitan selama bertahun-tahun sangat besar. Kantor situs Intelektual Freedom (http://www.ala.org/ala/oif/bannedbooksweek/bbwlinks/100mostfrequently.htm) berisi daftar 100 buku yang paling sering menantang antara 1990 sampai 2000. Steinbeck's Of Mice and Men berada di tempat keenam, sedangkan Maya Angelou, I Know Why the Caged Bird Sings berada peringkat di tempat ketiga. The Catcher in the Rye, judul menantang lama, adalah thirteanth sementara To Kill a Mockingbird empat puluh pertama. Jelas bahwa meskipun sebagian besar sekolah menghadapi tantangan, beberapa karya sastra sangat dihargai juga bisa menimbulkan masalah.
I Know Why the Caged Bird Sings menghadapi tantangan karena bagian-bagian yang berhubungan dengan pelecehan anak dan perkosaan. Dalam banyak kasus, penentang berhasil memaksa penghapusan atau membatasi penggunaannya oleh orang tua memerlukan persetujuan secara tertulis.

Musik dan RekamanMeskipun di masa lalu telah terjadi masalah yang lebih sedikit dengan musik dibandingkan dengan format lain, yang tidak lagi terjadi. Musik rap, hard rock, dan musik lirik pada umumnya sekarang menghasilkan kontroversi cukup teratur. Pada akhir 1990-an, 2 Live Crew rekaman dan pertunjukan menarik perhatian nasional, dan kepedulian ini terus tumbuh. Awal tahun 1990, industri rekaman menerapkan program pelabelan serupa dengan sistem rating film. Hal ini terjadi setelah bertahun-tahun perdebatan, bahkan di Kongres, dan oposisi dari berbagai kelompok, seperti ALA.

PermainanTidak ada dalam koleksi yang kebal dari tantangan, seperti beberapa perpustakaan belajar dari pengalaman pahit. Aurora Perpustakaan Umum (Colorado) harus berurusan dengan kontroversi Dungeons and Dragons (D & D) buku pemain.
Pada waktu yang sama, di Hanover, Virginia, orang tua dari tahun enam belas berusia yang bunuh diri menggugat sistem sekolah umum. Orang tua menuduh bahwa bunuh diri itu merupakan akibat langsung dari itu bermain D & D di sebuah gedung sekolah. tuntutan hukum terkait dengan kematian salah game, film, dan program televisi telah meningkat.

Film dan VideoSebagai koleksi perpustakaan dari berkembangnya video teater, begitu juga kemungkinan bahwa seseorang akan menuntut penghapusan satu atau lebih judul. Pendidikan video, terutama yang berurusan dengan reproduksi, aborsi, dan gaya hidup alternatif, ini juga menjadi masalah. Bahkan video berbahasa asing, seperti Film bahasa Portugis, dapat menarik protes. Selama Perang Teluk, beberapa perpustakaan menolak video antiperang, meningkatkan pertanyaan apakah pustakawan yang bertindak sebagai sensor dan tidak memberikan kedua sisi dari sebuah isu. Sebuah artikel pendek, tapi informatif, tentang isu-isu aksesibilitas untuk koleksi video oleh John Hurley.
LMU memperbesar koleksi video telah ditarik beberapa keluhan. Tidak ada tantangan yang cukup serius untuk menjamin perhatian luar perpustakaan, sebagaimana tidak ada satupun dari universitas yang mengangkat masalah ini. Untuk saat ini, keluhan dari komunitas pengguna yang beranggapan koleksi seharusnya hanya berisi “Kristen jika tidak semata-mata bahan Katolik Roma.” Film seperti Jesus Christ, Superstar dan The Last Temptation of Christ telah menarik komentar yang sangat negatif negatif dari beberapa anggota masyarakat. Apa yang mungkin terjadi jika orang tua siswa atau donor utama adalah untuk mengeluh sulit untuk mengatakan. Kami lebih berharap masalah ini akan melampaui dinding-dinding perpustakaan.
Beberapa tahun yang lalu, pustakawan memakai performa sensor diri yang menakjubkan. Situasi di sekitar film The Speaker meliputi hampir setiap satu elemen mungkin menghadapi dalam setiap kasus penyensoran. Untuk memahami sepenuhnya semua paradoks bahwa acara ini mewakili, kita harus meninjau latar belakang situasi dan melihat film.
Masalah dengan The Speaker dimulai ketika Komite Kebebasan Intelektual ALA menerima dana untuk memproduksi sebuah film tentang masalah sensor dan kebebasan intelektual. Tampil untuk pertama kalinya bagi keanggotaan pada konvensi tahunan Juni 1977, film yang dihasilkan salah satu perdebatan panjang dalam sejarah ALA. Jarang yang ada sudah selama atau sebagai perdebatan pahit dalam ALA tentang sebuah isu yang, mungkin, sebuah artikel iman dalam profesi. Banyak anggota Afrika Amerika menyebut film rasis. Banyak anggota lain sepakat bahwa film ini adalah bermasalah karena alasan itu atau lainnya. Sebuah usaha untuk memiliki nama ALA dipisahkan dari film gagal, tapi tidak terlalu banyak. Apakah itu pindah ke sensor? Apakah yang benar-benar berbeda dari penerbit memutuskan untuk tidak melepaskan hak karena pekerjaan ditemukan tidak dalam kepentingan terbaik dari pemilik perusahaan?
Seperti halnya dengan setiap masalah lain dari jenis ini, kita tidak memiliki data obyektif yang menjadi dasar penghakiman. Tidak semua orang Amerika Afrika atau orang lain dari warna yang dilihat film melihatnya sebagai rasis. Hanya karena satu (meskipun besar) kelompok mengklaim bahwa item ini atau itu, apakah klaim tersebut membuatnya begitu?
Apakah ini benar-benar berbeda dari Komite Warga untuk Bersihkan Buku mengatakan bahwa The Last Temptation Kristus adalah asusila, atau John Birch Society mengklaim bahwa Ramparts dan the Evergreen Review adalah anti Amerika? Kita berharap bahwa kebanyakan pustakawan akan setuju dengan Dorothy Broderick tentang The Speaker:

Biarkan pustakawan di seluruh negeri memutuskan untuk diri mereka sendiri: jika mereka menemukan film membosankan, biarkan mereka tidak membelinya. Jika mereka merasa bahwa menggunakannya akan menciptakan kekacauan dalam komunitas mereka-seolah-olah mereka telah mengundang The Speaker membiarkan mereka mengabaikan keberadaannya. Jika film ini adalah seburuk lawan-lawannya klaim, ia akan mati dalam kematian yang wajar dari sebuah karya yang tidak memadai di pasar.

Banyak orang percaya bahwa jika ALA dihapus namanya dari film ini, asosiasi akan mengambil langkah pertama menuju film menekan, sehingga berlatih sensor, hal yang sangat ia mencoba untuk menghindari.
Untungnya, ALA telah dihasilkan, atau mengambil bagian dalam produksi, video yang bagus, Censorship v. Selection : Choosing Books for Public School. Walaupun fokusnya adalah pada sekolah umum, isu yang dibahas adalah cukup luas untuk membuat film yang berharga untuk digunakan dengan kelompok apapun untuk menghasilkan diskusi tentang kebebasan intelektual dan sensor.

C. Apa Yang Harus Dilakukan Sebelum Dan Sesudah Sensor TibaMengetahui bahaya sensor dan memiliki komitmen untuk menghindari hal yang tidak cukup di dunia pada saat ini. Profesional Informasi harus mempersiapkan untuk sensor panjang, jauh sebelum ada ancaman atau sebelum ancaman itu menjadi nyata. Langkah pertama dalam mempersiapkan sensor adalah untuk mengantisipasi ketika harus menghadapi sensor. Siapkan pernyataan kebijakan tentang bagaimana perpustakaan akan menangani keluhan dan memiliki kebijakan yang disetujui oleh semua pihak yang berwenang. Menghadapi orang marah yang mengeluh tentang bahan pustaka dan tidak mempunyai ide bagaimana menangani situasi yang sangat tidak nyaman. Bahkan dengan kebijakan dan prosedur, situasi dapat meningkat menjadi kekerasan fisik; tanpa adanya prosedur, kemungkinan kenaikan konfrontasi fisik. Sebuah prosedur khas adalah memiliki individu mengajukan keluhan formal atau mengisi formulir yang menentukan apa yang menjadi masalah. Beberapa organisasi, seperti ALA dan dewan nasional guru bahasa Inggris, telah merekomendasikan bentuk yang sama-sama efektif.
Setelah perpustakaan mengembangkan kebijakan dan prosedur, dan mereka disetujui, setiap orang yang bekerja di pelayanan publik perlu memahami sistem dan menerima pelatihan dalam melaksanakan sistem. (Kadang-kadang peran-bermain sangat membantu dalam memperkuat pelatihan.) kantor ALA untuk kebebasan intelektual telah memiliki pedoman luar biasa yang memberikan rincian tentang apa yang harus dilakukan sebelum sensor tiba serta memberikan materi di situs Web mereka. Sumber lain yang baik adalah Defusing Censorship: The Librarian’s Guide to Handling Censorship Conflict Frances Jones.
Struktur organisasi ALA untuk menangani masalah kebebasan intelektual agak membingungkan. Komite kebebasan intelektual (IFC) bertanggung jawab untuk membuat rekomendasi kepada asosiasi tentang hal-hal kebebasan intelektual. Kantor untuk kebebasan intelektual (OIF), yang memiliki staf penuh-waktu, memiliki muatan mendidik pustakawan dan orang lain tentang kebebasan intelektual dan hal-hal sensor. Ini juga merupakan layanan dukungan bagi IFC, dan menerapkan kebijakan asosiasi yang terkait dengan kebebasan intelektual. Sebagai bagian dari fungsi pendidikan tersebut. The OIF menghasilkan beberapa publikasi: newsletter pada kebebasan intelektual (berita dan perkembangan terkini yang berkaitan dengan kebebasan intelektual) dan petunjuk kebebasan intelektual.
Walaupun OIF tidak memberikan bantuan hukum bila perpustakaan menghadapi keluhan, tidak memberikan konsultasi telepon (kadang-kadang dengan penambahan pernyataan tertulis atau nama-nama orang yang mungkin bisa bersaksi dalam mendukung kebebasan intelektual). Sangat jarang, OIF datang ke perpustakaan untuk belajar bahwa OIF tidak memberikan bantuan hukum. Bantuan hukum mungkin tersedia dari kebebasan untuk membaca yayasan. FRF bukan bagian dari ALA (itu adalah badan hukum yang terpisah), tetapi kedua sangat erat terkait bahwa banyak orang mengalami kesulitan menggambar garis antara keduanya. Direktur eksekutif FRF juga merupakan direktur OIF; dengan pengaturan tersebut, maka tidak mengherankan bahwa orang berpikir FRF adalah bagian dari ALA. Sadarilah bahwa tidak ada jaminan menerima bantuan keuangan atau hukum dari FRF, ada kasus yang terlalu banyak dan dana yang cukup untuk membantu setiap orang.
Setiap orang yang tertarik untuk menjadi terlibat kegiatan kebebasan intelektual saya harus mempertimbangkan bergabung dengan meja bundar kebebasan intelektual, yang merupakan unit keanggotaan umum ALA yang berkaitan dengan kebebasan intelektual. Meskipun ALA menawarkan berbagai layanan dukungan untuk penanganan keluhan sensor, dukungan yang terbaik adalah menyiapkan sebelum kebutuhan timbul.
Berdasarkan pemaparan yang telah disampaikan diatas maka dapat dikonklusikan bahwa ada beberapa alasan dilakukannya sensor ini. Sebagaimana dikatakan oleh Sulistyo-Basuki (1991, p. 115) bahwa secara umum ada 5 sebab mengapa buku dilarang beredar. Adapun alasan pelarangan ialah (1) alasan politik, (2) alasan agama, (3) alasan ras, (4) alasan pornografi, dan (5) alasan penerbitan dalam aksara asing.

D. PenyaringanOleh karena itu kami memutuskan untuk menempatkan pembahasan penyaringan di sini dalam banyak hal, menjadi perhatian yang sangat berbeda dari tantangan ke item yang merupakan bagian dari koleksi seseorang. Menyaring akses ke internet adalah "topik hangat" bagi masyarakat umum, pejabat pemerintah, dan perpustakaan. Ketika kita mulai abad ke 21, perpustakaan tampaknya "terjebak di antara batu dan tempat yang keras" tentang masalah ini, selama mereka menawarkan akses internet kepada masyarakat. Beberapa masyarakat umum, yang mengatur papan, dan pejabat pemerintah terpilih ingin perpustakaan menggunakan software filter yang akan menolak akses ke beberapa jenis situs. Lainnya, percaya pada kebebasan berbicara (amandemen pertama), tidak mau penyaringan. Alasan utama untuk menyaring adalah untuk menjaga anak-anak dari memiliki akses ke situs "tidak bisa diterima". Sebuah artikel yang sangat baik menggambarkan bagaimana penyaringan bekerja dan tingkat kesalahan software filter Resnick paul, Derek Hansen, dan pasal Richardson Caroline di komunikasi atau ACM.
Penyaringan akses internet berkisar sekitar melindungi anak dan menolak akses terutama ke materi seksual. Masalah utama adalah bahwa penyaringan menegaskan software dan di bawah blok. Upaya untuk mengatur solusi memiliki hasil yang beragam. Kesopanan komunikasi bertindak (CDA) (yang membuat suatu kejahatan untuk mengirim atau posting material "tidak senonoh" di internet) dikuasai inkonstitusional oleh Mahkamah Agung pada tahun 1997. Kongres kemudian melewati tindakan perlindungan anak online (COPA, 47 USC 231 $), yang bertemu banyak nasib yang sama seperti CDA, ketika Mahkamah Agung memutuskan pada bulan juli 2004 untuk menegakkan suatu perintah ditempatkan pada tindakan tersebut oleh pengadilan yang lebih rendah. Pada Juni 2003, CIPA (Undang-undang perlindungan anak internet, PL 106-554) menerima penghakiman campuran dari Mahkamah Agung. Hal ini dicampur karena meskipun enam dari hakim ditemukan mendukung hukum, hanya empat menyetujui pendapat tunggal (perlu lima sampai membuat "mengendalikan" keputusan). Pendapat positif dilakukan, bagaimanapun, berarti perpustakaan (umum dan sekolah) harus memiliki filter, karena mereka disajikan satu-satunya solusi realistis untuk masalah.
Perpustakaan dalam menangani penyaringan Tantangannya adalah memenuhi persyaratan hukum untuk melindungi anak-anak dan masih menyediakan akses orang dewasa untuk bahan yang sah. Ada tiga daerah di mana filter untuk memblokir materi bersifat cabul penggambaran visual, pornografi anak, dan mereka yang berbahaya bagi anak di bawah umur. (CIPA tidak memerlukan teks penyaringan), sedangkan judul mengindikasikan tindakan fokusnya adalah anak-anak, jika perpustakaan ditutupi oleh mandat CIPA, semua komputer dengan kemampuan internet harus memiliki perangkat lunak penyaringan (termasuk staf komputer).
Undang-undang ini berlaku untuk perpustakaan umum dan sekolah yang memiliki diskon harga untuk akses internet, menerima dana dengan judul III dari tindakan pendidikan dasar dan menengah untuk membeli komputer yang akan terhubung ke internet, atau menerima dana di bawah negara- dioperasikan LSTA (layanan perpustakaan dan bertindak teknologi) untuk pembelian komputer internet. itu tidak berlaku untuk perpustakaan akademis atau khusus. ALA telah menciptakan situs web yang luas untuk melacak efek CIPA (http://www.ala.org/cipa).

E. RingkasanMasalah penyensoran merupakan hal yang kompleks, dan perlu untuk membaca secara ekstensif dan berpikir tentang topik ini. Contoh teoritis mungkin membantu untuk menggambarkan bagaimana kompleksnya masalah. Asumsi bahwa seorang pustakawan yang bertanggung jawab untuk memilih bahan untuk sebuah perpustakaan umum yang kecil. Tentu, pustakawan perlu pekerjaan ini untuk menutupi biaya hidup. Sekelompok kecil orang di masyarakat menginginkan pustakawan untuk membeli barang-barang tertentu untuk koleksi perpustakaan, tetapi pustakawan juga tahu dari sebuah kelompok besar orang yang vokal dan berpengaruh yang akan marah dan bahkan mungkin menuntut pustakawan dipecat jika item tersebut dibeli. Pustakawan harus membeli item dan risiko kesejahteraan keluarganya dan karir sendiri selama ini? Jika pustakawan tetap tidak membeli item tersebut, apa yang dapat dikatakan kepada orang-orang yang meminta dibeli? Apakah memberitahu mereka bahwa mereka bisa mendapatkannya di tempat lain atau mendapatkannya melalui pinjaman antar perpustakaan mengatasi masalah pustakawan itu?
Akhirnya, sebuah artikel di perpustakaan Amerika mengangkat pertanyaan: apakah penyensoran untuk menghapus seluruh kopian The Joy of Gay Sex menyebabkan pendukung praktek seks yang sekarang dirasakan berbahaya dalam terang epidemi AIDS?" pertanyaan, dan ada beberapa perbedaan pendapat. Orang bertanya-tanya bagaimana responden akan menjawab pertanyaan itu adalah: apakah sensor tidak membeli salinan seks Madonna? Seperti dengan semua persoalan yang sebenarnya, tidak ada jawaban yang benar-benar memuaskan.


Daftar Pustaka
Evans, G. Eduard & Saponaro, Margaret Zarnosky. 2005. Chapter 18 : Censorship, Intellectual Freedom, and Collection Development in Developing Library and Information Center Collections. Fifth edition. New York : Collection Development team.

Sulistyo-Basuki. 1991. Pengantar Ilmu Perpustakaan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Syihabuddin Qolyubi dkk. 2007. Dasar-dasar Ilmu Perpustakaan dan Informasi. Jogjakarta : Fakultas Adab UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.


Penyensoran, Kebebasan Intelektual, dan Pengembangan Koleksi

BAB 18

Penyensoran, Kebebasan Intelektual, dan Pengembangan Koleksi
Oleh: Muhammad Azwar, Rhoni Rodin, Hairul Agus Cahyono

Sebagai bagian dari persiapan kami untuk edisi baru ini, kami telah menghubungi orang-orang yang telah menggunakan edisi ke-4 untuk mendapatkan masukan mengenai hal-hal yang dapat ditambahkan dan hal-hal yang dapat diabaikan. Ketika hal tersebut terjadi pada bab ini, beberapa orang menyarankan mengabaikannya dan menjadikannya sebuah bab yang berdiri sendiri. Setelah mempertimbangkannya dengan matang, kami memutuskan bahwa permasalahan-permasalahan yang begitu kompleks tidak harus dalam sebuah bab yang terpisah. Kompleksitas permasalahan muncul dari fakta bahwa permasalahan penyensoran dan kebebasan intelektual keduanya merupakan karakter yang bersifat individu sekaligus organisasi. Menyediakan akses internet kepada pengguna menambah tingkat kompleksitas permasalahan tersebut.
Semua topik pengembangan koleksi telah didiskusikan dengan berbagai kompleksitasnya, dan beberapa hal menyentuh persoalan sosial yang lebih luas. Bagaimanapun, tidak ada permasalahan yang lebih kompleks daripada permasalahan pensensoran dan kebebasan intelektual. Bebas berbicara, bebas membaca, akses informasi yang terbuka merupakan istilah alternatif yang digunakan untuk kebebasan intelektual, sebagaimana yang telah didefinisikan ALA sebagai :
hak setiap individu untuk mencari dan menerima informasi dari semua sudut pandang tanpa batasan. Hal ini akan menyediakan untuk bebas akses untuk mengekspresikan semua ide melalui berbagai pertanyaan ataupun eksplorasi.
Demikian juga, sensorsip didefinisikan oleh ALA sebagai :
suatu perubahan dalam status akses terhadap bahan materi, berdasarkan konten dari suatu karya dan dibuat oleh yang memiliki otoritas atau yang mewakilinya. Perubahan yang dimaksud termasuk pengecualian, pembatasan, pemindahan, penghapusan, ataupun dalam hal perubahan level kelas.
Jelaslah, bahwa perubahan-perubahan ini merupakan pilar dimana pustakawan dan manajer informasi membangun koleksi. Sehingga, konsep kebebasan intelektual dan penyensoran haruslah ditujukan pada proses pengembangan koleksi.
Tidaklah cukup tempat dalam bab ini untuk secara penuh mengeksplorasi semua aspek kebebasan intelektual, pensensoran, dan berbicara panjang lebar. Meskipun merupakan konsep yang penting dan menarik untuk setiap orang yang terlibat dalam pengembangan koleksi, namun persoalan kebebasan intelektual dan pensensoran juga hal yang begitu kompleks dan menjadi subjek pembicaraan banyak buku dan artikel. Semua pustakawan harus memahami hal ini, bahkan penting bagi orang tertentu memahami dengan baik permasalahan-permasalahan yang terkait dengan pensensoran.

A. Latar BelakangPada sisi organisasi, pensensoran muncul dari hukum, peraturan, kebijakan pemerintah, kebijakan perpustakaan, dan tekanan dari kelompok lainnya. Dari sudut pandang individu, pensensoran muncul dari pengguna individu, dan mungkin paling banyak dari orang-orang yang membuat keputusan mengenai koleksi.
Konsep “koleksi yang seimbang” merepresentasikan semua pandangan dari suatu masyarakat yang plural, masih relatif baru bagi perpustakaan Amerika. Masa terbaik (1870-an sampai 1970-an) peraturan legal ditegakkan, berusaha menegakkan moralitas. Anthony Comstock orang yang memiliki personali dan kepercayaan yang kuat berupaya untuk mengawasi bahan-bahan bacaan orang Amerika, yang begitu kuat dan berhasil menjadikan namanya saat ini sebagai bagian dari kamus dari diskusi intelektual dan pensensoran―Comstockery.
Memang, Comstock terlalu vokal dalam usahanya itu, pada tahun 1873, Kongres meloloskan sebuah undang-undang yang berupaya menciptakan sebuah struktur untuk moralitas nasional. Hampir 75 tahun, hukum ini berlaku. Pos layanan yang ditunjuk sebagai agen pemerintah terutama bertanggung jawab untuk melaksanakannya pada level nasional. Pada level setempat, beberapa unsur berfungsi. Pemerintah Amerika meloloskan peraturan yang sama demikian juga departemen kepolisian setempat terlibat juga dalam wakil pengendali. Agen penegakan hukum cukup membantu dari dua kelompok warga: yaitu masyarakat untuk kelompok tertindas dan lingkungan masyarakat. Masyarakat untuk kelompok tertindas kendaraan Comstock digunakan untuk mendapatkan dukungan dan menunjukkan dukungan nasional yang dalam atas pandangan-pandangannya. Kegiatan utama masyarakat tersebut adalah mengecek ketersediaan material tercetak pada warga setempat, apapun sumbernya (toko buku, kios koran, dan perpustakaan baik umum maupun khusus). Terkadang, ketika masyarakat merasa bahwa pejabat penegakan hukum setempat tidak bergerak begitu cepat, hal tersebut akan menjadi permasalahan tersendiri.
Dari tahun 1873 hingga masuk abad ke-20, pengalaman Amerika Serikat memadukan tiga jenis penyensoran : penyensoran resmi karena hukum tahun 1873; tekanan dari masyarakat yang konsen dengan standar moral komunitas mereka; dan pada pensensoran pada bagian penerbit, penjualan buku, dan pustakawan. Sikap para pustakawan terhadap pensensoran semacam itu hampir tidak terdengar, kenyataannya sekelompok profesional mensponsori kegiatan workshop dan seminar untuk membantu pustakawan mengidentifikasi buku-buku yang tidak tepat. Kebanyakan pustakawan terkemuka di masa lalu menyimpan (prosiding ALA, pidato, ataupun tulisan) mendukung pengembangan koleksi jenis ini.
Situasi menarik muncul dengan judul-judul bahasa asing. Banyak pengarang tersedia dalam bahasa mereka sendiri, namun bukan dalam bahasa Inggris. Tampaknya, jika seseorang dapat membaca bahasa Perancis, Jerman, Spanyol, Rusia, ataupun bahasa lainnya, seseorang sedang membaca sebuah buku “moral”, namun dengan karya yang sama dalam terjemahan bahasa Inggris diartikan tidak bermoral. Suasana pensensoran menyebabkan beberapa pengarang Amerika tinggal di luar negeri. Pada saat tersebut, pustakawan tidak memprotes situasi ini daripada orang lain di negeri tersebut.
Pada periode antara 1873 dan pertengahan 1950-an ditunjukkan semua permasalahan pensensoran sehingga orang-orang dapat bertemu. Dari tahun 1930-an hingga pertengahan 1950-an, beberapa keputusan pengadilan federal, termasuk beberapa pengadilan agung Amerika Serikat, memodifikasi hukum tahun 1873. (hal ini terjadi selama tahun 1930-an ketika ALA mengambil sikap untuk membuka akses).
Perubahan utama dalam menginterpretasikan hukum dimulai dengan Pengadilan Agung Amerika pada tahun 1957 dengan keputusan Roth. Keputusan ini membuat tes yang terdiri dari tiga bagian dari kecarutan. Pertama, tema dominan dari karya tertentu sebagai keseluruhan harus menarik minat kecarutan (kecabulan) dalam seks. Kedua, karya tertentu harus secara nyata menunjukkan ketidaksopanan (penyerangan) karena menghina standar-standar komunitas secara kontemporer dalam merepresentasikan seks. Ketiga, karya tertentu harus sama sekali tanpa penebusan nilai sosial. Dengan interpretasi tersebut, material seksual secara explisit menjadi tersedia di pasar terbuka. Tidak terduga, beberapa orang keberatan terhadap keterbukaan baru tersebut, dan pada tahun 1973, Pengadilan Agung, memutuskan kasus Miller dan memodifikasi tes tiga bagian tersebut. Pengadilan menyarankan tes tiga baru yang baru. Pertama, akankah rata-rata orang menerapkan standar komunitas untuk menemukan suatu karya sebagai keseluruhan yang menarik minat unsur-unsur kecabulan? Kedua, apakah karya tertentu menggambarkan suatu jalan penyerangan secara seksual yang dilarang dalam hukum Amerika? Ketiga, apakah karya tertentu sebagai suatu keseluruhan , kurang serius dalam literatur, artistik, politik, dan nilai sains? Pengaruh dari keputusan tersebut adalah untuk mengurangi dampak dari tes-tes sebelumnya yang menekankan pada standar setempat. Tes inilah yang mendapatkan tempat saat ini.
Konsep penyensoran mengacu pada pemeriksaan dan peraturan resmi terhadap naskah yang akan diterbitkan atau akan dinyanyikan atau akan dipanggungkan. Jadi sensor berlangsung sebelum penerbitan atau pemanggungan atau pagelaran. Jika mengacu pada buku maka pengertian larangan beredar terhadap sebuah buku berlangsung sesudah buku diterbitkan.
Bila dikaji asal usul kata sensor, menurut Sulistyo-Basuki (1991, p.112) kata sensor sebenarnya berasal dari kata Latin sensor artinya pejabat Roma yang bertanggung jawab atas sensus warga Roma (ingat saja akan kelahiran Jesus karena Jusuf dan Maria harus ke Jerusalem untuk keperluan sensus), menaksir milik mereka, memeriksa moral umum, dan mengatur keuangan negara. Sehnggan pada akhirnya dari kata sensor ini berkembanglah istilah censorship dalam kosa kata inggris.
Menurut Qolyubi dkk (79) bahwa rumusan yang dituangkan dalam kebijakan pengembangan koleksi tertulis dimulai dengan penjelasan singkat tentang misi perpustakaan dan sasaran yang ingin dicapat, deskripsi singkat mengenai masyarakat yang dilayani, koleksi yang sudah ada, kemudian dilanjutkan dengan salah satunya adalah mengenai sikap perpustakaan terhadap sensor dan masalah lain yang berkaitan dengan kebebasan intelektual.

B. Contoh PenyensoranHampir setiap jenis perpustakaan menemukan satu atau dua tantangan. Namun, media perpustakaan sekolah adalah salah satu yang paling menantang. Tantangan-tantangan ini biasanya berhubungan dengan seksualitas, penggunaan narkoba, hak-hak kelompok minoritas, nilai-nilai agama, dan kadang-kadang pandangan politik. Kantor Kebebasan Intelektual melaporkan bahwa 71 persen dari tantangan antara tahun 1990 sampai 2000 adalah pengaturan dalam sekolah dan tantangan dari orang tua sekitar 60 persen.
Seperti bisa diduga, perpustakaan umum menerima sejumlah tantangan terbesar kedua. Perpustakaan akademik dan khusus adalah sejumlah tantangan yang jauh di belakangnya, tetapi ini sering berupa beberapa tantangan yang lebih kompleks untuk diselesaikan. Berikut ini menyoroti hanyalah beberapa dari ratusan upaya penyensoran di perpustakaan dan pusat-pusat informasi di Amerika Serikat dan merupakan contoh dari masing-masing jenis perpustakaan. Newsletter Kebebasan Intelektual ALA (http://members.ala.org/nif/>) menyediakan sumber berkelanjutan berita tentang bidang ini.

Jurnal
Pada akhir 1960-an, dua majalah, Ramparts (Bahtera Nuh) dan Evergreen Review (ER, http://www.evergreenreview.com/), disebabkan perpustakaan dan pustakawan untuk menghadapi mengangkatnya masalah sensor. Konfrontasi ini mengilustrasikan berbagai cara menangani perpustakaan dengan kontroversi. Di Los Angeles, perpustakaan umum telah berupaya melawan seorang anggota dewan kota untuk menghapus ER dari perpustakaan. Anggota dewan itu tidak berhasil, tetapi perpustakaan menghapus isu ER pada waktu itu dari tempat umum sementara kontroversi berkobar. Akhirnya, jurnal dikembalikan ke rak-rak terbuka setelah para pihak mencapai keputusan akhir. Ini adalah sebuah kemenangan jangka pendek untuk sensor tetapi, pada akhirnya, kemenangan untuk akses gratis.
Antara menjaga item pada rak dan menghapus itu adalah posisi kompromi untuk pustakawan yang kadang-kadang resor- ketersediaan yang terbatas. Perpustakaan Kebebasan Philadelpia memperbaharui berlangganan untuk bangunan utama dan satu cabang regional, tetapi isu itu terus tertumpuk di daerah tertutup, dan tidak ada satupun anak-anak di bawah usia delapan belas tahun bisa memeriksa judul. Emerson Greenaway, yang pada waktu itu direktur perpustakaan untuk Philadelphia Free Library, mengatakan hal ini dilakukan karena ER adalah penting secara sosiologis. Siapa pemenang di sini, sensor atau pustakawan?
Hal tersebut di atas adalah contoh kecil dari masalah yang timbul dengan Evergreen Review dan Ramparts, dan mereka hanya dua dari ratusan majalah yang telah menyerang selama bertahun-tahun. Bahkan, kelompok sering pertanyaan Newsweek dan Time. Beberapa jurnal lain yang telah dipertanyakan oleh seorang individu atau kelompok dalam beberapa tahun terakhir termasuk The Advocate, People, Penthouse, playgirl, Reader's Digest, Rolling Stone (dihapus dari Livingston Park High School Perpustakaan pada bulan Oktober 2002 setelah upaya gagal untuk hanya membatasi penggunaan untuk siswa dengan izin orang tua), dan Young Miss.

BukuDaftar buku yang telah menimbulkan kesulitan selama bertahun-tahun sangat besar. Kantor situs Intelektual Freedom (http://www.ala.org/ala/oif/bannedbooksweek/bbwlinks/100mostfrequently.htm) berisi daftar 100 buku yang paling sering menantang antara 1990 sampai 2000. Steinbeck's Of Mice and Men berada di tempat keenam, sedangkan Maya Angelou, I Know Why the Caged Bird Sings berada peringkat di tempat ketiga. The Catcher in the Rye, judul menantang lama, adalah thirteanth sementara To Kill a Mockingbird empat puluh pertama. Jelas bahwa meskipun sebagian besar sekolah menghadapi tantangan, beberapa karya sastra sangat dihargai juga bisa menimbulkan masalah.
I Know Why the Caged Bird Sings menghadapi tantangan karena bagian-bagian yang berhubungan dengan pelecehan anak dan perkosaan. Dalam banyak kasus, penentang berhasil memaksa penghapusan atau membatasi penggunaannya oleh orang tua memerlukan persetujuan secara tertulis.

Musik dan RekamanMeskipun di masa lalu telah terjadi masalah yang lebih sedikit dengan musik dibandingkan dengan format lain, yang tidak lagi terjadi. Musik rap, hard rock, dan musik lirik pada umumnya sekarang menghasilkan kontroversi cukup teratur. Pada akhir 1990-an, 2 Live Crew rekaman dan pertunjukan menarik perhatian nasional, dan kepedulian ini terus tumbuh. Awal tahun 1990, industri rekaman menerapkan program pelabelan serupa dengan sistem rating film. Hal ini terjadi setelah bertahun-tahun perdebatan, bahkan di Kongres, dan oposisi dari berbagai kelompok, seperti ALA.

PermainanTidak ada dalam koleksi yang kebal dari tantangan, seperti beberapa perpustakaan belajar dari pengalaman pahit. Aurora Perpustakaan Umum (Colorado) harus berurusan dengan kontroversi Dungeons and Dragons (D & D) buku pemain.
Pada waktu yang sama, di Hanover, Virginia, orang tua dari tahun enam belas berusia yang bunuh diri menggugat sistem sekolah umum. Orang tua menuduh bahwa bunuh diri itu merupakan akibat langsung dari itu bermain D & D di sebuah gedung sekolah. tuntutan hukum terkait dengan kematian salah game, film, dan program televisi telah meningkat.

Film dan VideoSebagai koleksi perpustakaan dari berkembangnya video teater, begitu juga kemungkinan bahwa seseorang akan menuntut penghapusan satu atau lebih judul. Pendidikan video, terutama yang berurusan dengan reproduksi, aborsi, dan gaya hidup alternatif, ini juga menjadi masalah. Bahkan video berbahasa asing, seperti Film bahasa Portugis, dapat menarik protes. Selama Perang Teluk, beberapa perpustakaan menolak video antiperang, meningkatkan pertanyaan apakah pustakawan yang bertindak sebagai sensor dan tidak memberikan kedua sisi dari sebuah isu. Sebuah artikel pendek, tapi informatif, tentang isu-isu aksesibilitas untuk koleksi video oleh John Hurley.
LMU memperbesar koleksi video telah ditarik beberapa keluhan. Tidak ada tantangan yang cukup serius untuk menjamin perhatian luar perpustakaan, sebagaimana tidak ada satupun dari universitas yang mengangkat masalah ini. Untuk saat ini, keluhan dari komunitas pengguna yang beranggapan koleksi seharusnya hanya berisi “Kristen jika tidak semata-mata bahan Katolik Roma.” Film seperti Jesus Christ, Superstar dan The Last Temptation of Christ telah menarik komentar yang sangat negatif negatif dari beberapa anggota masyarakat. Apa yang mungkin terjadi jika orang tua siswa atau donor utama adalah untuk mengeluh sulit untuk mengatakan. Kami lebih berharap masalah ini akan melampaui dinding-dinding perpustakaan.
Beberapa tahun yang lalu, pustakawan memakai performa sensor diri yang menakjubkan. Situasi di sekitar film The Speaker meliputi hampir setiap satu elemen mungkin menghadapi dalam setiap kasus penyensoran. Untuk memahami sepenuhnya semua paradoks bahwa acara ini mewakili, kita harus meninjau latar belakang situasi dan melihat film.
Masalah dengan The Speaker dimulai ketika Komite Kebebasan Intelektual ALA menerima dana untuk memproduksi sebuah film tentang masalah sensor dan kebebasan intelektual. Tampil untuk pertama kalinya bagi keanggotaan pada konvensi tahunan Juni 1977, film yang dihasilkan salah satu perdebatan panjang dalam sejarah ALA. Jarang yang ada sudah selama atau sebagai perdebatan pahit dalam ALA tentang sebuah isu yang, mungkin, sebuah artikel iman dalam profesi. Banyak anggota Afrika Amerika menyebut film rasis. Banyak anggota lain sepakat bahwa film ini adalah bermasalah karena alasan itu atau lainnya. Sebuah usaha untuk memiliki nama ALA dipisahkan dari film gagal, tapi tidak terlalu banyak. Apakah itu pindah ke sensor? Apakah yang benar-benar berbeda dari penerbit memutuskan untuk tidak melepaskan hak karena pekerjaan ditemukan tidak dalam kepentingan terbaik dari pemilik perusahaan?
Seperti halnya dengan setiap masalah lain dari jenis ini, kita tidak memiliki data obyektif yang menjadi dasar penghakiman. Tidak semua orang Amerika Afrika atau orang lain dari warna yang dilihat film melihatnya sebagai rasis. Hanya karena satu (meskipun besar) kelompok mengklaim bahwa item ini atau itu, apakah klaim tersebut membuatnya begitu?
Apakah ini benar-benar berbeda dari Komite Warga untuk Bersihkan Buku mengatakan bahwa The Last Temptation Kristus adalah asusila, atau John Birch Society mengklaim bahwa Ramparts dan the Evergreen Review adalah anti Amerika? Kita berharap bahwa kebanyakan pustakawan akan setuju dengan Dorothy Broderick tentang The Speaker:

Biarkan pustakawan di seluruh negeri memutuskan untuk diri mereka sendiri: jika mereka menemukan film membosankan, biarkan mereka tidak membelinya. Jika mereka merasa bahwa menggunakannya akan menciptakan kekacauan dalam komunitas mereka-seolah-olah mereka telah mengundang The Speaker membiarkan mereka mengabaikan keberadaannya. Jika film ini adalah seburuk lawan-lawannya klaim, ia akan mati dalam kematian yang wajar dari sebuah karya yang tidak memadai di pasar.

Banyak orang percaya bahwa jika ALA dihapus namanya dari film ini, asosiasi akan mengambil langkah pertama menuju film menekan, sehingga berlatih sensor, hal yang sangat ia mencoba untuk menghindari.
Untungnya, ALA telah dihasilkan, atau mengambil bagian dalam produksi, video yang bagus, Censorship v. Selection : Choosing Books for Public School. Walaupun fokusnya adalah pada sekolah umum, isu yang dibahas adalah cukup luas untuk membuat film yang berharga untuk digunakan dengan kelompok apapun untuk menghasilkan diskusi tentang kebebasan intelektual dan sensor.

C. Apa Yang Harus Dilakukan Sebelum Dan Sesudah Sensor TibaMengetahui bahaya sensor dan memiliki komitmen untuk menghindari hal yang tidak cukup di dunia pada saat ini. Profesional Informasi harus mempersiapkan untuk sensor panjang, jauh sebelum ada ancaman atau sebelum ancaman itu menjadi nyata. Langkah pertama dalam mempersiapkan sensor adalah untuk mengantisipasi ketika harus menghadapi sensor. Siapkan pernyataan kebijakan tentang bagaimana perpustakaan akan menangani keluhan dan memiliki kebijakan yang disetujui oleh semua pihak yang berwenang. Menghadapi orang marah yang mengeluh tentang bahan pustaka dan tidak mempunyai ide bagaimana menangani situasi yang sangat tidak nyaman. Bahkan dengan kebijakan dan prosedur, situasi dapat meningkat menjadi kekerasan fisik; tanpa adanya prosedur, kemungkinan kenaikan konfrontasi fisik. Sebuah prosedur khas adalah memiliki individu mengajukan keluhan formal atau mengisi formulir yang menentukan apa yang menjadi masalah. Beberapa organisasi, seperti ALA dan dewan nasional guru bahasa Inggris, telah merekomendasikan bentuk yang sama-sama efektif.
Setelah perpustakaan mengembangkan kebijakan dan prosedur, dan mereka disetujui, setiap orang yang bekerja di pelayanan publik perlu memahami sistem dan menerima pelatihan dalam melaksanakan sistem. (Kadang-kadang peran-bermain sangat membantu dalam memperkuat pelatihan.) kantor ALA untuk kebebasan intelektual telah memiliki pedoman luar biasa yang memberikan rincian tentang apa yang harus dilakukan sebelum sensor tiba serta memberikan materi di situs Web mereka. Sumber lain yang baik adalah Defusing Censorship: The Librarian’s Guide to Handling Censorship Conflict Frances Jones.
Struktur organisasi ALA untuk menangani masalah kebebasan intelektual agak membingungkan. Komite kebebasan intelektual (IFC) bertanggung jawab untuk membuat rekomendasi kepada asosiasi tentang hal-hal kebebasan intelektual. Kantor untuk kebebasan intelektual (OIF), yang memiliki staf penuh-waktu, memiliki muatan mendidik pustakawan dan orang lain tentang kebebasan intelektual dan hal-hal sensor. Ini juga merupakan layanan dukungan bagi IFC, dan menerapkan kebijakan asosiasi yang terkait dengan kebebasan intelektual. Sebagai bagian dari fungsi pendidikan tersebut. The OIF menghasilkan beberapa publikasi: newsletter pada kebebasan intelektual (berita dan perkembangan terkini yang berkaitan dengan kebebasan intelektual) dan petunjuk kebebasan intelektual.
Walaupun OIF tidak memberikan bantuan hukum bila perpustakaan menghadapi keluhan, tidak memberikan konsultasi telepon (kadang-kadang dengan penambahan pernyataan tertulis atau nama-nama orang yang mungkin bisa bersaksi dalam mendukung kebebasan intelektual). Sangat jarang, OIF datang ke perpustakaan untuk belajar bahwa OIF tidak memberikan bantuan hukum. Bantuan hukum mungkin tersedia dari kebebasan untuk membaca yayasan. FRF bukan bagian dari ALA (itu adalah badan hukum yang terpisah), tetapi kedua sangat erat terkait bahwa banyak orang mengalami kesulitan menggambar garis antara keduanya. Direktur eksekutif FRF juga merupakan direktur OIF; dengan pengaturan tersebut, maka tidak mengherankan bahwa orang berpikir FRF adalah bagian dari ALA. Sadarilah bahwa tidak ada jaminan menerima bantuan keuangan atau hukum dari FRF, ada kasus yang terlalu banyak dan dana yang cukup untuk membantu setiap orang.
Setiap orang yang tertarik untuk menjadi terlibat kegiatan kebebasan intelektual saya harus mempertimbangkan bergabung dengan meja bundar kebebasan intelektual, yang merupakan unit keanggotaan umum ALA yang berkaitan dengan kebebasan intelektual. Meskipun ALA menawarkan berbagai layanan dukungan untuk penanganan keluhan sensor, dukungan yang terbaik adalah menyiapkan sebelum kebutuhan timbul.
Berdasarkan pemaparan yang telah disampaikan diatas maka dapat dikonklusikan bahwa ada beberapa alasan dilakukannya sensor ini. Sebagaimana dikatakan oleh Sulistyo-Basuki (1991, p. 115) bahwa secara umum ada 5 sebab mengapa buku dilarang beredar. Adapun alasan pelarangan ialah (1) alasan politik, (2) alasan agama, (3) alasan ras, (4) alasan pornografi, dan (5) alasan penerbitan dalam aksara asing.

D. PenyaringanOleh karena itu kami memutuskan untuk menempatkan pembahasan penyaringan di sini dalam banyak hal, menjadi perhatian yang sangat berbeda dari tantangan ke item yang merupakan bagian dari koleksi seseorang. Menyaring akses ke internet adalah "topik hangat" bagi masyarakat umum, pejabat pemerintah, dan perpustakaan. Ketika kita mulai abad ke 21, perpustakaan tampaknya "terjebak di antara batu dan tempat yang keras" tentang masalah ini, selama mereka menawarkan akses internet kepada masyarakat. Beberapa masyarakat umum, yang mengatur papan, dan pejabat pemerintah terpilih ingin perpustakaan menggunakan software filter yang akan menolak akses ke beberapa jenis situs. Lainnya, percaya pada kebebasan berbicara (amandemen pertama), tidak mau penyaringan. Alasan utama untuk menyaring adalah untuk menjaga anak-anak dari memiliki akses ke situs "tidak bisa diterima". Sebuah artikel yang sangat baik menggambarkan bagaimana penyaringan bekerja dan tingkat kesalahan software filter Resnick paul, Derek Hansen, dan pasal Richardson Caroline di komunikasi atau ACM.
Penyaringan akses internet berkisar sekitar melindungi anak dan menolak akses terutama ke materi seksual. Masalah utama adalah bahwa penyaringan menegaskan software dan di bawah blok. Upaya untuk mengatur solusi memiliki hasil yang beragam. Kesopanan komunikasi bertindak (CDA) (yang membuat suatu kejahatan untuk mengirim atau posting material "tidak senonoh" di internet) dikuasai inkonstitusional oleh Mahkamah Agung pada tahun 1997. Kongres kemudian melewati tindakan perlindungan anak online (COPA, 47 USC 231 $), yang bertemu banyak nasib yang sama seperti CDA, ketika Mahkamah Agung memutuskan pada bulan juli 2004 untuk menegakkan suatu perintah ditempatkan pada tindakan tersebut oleh pengadilan yang lebih rendah. Pada Juni 2003, CIPA (Undang-undang perlindungan anak internet, PL 106-554) menerima penghakiman campuran dari Mahkamah Agung. Hal ini dicampur karena meskipun enam dari hakim ditemukan mendukung hukum, hanya empat menyetujui pendapat tunggal (perlu lima sampai membuat "mengendalikan" keputusan). Pendapat positif dilakukan, bagaimanapun, berarti perpustakaan (umum dan sekolah) harus memiliki filter, karena mereka disajikan satu-satunya solusi realistis untuk masalah.
Perpustakaan dalam menangani penyaringan Tantangannya adalah memenuhi persyaratan hukum untuk melindungi anak-anak dan masih menyediakan akses orang dewasa untuk bahan yang sah. Ada tiga daerah di mana filter untuk memblokir materi bersifat cabul penggambaran visual, pornografi anak, dan mereka yang berbahaya bagi anak di bawah umur. (CIPA tidak memerlukan teks penyaringan), sedangkan judul mengindikasikan tindakan fokusnya adalah anak-anak, jika perpustakaan ditutupi oleh mandat CIPA, semua komputer dengan kemampuan internet harus memiliki perangkat lunak penyaringan (termasuk staf komputer).
Undang-undang ini berlaku untuk perpustakaan umum dan sekolah yang memiliki diskon harga untuk akses internet, menerima dana dengan judul III dari tindakan pendidikan dasar dan menengah untuk membeli komputer yang akan terhubung ke internet, atau menerima dana di bawah negara- dioperasikan LSTA (layanan perpustakaan dan bertindak teknologi) untuk pembelian komputer internet. itu tidak berlaku untuk perpustakaan akademis atau khusus. ALA telah menciptakan situs web yang luas untuk melacak efek CIPA (http://www.ala.org/cipa).

E. RingkasanMasalah penyensoran merupakan hal yang kompleks, dan perlu untuk membaca secara ekstensif dan berpikir tentang topik ini. Contoh teoritis mungkin membantu untuk menggambarkan bagaimana kompleksnya masalah. Asumsi bahwa seorang pustakawan yang bertanggung jawab untuk memilih bahan untuk sebuah perpustakaan umum yang kecil. Tentu, pustakawan perlu pekerjaan ini untuk menutupi biaya hidup. Sekelompok kecil orang di masyarakat menginginkan pustakawan untuk membeli barang-barang tertentu untuk koleksi perpustakaan, tetapi pustakawan juga tahu dari sebuah kelompok besar orang yang vokal dan berpengaruh yang akan marah dan bahkan mungkin menuntut pustakawan dipecat jika item tersebut dibeli. Pustakawan harus membeli item dan risiko kesejahteraan keluarganya dan karir sendiri selama ini? Jika pustakawan tetap tidak membeli item tersebut, apa yang dapat dikatakan kepada orang-orang yang meminta dibeli? Apakah memberitahu mereka bahwa mereka bisa mendapatkannya di tempat lain atau mendapatkannya melalui pinjaman antar perpustakaan mengatasi masalah pustakawan itu?
Akhirnya, sebuah artikel di perpustakaan Amerika mengangkat pertanyaan: apakah penyensoran untuk menghapus seluruh kopian The Joy of Gay Sex menyebabkan pendukung praktek seks yang sekarang dirasakan berbahaya dalam terang epidemi AIDS?" pertanyaan, dan ada beberapa perbedaan pendapat. Orang bertanya-tanya bagaimana responden akan menjawab pertanyaan itu adalah: apakah sensor tidak membeli salinan seks Madonna? Seperti dengan semua persoalan yang sebenarnya, tidak ada jawaban yang benar-benar memuaskan.


Daftar Pustaka
Evans, G. Eduard & Saponaro, Margaret Zarnosky. 2005. Chapter 18 : Censorship, Intellectual Freedom, and Collection Development in Developing Library and Information Center Collections. Fifth edition. New York : Collection Development team.

Sulistyo-Basuki. 1991. Pengantar Ilmu Perpustakaan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Syihabuddin Qolyubi dkk. 2007. Dasar-dasar Ilmu Perpustakaan dan Informasi. Jogjakarta : Fakultas Adab UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.


Jumat, 21 Januari 2011

PROSES SELEKSI DALAM PRAKTEK

BAB IV
PROSES SELEKSI DALAM PRAKTEKOleh Marleni, Dyah Safitri dan Nurmalina


Di dalam buku Developing Library Collection and Information Centre 6th edition karya G. Edward Evans dan Margareth K. Saponaro bab IV tentang proses seleksi di perpustakaan Amerika Serikat, dapat dirangkum sebagai berikut :
1. Konsep Seleksi
Beberapa langkah umum dalam proses seleksi adalah :
1. Mengidentifikasi kebutuhan koleksi dari segi subjek dan jenis bahan spesifik
(alat bantu yang digunakan : daftar terbitan, katalog, selebaran, pengumuman e-mail dan cetak, bibliografi)
2. Menentukan berapa anggaran yang tersedia untuk pengembangan koleksi dan mengalokasikan sejumlah tertentu anggaran untuk setiap kategori atau subjek
3. Mengembangkan rencana untuk mengidentifikasi manfaat potensi dari bahan yang diperoleh
4. Melakukan pencarian untuk bahan yang diinginkan
Istilah yang digunakan dalam seleksi dan akuisisi di perpustakaan Amerika Serikat :
• Standing Order: perpustakaan berkomitmen untuk membeli semua yang dikirim oleh penerbit atau vendor, menyediakan bahan sesuai dengan persyaratan perjanjian formal. Standing Order biasanya dipakai untuk terbitan serial
• Blanket order: hampir sama dengan standing order tetapi tidak memerlukan profil perpustakaan. Pustakawan cukup memberitahukan ke agen atau penerbit agar mengirimkan buku yang telah diterbitkan dengan harga yang telah ditentukan, cakupan subjek, atau permintaan khusus. Kekurangan sistem ini buku yang sudah dibeli tidak bisa dikembalikan, tetapi potongan harganya tinggi.
• Approval Plan : perpustakaan diminta mengirim profil perpustakaan yang menginformasikan mengenai subyek, bahasa, tingkatan, biaya, penerbit, dan format. Kemudian agen mengirim buku yang relevan dengan perpustakaan setelah profil diterima. Sistem ini memungkinkan perpustakaan memeriksa barang sebelum memutuskan untuk membeli. Jika ada buku yang tidak sesuai bisa dikembalikan selama tidak melebihi 12% . Jika lebih dari 12%, maka profil perlu ditinjau ulang
• Till Forbidden : untuk menunjukkan bahwa penerbit atau pemasok jurnal secara otomatis harus memperbaharui langganan tanpa persetujuan lebih lanjut dari perpustakaan.
Masing-masing mekanisme tersebut memainkan peran penting dalam pengembangan koleksi yang efektif dan efisien, dan jelas mempengaruhi kegiatan seleksi.
• Ketika selektor tahu segala sesuatu kebutuhan perpustakaan tentang topik atau semua jenis bahan informasi atau dapat mennentukan lingkup dan kedalaman kebutuhan standing order atau blanket order adalah yang terbaik.
• Jika selektor memiliki informasi yang kurang tepat tentang kebutuhan tapi tahu pepustakaan akan membutuhkan sejumlah besar judul, approval plan mungkin yang terbaik. Namun approval plan mengharuskan selektor memeriksa setiap setiap judul yang akan digunakan atau dikembalikan.

2. Proses Seleksi di Perpustakaan Amerika Serikat
2.1. Perpustakaan Akademis
Amerika Serikat mengenal dua jenis pendidikan yakni kejuruan dan akademi. Pada pendidikan kejuruan (junior college) koleksi perpustakaan lebih banyak berfokus pada bahan audio visual daripada bahan cetak. Sedangkan pada perpustakaan akademis yang mencetak program sarjana tetapi melayani pengguna yang homogen. Di dalam perpustakaan akademi (college) koleksi audio visual lebih sedikit dibandingkan bahan cetak. Selain itu, jalur akademis lain di Amerika Serikat adalah universitas yang menyediakan jenjang hingga pasca sarjana dan tempat riset yang beragam variasinya. Pada intinya, penulis buku ini melihat fokus dari perpustakaan akademis (junior college, college, dan university) adalah mendukung tujuan utama kurikulum sehingga peran selektor lebih sedikit diba
ndingkan dengan anggota fakultas dalam menyeleksi bahan pustaka. Subject expert serta pihak fakultas memainkan peranan penting dalam proses penyeleksian bahan pustaka. Dalam melakukan seleksi kebanyakan perpustakaan akademis di Amerika Serikat menggunakan Choice terbitan ALA sebagai alat bantu seleksi, karena Choice mengulas bahan pustaka dengan melibatkan subject experts dan pustakawan.

2.2 Perpustakaan Umum
Pengembangan koleksi pada perpustakaan umum didasarkan pada keberagaman masyarakat yang dilayani, mulai beragamnya suku, tingkatan usia, latar belakang pendidikan, keterampilan serta pengetahuan serta beragamnya kebutuhan akan informasi. Karena itu, antisipasi terhadap kebutuhan pemustaka menjadi tantangan bagi selektor di perpustakaan umum. Selektor harus selalu terus membaca bahan koleksi dan memahami kebutuhan pemustaka. Untuk kelancaran kegiatan seleksi, alat penyeleksi yang kerap digunakan di perpustakaan umum adalah Reed Business Information’s Publisher Weekly (PW) yang berisi informasi mengenai judul apa saja yang akan segera diterbitkan oleh penerbit, tour penulis, iklan, atau tayangan TV yang akan muncul dengan beberapa penulis. Ini semua sangat membantu selektor untuk menerka apa yang akan sangat diminati oleh pemustaka. Selain PW, terdapat alat bantu seleksi lainnya seperti Library Journal dan Booklist.
Karena ukuran perpustakaan umum yang bervariasi dari yang ukuran koleksinya ribuan hingga jutaan, perpustakaan umum kecil, review penerbit merupakan alat seleksi yang sangat dibutuhkan karena minimnya anggaran penyediaan koleksi. Booklist menjadi alat bantu seleksi perpustakaan kecil karena berisi judul-judul yang direkomendasikan serta review dari bahan non-cetak dan referensi. Karena pada umumnya koleksi fiksi menjadi salah satu yang terbesar di perpustakaan umum maka alat bantu seleksi seperti Genreflecting: A Guide to Reading Interests in Genre Fiction yang berisi tentang literatur mengenai lebih kurang 32 tema yang berbeda serta para penulis yang ahli di tiap masing-masing tema sangat membantu dalam pengembangan koleksi fiksi.

2.3. Perpustakaan Sekolah
Di sekolah-sekolah Amerika Serikat, koleksi perpustakaan yang harus dipertimbangkan adalah yang mendukung target kurikulum. Bahan koleksi biasanya berupa audio visual sehingga koleksi yang dibutuhkan dilengkapi dengan perangkat lainnya. Karena dana yang ada biasanya terbatas, maka selektor harus benar-benar memilih koleksi dengan penekanan pada koleksi yang mutakhir dan penting. Pertimbangan lainnya adalah level dan efektivitas bahan koleksi itu digunakan di dalam kelas. Alat bantu seleksi yang biasa digunakan adalah ALA’s Booklist, Wilson’s children catalog, dan School Library Journal.

2.4. Perpustakaan Khusus
Pengadaan koleksi pada perpustakaan khusus biasanya adalah koleksi yang mutakhir dan terbatas pada spesialisasi tertentu saja. Elemen terpenting dalam pengembangan koleksi perpustakaan khusus adalah usulan pemustaka yang paham akan kebutuhan informasi mereka yang menjadi elemen penting apa saja koleksi yang akan dibeli. Untuk perpustakan khusus teknik yang kerap dipakai adalah penyebaran informasi khusus (SDI/special dissemination information). SDI dari anak perusahaan Thomson ISI salah satu yang menjadi alat bantu dengan terbitan indeks dan alat abstrak seperti Science Citation Index, Web of Science hingga data bibliometrik tentang judul koleksi yang mereka miliki.
Singkatnya, dalam proses seleksi, jenis alat bantu seleksi yang dapat dimanfaatkan oleh perpustakaan dapat ditabelkan sebagai berikut :
Jenis alat bantu seleksi Karakteristik Kelebihan Kekurangan Contoh
Sumber-sumber terkini untuk terbitan tercetak Berisi sitasi Berisi bahan yang akan terbit: khususnya sangat berguna bagi perpustakaan besar Biasanya hanya untuk pencarian pengarang saja; pencarian melalui subjek akan memakan banyak waktu; trekadang tidak berisi review atau informasi penting American Book Publishing Record (APBR) Books in Print
Katalog, flyers, pengumuman Dirancang khusus untuk pemasaran dan didistribusikan oleh penerbit Dapat berisi informasi lebih daripada daftar tercetak Informasinya singkat; ALA Editions for ALA publications
Sumber-sumber review terkini Dirancang untuk promosi dan mengevaluasi hasil karya
Terdapat 3 jenis review;
1. Review agar dibeli bukunya
2. Review untuk para subject specialist
3. Review untuk masyarakat umum Menghemat waktu dalam mengulas hasil karya terbitan Perbedaan pemasaran dapat mempengaruhi promosi judul; persentase yang kecil untuk ulasan buku; terlambat dalam ulasan cetak; beragamnya kompetensi reviewer; review cenderung tidak apa adanya Library Journal
Choice
Booklist
New York Times Sunday
Book review
Amazon.com
Bibliographic database Katalog perpustakaan yang kooperatif; berfungsi sebagai pengganti bibliografi nasional Aksesnya luas; tidak perlu akses terpisah ke bibliografi nasional; bermanfaat untuk verifikasi hasil karya; informasinya dapat di unduh dan digunakan sebagai bibliographic record di katalog online Tidak semua negara menggunakan sistem online OCLC
RLIN
Rekomendasi dan daftar koleksi penting Berisi daftar rekomendasi untuk dibeli Bermanfaat ketika dipergunakan dengan teliti Tidak praktis mengoleksi setiap item yang ada; daftar-daftar tersebut cepat kadaluarsa setelah publikasi Public Library catalog
j. Gillespie
best book for Children: Pre-School Through Age Six,7th ed (Westport, CT; Bowker-Greenwood, 2002)

Bibliografi subjek Berisi daftar yang disusun oleh para subject expert serta memuat evaluasi-evaluasi penting Dapat memuat beragam subjek apa saja Muncul masalah yang berkaitan dengan kemutakhiran dan selektivitas J.H Sweetland, fundamental reference sources, 3rd. ed (Chicago, ALA, 2001)

Dari tabel di atas, bila selektor secara konsisten menggunakan alat bantu seleksi, mereka akan belajar memilih bahan koleksi (learning by doing) sehingga akan tahu kelebihan dan kekurangan masing-masing. Selektor harus mengetahui kebutuhan layanan pemustakanya, dapat memilih dengan tepat bahan koleksi seperti apa yang dibutuhkan pemustaka, tentu dengan anggaran yang telah ditetapkan sebelumnya. Proses ini adalah proses berkelanjutan dan terus menerus sehingga akan menjadi tantangan yang akan dihadapi oleh pustakawan dimanapun ia berada.


3. Perpustakaan di Indonesia
Kebijakan pengembangan koleksi perpustakaan di Indonesia sebenarnya sudah memiliki payung hukum yang cukup kuat yakni berdasarkan atas UU no. 43 tahun 2007 tentang Perpustakaan di Bab IV pasal 12 ayat (1) yakni “ Koleksi perpustakaan diseleksi, diolah, disimpan,dilayankan, dan dikembangkan sesuai dengan kepentingan pemustaka dan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi”. Dari dasar hukum itu, sebetulnya semua jenis perpustakaan yang ada di Indonesia memiliki kewajiban yang sama untuk membuat koleksi perpustakaan yang sesuai dengan kepentingan pemustaka sekaligus memanfatkan perkembangan teknologi informasi. Hanya saja, seperti merujuk pada apa yang terjadi di perpustakaan Amerika Serikat, seleksi bahan koleksi semestinya secara sistemik harus dipikirkan oleh pemangku kepentingan (stakeholder).
Di Amerika Serikat, bagaimana asosiasi pustakawan, media, toko buku online, menciptakan tinjauan buku yang mampu membantu selektor ketika akan memilah dan memilih koleksi perpustakaan. Proses ini adalah lifecycle yang berkaitan satu sama lain antara pengarang, penerbit, toko buku, pustakawan, subject specialist, dan pemustaka yang memungkinkan terjadinya ekosistem seleksi bahan pustaka yang baik. Kondisi di Indonesia belum dapat seideal seperti itu karena selektor di perpustakaan hanya mengandalkan review dari penerbit saja. Akibatnya, ini memang review datang dari arah sepihak saja, selain tidak bisa menampilkan apa yang ada di dalam bahan pustaka apa adanya, tendensi pemasaran bahan pustaka masih lebih dominan ketimbang isi bahan pustaka itu sendiri.
Pada perpustakaan perguruan tinggi contohnya, seleksi bahan pustaka telah termaktub di dalam UU no.43 tahun 2007 pasal 24 ayat 2 yang menyebut bahwa perpustakaan perguruan tinggi memiliki koleksi, baik jumlah judul maupun jumlah eksemplarnya yang mencukupi untuk mendukung pelaksanaan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Istilah mencukupi dan mendukung pelaksanaan pendidikan itulah yang menjadi dasar dalam seleksi bahan koleksi. Strategi yang dilakukan oleh masing-masing perguruan tinggi dalam mewujudkan amanat tersebut memang dapat bermacam-macam, misalnya di tingkat universitas ada kebijakan yang dapat diambil dengan mengangkat dosen tiap fakultas dan jurusan yang ditunjuk sebagai subject specialist (subject expert) yang ditunjuk berdasarkan SK Rektor. Tugas subject specialist yang mestinya adalah tugas melekat pustakawan dan kemudian dilimpahkan kepada dosen yang bersangkutan adalah sebuah jalan tengah yang baik bila perpustakaan belum dapat mewujudkan subject specialist. Dengan memperbantukan dosen sebagai subject specialist maka ini akan menghemat anggaran sekaligus akan menjamin sisi keilmuwan dosen akan berpengaruh positif terhadap pengadaan bahan koleksi karena mereka yang tahu benar mengenai perkembangan pada subjek ilmu yang ditekuni.
Selain itu, langkah yang bisa diambil oleh perpustakaan perguruan tinggi adalah dengan melakukan penelitian khusus yang berkaitan dengan pengembangan koleksi perpustakaan. Anggaran penelitian dapat dirancang dan diambil pada tahun anggaran tertentu dengan tujuan untuk mengetahui secara mendalam kebutuhan pemustaka terhadap koleksi perpustakaan. Pada saat yang sama, penelitian itu dapat mengungkap evaluasi sejauh mana koleksi telah dimanfaatkan secara lebih mendalam oleh civitas akademika dengan mengacu kepada kurikulum, serta visi dan misi perguruan tinggi tersebut.
Idealnya, wajah seleksi koleksi bahan pustaka di perpustakaan di Indonesia dapat meniru apa yang ada di Amerika Serikat. Kalaupun tidak dapat seratus persen persis, setidaknya perpustakaan di Indonesia bisa memanfaatkan beragam kemudahan yang kini ada untuk mendekati gambaran ideal proses seleksi. Contoh paling mudah adalah dengan menggunakan keberadaan internet. Asosiasi pustakawan dapat bekerjasama dengan penerbit serta memanfaatkan media massa online untuk membuat review terhadap bahan pustaka yang bisa disesuaikan dengan tingkat kebutuhan perpustakaan di Indonesia. Dengan memanfaatkan web 2.0 yang UGC-oriented (user generated content- memungkinkan pengguna berpartisipasi dalam web) akan membuat review menjadi semakin kaya karena semua orang bisa berpartisipasi. Bila perlu dilakukan langkah moderasi dengan memberlakukan persyaratan bagi yang ingin berpartisipasi dalam web tersebut sekaligus memberi reward berupa hadiah yang dapat diwujudkan dalam bentuk buku bagi para reviewer yang dianggap paling bagus. Langkah awal bisa dilakukan oleh Ikapi (sebagai asosiasi penerbit) dan IPI (Ikatan Pustakawan Indonesia) untuk membuat alat bantu seleksi bahan pustaka berupa review yang terbit berkala.
Bila lifecycle yang alamiah tidak dapat terjadi dengan mulus di Indonesia, pemerintah dapat melakukan kebijakan dengan membuat semacam komite khusus di bawah Perpustakaan Nasional yang melakukan penilaian bahan pustaka cetak maupun non-cetak. Mereka diberi tugas untuk melakukan pemilihan bahan pustaka yang layak direview, melibatkan ahli-ahli yang kompeten untuk melakukan review serta melakukan kajian-kajian terhadap review tersebut. Keanggotaan komite khusus ini bisa melibatkan pustakawan, lembaga riset pemerintah seperti LIPI, pers (cetak maupun elektronik), hingga penerbit. Amanat UU Perpustakaan selama ini hanya mengisyaratkan pembentukan Dewan Perpustakaan Nasional yang tidak bekerja secara khusus dalam proses seleksi bahan pustaka. Karena itu, dalam tataran praktis dan operasional, komite khusus itu dapat menjembatani kebutuhan alat seleksi bagi pustakawan atau selektor di berbagai perpustakaan agar dapat memudahkan pekerjaan mereka dalam melakukan proses seleksi bahan pustaka.




4. Penutup
4.1. Kesimpulan
Dari artikel pada bab IV tersebut dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Proses seleksi bahan pustaka di Amerika Serikat adalah proses yang terus terjadi dan berkesinambungan. Proses ini melibatkan semua stakeholder mulai dari pustakawan, pemustaka, penerbit, toko buku, dan pemegang kebijakan.
2. Proses seleksi berlainan antara satu jenis perpustakaan dengan jenis perpustakaan lainnya di Amerika Serikat. Tapi, prinsipnya untuk melakukan seleksi, pustakawan dapat memperoleh input yang cukup dari review baik yang dilakukan penerbit atau oleh asosiasi pustakawan.
3. Seleksi bahan pustaka adalah proses belajar dengan melakukan, sehingga nanti akan diketahui bagaimana seluk beluk dalam pemilihan bahan pustaka yang tentu sudah disesuaikan dengan kebutuhan pemustakanya.

4.2. Saran
1. Dalam konteks Indonesia, wajah seleksi bahan pustaka seperti di Amerika Serikat memang tidak sepenuhnya bisa diterapkan di Indonesia. Stakeholder perpustakaan di Indonesia semestinya dapat memanfaatkaan payung hukum yang tersedia dengan membuat terobosan misalnya dengan membuat review bahan cetak dan non-cetak secara interaktif menggunakan wahana internet.
2. Perlu dipikirkan sebuah komite khusus secara nasional maupun lokal yang bertugas untuk melakukan seleksi bahan pustaka. Komite ini melibatkan sejumlah ahli dan mengajak pers agar proses pemilihan bahan pustaka dapat menjangkau semua jenis perpustakaan di seluruh Indonesia.
3. Khusus perpustakaan perguruan tinggi, proses kebijakan seleksi bahan pustaka dapat dilakukan dengan lebih kreatif, melihat sumber daya yang ada, dan memanfaatkan sumber daya tersebut secara optimal. Tentu, agar ini berlangsung berkelanjutan perlu sistem reward bagi yang terlibat sebagai subject specialist entah itu berupa reward penambahan tunjangan atau penambahan penilaian untuk kenaikan tingkat atau jabatan. Bila langkah itu bisa dilakukan, proses seleksi bahan pustaka bukanlah sesuatu yang rumit dan memberatkan bagi perpustakaan.




PROSES SELEKSI DALAM PRAKTEK

BAB IV
PROSES SELEKSI DALAM PRAKTEKOleh Marleni, Dyah Safitri dan Nurmalina


Di dalam buku Developing Library Collection and Information Centre 6th edition karya G. Edward Evans dan Margareth K. Saponaro bab IV tentang proses seleksi di perpustakaan Amerika Serikat, dapat dirangkum sebagai berikut :
1. Konsep Seleksi
Beberapa langkah umum dalam proses seleksi adalah :
1. Mengidentifikasi kebutuhan koleksi dari segi subjek dan jenis bahan spesifik
(alat bantu yang digunakan : daftar terbitan, katalog, selebaran, pengumuman e-mail dan cetak, bibliografi)
2. Menentukan berapa anggaran yang tersedia untuk pengembangan koleksi dan mengalokasikan sejumlah tertentu anggaran untuk setiap kategori atau subjek
3. Mengembangkan rencana untuk mengidentifikasi manfaat potensi dari bahan yang diperoleh
4. Melakukan pencarian untuk bahan yang diinginkan
Istilah yang digunakan dalam seleksi dan akuisisi di perpustakaan Amerika Serikat :
• Standing Order: perpustakaan berkomitmen untuk membeli semua yang dikirim oleh penerbit atau vendor, menyediakan bahan sesuai dengan persyaratan perjanjian formal. Standing Order biasanya dipakai untuk terbitan serial
• Blanket order: hampir sama dengan standing order tetapi tidak memerlukan profil perpustakaan. Pustakawan cukup memberitahukan ke agen atau penerbit agar mengirimkan buku yang telah diterbitkan dengan harga yang telah ditentukan, cakupan subjek, atau permintaan khusus. Kekurangan sistem ini buku yang sudah dibeli tidak bisa dikembalikan, tetapi potongan harganya tinggi.
• Approval Plan : perpustakaan diminta mengirim profil perpustakaan yang menginformasikan mengenai subyek, bahasa, tingkatan, biaya, penerbit, dan format. Kemudian agen mengirim buku yang relevan dengan perpustakaan setelah profil diterima. Sistem ini memungkinkan perpustakaan memeriksa barang sebelum memutuskan untuk membeli. Jika ada buku yang tidak sesuai bisa dikembalikan selama tidak melebihi 12% . Jika lebih dari 12%, maka profil perlu ditinjau ulang
• Till Forbidden : untuk menunjukkan bahwa penerbit atau pemasok jurnal secara otomatis harus memperbaharui langganan tanpa persetujuan lebih lanjut dari perpustakaan.
Masing-masing mekanisme tersebut memainkan peran penting dalam pengembangan koleksi yang efektif dan efisien, dan jelas mempengaruhi kegiatan seleksi.
• Ketika selektor tahu segala sesuatu kebutuhan perpustakaan tentang topik atau semua jenis bahan informasi atau dapat mennentukan lingkup dan kedalaman kebutuhan standing order atau blanket order adalah yang terbaik.
• Jika selektor memiliki informasi yang kurang tepat tentang kebutuhan tapi tahu pepustakaan akan membutuhkan sejumlah besar judul, approval plan mungkin yang terbaik. Namun approval plan mengharuskan selektor memeriksa setiap setiap judul yang akan digunakan atau dikembalikan.

2. Proses Seleksi di Perpustakaan Amerika Serikat
2.1. Perpustakaan Akademis
Amerika Serikat mengenal dua jenis pendidikan yakni kejuruan dan akademi. Pada pendidikan kejuruan (junior college) koleksi perpustakaan lebih banyak berfokus pada bahan audio visual daripada bahan cetak. Sedangkan pada perpustakaan akademis yang mencetak program sarjana tetapi melayani pengguna yang homogen. Di dalam perpustakaan akademi (college) koleksi audio visual lebih sedikit dibandingkan bahan cetak. Selain itu, jalur akademis lain di Amerika Serikat adalah universitas yang menyediakan jenjang hingga pasca sarjana dan tempat riset yang beragam variasinya. Pada intinya, penulis buku ini melihat fokus dari perpustakaan akademis (junior college, college, dan university) adalah mendukung tujuan utama kurikulum sehingga peran selektor lebih sedikit diba
ndingkan dengan anggota fakultas dalam menyeleksi bahan pustaka. Subject expert serta pihak fakultas memainkan peranan penting dalam proses penyeleksian bahan pustaka. Dalam melakukan seleksi kebanyakan perpustakaan akademis di Amerika Serikat menggunakan Choice terbitan ALA sebagai alat bantu seleksi, karena Choice mengulas bahan pustaka dengan melibatkan subject experts dan pustakawan.

2.2 Perpustakaan Umum
Pengembangan koleksi pada perpustakaan umum didasarkan pada keberagaman masyarakat yang dilayani, mulai beragamnya suku, tingkatan usia, latar belakang pendidikan, keterampilan serta pengetahuan serta beragamnya kebutuhan akan informasi. Karena itu, antisipasi terhadap kebutuhan pemustaka menjadi tantangan bagi selektor di perpustakaan umum. Selektor harus selalu terus membaca bahan koleksi dan memahami kebutuhan pemustaka. Untuk kelancaran kegiatan seleksi, alat penyeleksi yang kerap digunakan di perpustakaan umum adalah Reed Business Information’s Publisher Weekly (PW) yang berisi informasi mengenai judul apa saja yang akan segera diterbitkan oleh penerbit, tour penulis, iklan, atau tayangan TV yang akan muncul dengan beberapa penulis. Ini semua sangat membantu selektor untuk menerka apa yang akan sangat diminati oleh pemustaka. Selain PW, terdapat alat bantu seleksi lainnya seperti Library Journal dan Booklist.
Karena ukuran perpustakaan umum yang bervariasi dari yang ukuran koleksinya ribuan hingga jutaan, perpustakaan umum kecil, review penerbit merupakan alat seleksi yang sangat dibutuhkan karena minimnya anggaran penyediaan koleksi. Booklist menjadi alat bantu seleksi perpustakaan kecil karena berisi judul-judul yang direkomendasikan serta review dari bahan non-cetak dan referensi. Karena pada umumnya koleksi fiksi menjadi salah satu yang terbesar di perpustakaan umum maka alat bantu seleksi seperti Genreflecting: A Guide to Reading Interests in Genre Fiction yang berisi tentang literatur mengenai lebih kurang 32 tema yang berbeda serta para penulis yang ahli di tiap masing-masing tema sangat membantu dalam pengembangan koleksi fiksi.

2.3. Perpustakaan Sekolah
Di sekolah-sekolah Amerika Serikat, koleksi perpustakaan yang harus dipertimbangkan adalah yang mendukung target kurikulum. Bahan koleksi biasanya berupa audio visual sehingga koleksi yang dibutuhkan dilengkapi dengan perangkat lainnya. Karena dana yang ada biasanya terbatas, maka selektor harus benar-benar memilih koleksi dengan penekanan pada koleksi yang mutakhir dan penting. Pertimbangan lainnya adalah level dan efektivitas bahan koleksi itu digunakan di dalam kelas. Alat bantu seleksi yang biasa digunakan adalah ALA’s Booklist, Wilson’s children catalog, dan School Library Journal.

2.4. Perpustakaan Khusus
Pengadaan koleksi pada perpustakaan khusus biasanya adalah koleksi yang mutakhir dan terbatas pada spesialisasi tertentu saja. Elemen terpenting dalam pengembangan koleksi perpustakaan khusus adalah usulan pemustaka yang paham akan kebutuhan informasi mereka yang menjadi elemen penting apa saja koleksi yang akan dibeli. Untuk perpustakan khusus teknik yang kerap dipakai adalah penyebaran informasi khusus (SDI/special dissemination information). SDI dari anak perusahaan Thomson ISI salah satu yang menjadi alat bantu dengan terbitan indeks dan alat abstrak seperti Science Citation Index, Web of Science hingga data bibliometrik tentang judul koleksi yang mereka miliki.
Singkatnya, dalam proses seleksi, jenis alat bantu seleksi yang dapat dimanfaatkan oleh perpustakaan dapat ditabelkan sebagai berikut :
Jenis alat bantu seleksi Karakteristik Kelebihan Kekurangan Contoh
Sumber-sumber terkini untuk terbitan tercetak Berisi sitasi Berisi bahan yang akan terbit: khususnya sangat berguna bagi perpustakaan besar Biasanya hanya untuk pencarian pengarang saja; pencarian melalui subjek akan memakan banyak waktu; trekadang tidak berisi review atau informasi penting American Book Publishing Record (APBR) Books in Print
Katalog, flyers, pengumuman Dirancang khusus untuk pemasaran dan didistribusikan oleh penerbit Dapat berisi informasi lebih daripada daftar tercetak Informasinya singkat; ALA Editions for ALA publications
Sumber-sumber review terkini Dirancang untuk promosi dan mengevaluasi hasil karya
Terdapat 3 jenis review;
1. Review agar dibeli bukunya
2. Review untuk para subject specialist
3. Review untuk masyarakat umum Menghemat waktu dalam mengulas hasil karya terbitan Perbedaan pemasaran dapat mempengaruhi promosi judul; persentase yang kecil untuk ulasan buku; terlambat dalam ulasan cetak; beragamnya kompetensi reviewer; review cenderung tidak apa adanya Library Journal
Choice
Booklist
New York Times Sunday
Book review
Amazon.com
Bibliographic database Katalog perpustakaan yang kooperatif; berfungsi sebagai pengganti bibliografi nasional Aksesnya luas; tidak perlu akses terpisah ke bibliografi nasional; bermanfaat untuk verifikasi hasil karya; informasinya dapat di unduh dan digunakan sebagai bibliographic record di katalog online Tidak semua negara menggunakan sistem online OCLC
RLIN
Rekomendasi dan daftar koleksi penting Berisi daftar rekomendasi untuk dibeli Bermanfaat ketika dipergunakan dengan teliti Tidak praktis mengoleksi setiap item yang ada; daftar-daftar tersebut cepat kadaluarsa setelah publikasi Public Library catalog
j. Gillespie
best book for Children: Pre-School Through Age Six,7th ed (Westport, CT; Bowker-Greenwood, 2002)

Bibliografi subjek Berisi daftar yang disusun oleh para subject expert serta memuat evaluasi-evaluasi penting Dapat memuat beragam subjek apa saja Muncul masalah yang berkaitan dengan kemutakhiran dan selektivitas J.H Sweetland, fundamental reference sources, 3rd. ed (Chicago, ALA, 2001)

Dari tabel di atas, bila selektor secara konsisten menggunakan alat bantu seleksi, mereka akan belajar memilih bahan koleksi (learning by doing) sehingga akan tahu kelebihan dan kekurangan masing-masing. Selektor harus mengetahui kebutuhan layanan pemustakanya, dapat memilih dengan tepat bahan koleksi seperti apa yang dibutuhkan pemustaka, tentu dengan anggaran yang telah ditetapkan sebelumnya. Proses ini adalah proses berkelanjutan dan terus menerus sehingga akan menjadi tantangan yang akan dihadapi oleh pustakawan dimanapun ia berada.


3. Perpustakaan di Indonesia
Kebijakan pengembangan koleksi perpustakaan di Indonesia sebenarnya sudah memiliki payung hukum yang cukup kuat yakni berdasarkan atas UU no. 43 tahun 2007 tentang Perpustakaan di Bab IV pasal 12 ayat (1) yakni “ Koleksi perpustakaan diseleksi, diolah, disimpan,dilayankan, dan dikembangkan sesuai dengan kepentingan pemustaka dan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi”. Dari dasar hukum itu, sebetulnya semua jenis perpustakaan yang ada di Indonesia memiliki kewajiban yang sama untuk membuat koleksi perpustakaan yang sesuai dengan kepentingan pemustaka sekaligus memanfatkan perkembangan teknologi informasi. Hanya saja, seperti merujuk pada apa yang terjadi di perpustakaan Amerika Serikat, seleksi bahan koleksi semestinya secara sistemik harus dipikirkan oleh pemangku kepentingan (stakeholder).
Di Amerika Serikat, bagaimana asosiasi pustakawan, media, toko buku online, menciptakan tinjauan buku yang mampu membantu selektor ketika akan memilah dan memilih koleksi perpustakaan. Proses ini adalah lifecycle yang berkaitan satu sama lain antara pengarang, penerbit, toko buku, pustakawan, subject specialist, dan pemustaka yang memungkinkan terjadinya ekosistem seleksi bahan pustaka yang baik. Kondisi di Indonesia belum dapat seideal seperti itu karena selektor di perpustakaan hanya mengandalkan review dari penerbit saja. Akibatnya, ini memang review datang dari arah sepihak saja, selain tidak bisa menampilkan apa yang ada di dalam bahan pustaka apa adanya, tendensi pemasaran bahan pustaka masih lebih dominan ketimbang isi bahan pustaka itu sendiri.
Pada perpustakaan perguruan tinggi contohnya, seleksi bahan pustaka telah termaktub di dalam UU no.43 tahun 2007 pasal 24 ayat 2 yang menyebut bahwa perpustakaan perguruan tinggi memiliki koleksi, baik jumlah judul maupun jumlah eksemplarnya yang mencukupi untuk mendukung pelaksanaan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Istilah mencukupi dan mendukung pelaksanaan pendidikan itulah yang menjadi dasar dalam seleksi bahan koleksi. Strategi yang dilakukan oleh masing-masing perguruan tinggi dalam mewujudkan amanat tersebut memang dapat bermacam-macam, misalnya di tingkat universitas ada kebijakan yang dapat diambil dengan mengangkat dosen tiap fakultas dan jurusan yang ditunjuk sebagai subject specialist (subject expert) yang ditunjuk berdasarkan SK Rektor. Tugas subject specialist yang mestinya adalah tugas melekat pustakawan dan kemudian dilimpahkan kepada dosen yang bersangkutan adalah sebuah jalan tengah yang baik bila perpustakaan belum dapat mewujudkan subject specialist. Dengan memperbantukan dosen sebagai subject specialist maka ini akan menghemat anggaran sekaligus akan menjamin sisi keilmuwan dosen akan berpengaruh positif terhadap pengadaan bahan koleksi karena mereka yang tahu benar mengenai perkembangan pada subjek ilmu yang ditekuni.
Selain itu, langkah yang bisa diambil oleh perpustakaan perguruan tinggi adalah dengan melakukan penelitian khusus yang berkaitan dengan pengembangan koleksi perpustakaan. Anggaran penelitian dapat dirancang dan diambil pada tahun anggaran tertentu dengan tujuan untuk mengetahui secara mendalam kebutuhan pemustaka terhadap koleksi perpustakaan. Pada saat yang sama, penelitian itu dapat mengungkap evaluasi sejauh mana koleksi telah dimanfaatkan secara lebih mendalam oleh civitas akademika dengan mengacu kepada kurikulum, serta visi dan misi perguruan tinggi tersebut.
Idealnya, wajah seleksi koleksi bahan pustaka di perpustakaan di Indonesia dapat meniru apa yang ada di Amerika Serikat. Kalaupun tidak dapat seratus persen persis, setidaknya perpustakaan di Indonesia bisa memanfaatkan beragam kemudahan yang kini ada untuk mendekati gambaran ideal proses seleksi. Contoh paling mudah adalah dengan menggunakan keberadaan internet. Asosiasi pustakawan dapat bekerjasama dengan penerbit serta memanfaatkan media massa online untuk membuat review terhadap bahan pustaka yang bisa disesuaikan dengan tingkat kebutuhan perpustakaan di Indonesia. Dengan memanfaatkan web 2.0 yang UGC-oriented (user generated content- memungkinkan pengguna berpartisipasi dalam web) akan membuat review menjadi semakin kaya karena semua orang bisa berpartisipasi. Bila perlu dilakukan langkah moderasi dengan memberlakukan persyaratan bagi yang ingin berpartisipasi dalam web tersebut sekaligus memberi reward berupa hadiah yang dapat diwujudkan dalam bentuk buku bagi para reviewer yang dianggap paling bagus. Langkah awal bisa dilakukan oleh Ikapi (sebagai asosiasi penerbit) dan IPI (Ikatan Pustakawan Indonesia) untuk membuat alat bantu seleksi bahan pustaka berupa review yang terbit berkala.
Bila lifecycle yang alamiah tidak dapat terjadi dengan mulus di Indonesia, pemerintah dapat melakukan kebijakan dengan membuat semacam komite khusus di bawah Perpustakaan Nasional yang melakukan penilaian bahan pustaka cetak maupun non-cetak. Mereka diberi tugas untuk melakukan pemilihan bahan pustaka yang layak direview, melibatkan ahli-ahli yang kompeten untuk melakukan review serta melakukan kajian-kajian terhadap review tersebut. Keanggotaan komite khusus ini bisa melibatkan pustakawan, lembaga riset pemerintah seperti LIPI, pers (cetak maupun elektronik), hingga penerbit. Amanat UU Perpustakaan selama ini hanya mengisyaratkan pembentukan Dewan Perpustakaan Nasional yang tidak bekerja secara khusus dalam proses seleksi bahan pustaka. Karena itu, dalam tataran praktis dan operasional, komite khusus itu dapat menjembatani kebutuhan alat seleksi bagi pustakawan atau selektor di berbagai perpustakaan agar dapat memudahkan pekerjaan mereka dalam melakukan proses seleksi bahan pustaka.




4. Penutup
4.1. Kesimpulan
Dari artikel pada bab IV tersebut dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Proses seleksi bahan pustaka di Amerika Serikat adalah proses yang terus terjadi dan berkesinambungan. Proses ini melibatkan semua stakeholder mulai dari pustakawan, pemustaka, penerbit, toko buku, dan pemegang kebijakan.
2. Proses seleksi berlainan antara satu jenis perpustakaan dengan jenis perpustakaan lainnya di Amerika Serikat. Tapi, prinsipnya untuk melakukan seleksi, pustakawan dapat memperoleh input yang cukup dari review baik yang dilakukan penerbit atau oleh asosiasi pustakawan.
3. Seleksi bahan pustaka adalah proses belajar dengan melakukan, sehingga nanti akan diketahui bagaimana seluk beluk dalam pemilihan bahan pustaka yang tentu sudah disesuaikan dengan kebutuhan pemustakanya.

4.2. Saran
1. Dalam konteks Indonesia, wajah seleksi bahan pustaka seperti di Amerika Serikat memang tidak sepenuhnya bisa diterapkan di Indonesia. Stakeholder perpustakaan di Indonesia semestinya dapat memanfaatkaan payung hukum yang tersedia dengan membuat terobosan misalnya dengan membuat review bahan cetak dan non-cetak secara interaktif menggunakan wahana internet.
2. Perlu dipikirkan sebuah komite khusus secara nasional maupun lokal yang bertugas untuk melakukan seleksi bahan pustaka. Komite ini melibatkan sejumlah ahli dan mengajak pers agar proses pemilihan bahan pustaka dapat menjangkau semua jenis perpustakaan di seluruh Indonesia.
3. Khusus perpustakaan perguruan tinggi, proses kebijakan seleksi bahan pustaka dapat dilakukan dengan lebih kreatif, melihat sumber daya yang ada, dan memanfaatkan sumber daya tersebut secara optimal. Tentu, agar ini berlangsung berkelanjutan perlu sistem reward bagi yang terlibat sebagai subject specialist entah itu berupa reward penambahan tunjangan atau penambahan penilaian untuk kenaikan tingkat atau jabatan. Bila langkah itu bisa dilakukan, proses seleksi bahan pustaka bukanlah sesuatu yang rumit dan memberatkan bagi perpustakaan.




Kamis, 06 Januari 2011

Manajemen Rekod Elektronik

A. Latar Belakang

Tantangan bagi para arsiparis saat ini adalah meningkatnya penggunaan teknologi informasi. Banyak instansi pemerintah maupun swasta menjadikan fungsi utama organisasinya computerized dan menggunakan teknologi informasi agar lebih efisien. Rekod elektronik muncul karena dua hal yaitu born by digital dan yang kedua adalah proses alih media. Born by digital melibatkan peralatan elektronik seperti komputer, kamera digital, handycam, voice recorder, dan aplikasi yang berhubungan dari word processor sampai dengan CAD/CAM. Beragam rekod yang dihasilkan, seperti email, dokumen elektronik, grafik, foto digital, rekaman suara, video, bahkan peta topografi dengan menggunakan satelit.
Sedangkan proses alih media, sudah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 88 Tahun 1999 Tentang Tata Cara Pengalihan Dokumen Perusahaan ke Dalam Mikrofilm atau Media Lainnya dan Legalisasi, pasal 2 yang berbunyi bahwa setiap perusahaan dapat mengalihkan dokumen perusahaan yang dibuat atau diterima baik di atas kertas maupun dalam sarana lainnya ke dalam mikrofilm atau media lainnya.
Organisasi yang tidak menggunakan suatu sistem manajemen rekod elektronik akan mengambil resiko hilangnya bukti kunci dari aktivitas bisnis mereka, dengan demikian menghasilkan suatu ketiadaan memori (perseroan/perusahaan), pemborosan, ketidakcakapan dan suatu ketidak mampuan untuk memenuhi akuntabilitas, tanggung-jawab dan persyaratan legislative.

B. Definisi Rekod dan Arsip

Sebutan lain untuk rekod adalah arsip dinamis, sedangkan rekod yang tidak digunakan lagi untuk menunjang kegiatan sehari-hari disebut arsip statis, atau arsip saja. Sebutan yang berbeda ini terjadi karena asal usul kata: rekod berasal dari records bahasa Inggris, sedangkan arsip berasal dari archief bahasa Belanda (dynamisch archief dan statisch archief).
Di dalam Undang-Undang No. 43 tahun 2009 tentang Kearsipan, menggunakan sebutan arsip untuk rekod, yang artinya rekaman kegiatan atau peristiwa dalam berbagai bentuk dan media sesuai dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang dibuat dan diterima oleh lembaga negara, pemerintahan daerah, lembaga pendidikan, perusahaan, organisasi politik, organisasi kemasyarakatan, dan perseorangan dalam pelaksanaan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Dilihat dari fungsinya dalam penyelenggaraan administrasi pemerintahan sehari-hari, fungsi rekod di bagi atas rekod aktif dan rekod inaktif, di dalam UU No. 43 tahun 2009 pasal 1 disebut sebagai arsip aktif dan arsip inaktif;
a. Arsip aktif adalah arsip yang frekuensi penggunaannya tinggi dan/atau terus menerus.
b. Rekod inaktif adalah rekod yang frekuensi penggunaannya telah menurun.
Adanya sebutan yang berbeda antara rekod dan arsip memang bisa membingungkan, terutama jika digunakan secara kurang konsisten.

C. Definisi Rekod Elektronik

Pengertian rekod elektronik merujuk pada Undang-Undang No. 11 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) Pasal 1, yang menyatakan bahwa Dokumen Elektronik adalah setiap Informasi Elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui Komputer atau Sistem Elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.
Pengertian rekod elektronik menurut NARA, United States (National Archives and Record Administration) Amerika Serikat dalam Rosyid adalah arsip-arsip yang tersimpan dan diolah di dalam suatu format dimana hanya mesin computer yang dapat memprosesnya. Oleh karena itu rekod elektronik seringkali dikatakan sebagai machine readable records (rekod yang hanya bisa dibaca melalui mesin. Dan ditambahkan menurut Australian Archives dalam buku Managing Electronic Record, rekod elektronik adalah arsip yang diciptakan dan dipelihara sebagai bukti dari transaksi, aktifitas dan fungsi lembaga atau individu yang ditransfer dan diolah di dalam dan diantara sistem komputer.

D. Komponen Rekod Elektronik

International Standard untuk Records Management (ISO 15489) menyediakan bimbingan (best practice) bagaimana dokumen harus diatur untuk memastikan dokumen tersebut adalah asli, dapat dipercaya, lengkap, tak berubah dan yang dapat dipakai. Selain itu dengan memakai sistem E-Record Management (ERM) sebagai Functional Requirements for Electronic Records Management Systems sangat membantu pihak pengelola arsip elektronik untuk dapat mengelola dokumen dengan baik secara efektif dan efisien, baik dalam hal penyimpanan, pengolahan, pendistribusian, dan perawatan dokumen. Sistem ERM adalah sebuah sistem yang mampu memelihara integritas serta keaslian rekod.
Principles and Functional Requirements for Records in electronic office environments antara lain :
1. Menjelaskan proses dan requirements untuk identifikasi dan memanage records dalam Elektronik Records Management System (ERMS)
2. Membangun requirements untuk fungsional manajemen rekod yang akan dimasukan ke dalam spesifikasi design jika akan digunakan untuk membangun soft ware kearsipan, upgrade atau membeli ERMS software
3. Menginformasikan fungsional requirement dalam menyeleksi aplikasi ERMS yang ada (tersedia di pasaran)
4. Mereview atau menilai kesesuaian aplikasi ERMS yang ada

Fungsional Requirement yang akan dibahas pada tulisan ini adalah mengacu pada Modul 2 yaitu “Guidelines and Functional Requirements for Electronic Records Management Systems”. Fungsional Requirement dibagi kedalam empat bagian yaitu :
1. Create
a. Capture
1) Proses capture
2) Point of capture metadata
3) Agregasi metadata elektronik
4) Bulk importing
5) Format document elektronik
6) Compound records
7) Email
b. Identification
c. Classification
1) Menetapkan skema klasifikasi
2) Level klasifikasi
3) Proses klasifikasi
4) Volume record
2. Maintain
a. Managing authentic and reliable records
1) Akses dan keamanan
2) Access controls
3) Establishing security control
4) Assigning security levels
5) Executing security controls
6) Security categories
7) Records management process metadata
8) Tracking record movement
b. Hybrid Records
Manajemen elektronik dan non-elektronik record, terdiri atas 2 format file yakni hybrid file dan hybrid rekod
c. Retensi, migrasi dan disposal

1) Disposition authorities
2) Migration, export and destruction
3) Retention and disposal untuk record elektronik dan non-elektronik
3. Disseminate
Search, retrieve dan render
1) Rendering: displaying records
2) Rendering: printing
3) Rendering: redacting records
4) Rendering: other
5) Rendering: re-purposing content
4. AdministerFungsi administratif
1) Administrator function
2) Metadata administration
3) Reporting
4) Back-up and recovery

Untuk memahami persyaratan fungsional kearsipan Guidelines and Functional Requirements for Electronic Records Management Systems, disini penulis akan ambil contoh e-government yang telah menerapkan kearsipan elektronik di Kementerian Komunikasi dan Informasi Republik Indonesia dengan Sistem E-Record Management disingkat ERM.
Kementerian Komunikasi dan Informasi telah menyediakan panduan umum Sistem Manajemen Dokumen ERM bagi lembaga dalam merencanakan pembangunan sistem aplikasi. Pengembangan aplikasi ERM, Kementerian Komunikasi dan Informasi Republik Indonesia melaksanakan secara harmonis dengan mengoptimalkan hubungan inisitaif masing-masing di dalam lembaga. Pendekatan ini diperlukan untuk mensinergikan 2 kepentingan, yakni (1) kepentingan pelayanan public yang diperlukan masyarakat dan (2) kepentingan untuk penataan sistem manajemen kearsipan elektronik dengan proses kerja terpadu.

Registrasi Dokumen
Untuk menjamin kelangsungan dokumen elektronik agar dapat digunakan dalam jangka waktu yang lama, diperlukan sebuah prosedur registrasi dokumen dan record yang diimplementasikan untuk mengelola setiap e-record sepanjang siklus hidupnya dari mulai pembuatan sampai pemusnahannya. Proses registrasi sangat penting dalam pengelolaan e-record, agar semua informasi dapat dipelihara dan dikelola terus-menerus dan dokumen akan ter-link ke dokumen lain, gambar, grafik, suara dan lain-lain. Prosedur registrasi yang baik minimal harus mampu :
1. Mengidentifikasi asal (originator) dari sebuah rekod
2. Mengidentifikasi pemilik (owner) atau manajer dari sebuah rekod
3. Selalu mencatat riwayat hidup sebuah rekod dari mulai rekod tersebut dibuat dan terakhir dimodifikasi, untuk setiap versi dari sebuah rekod
4. Menentukan status sebuah record seperti draft, final, dst. untuk setiap versi dari rekod tersebut
5. Mengidentifikasi komponen-komponen dari rekod yang disimpan dan dikelola dalam rekod yang terpisah, termasuk relasi antar komponen-komponen tersebut
6. Mengidentifikasi setiap header record ataupun template yang bersesuaian dengan suatu rekod
7. Menjamin bahwa konteks yang dimiliki oleh sebuah rekod dan relasinya dengan rekod lain yang dalam satu konteks selalu terjaga
8. Menjamin bahwa setiap rekod memiliki judul yang bermakna dan dijelaskan dalam konteksnya, serta diklasifikasikan berdasarkan kategori tertentu yang disepakati
9. Mengelola keamanan dari setiap rekod dengan berdasar pada kebijakan organisasi dan hak ases untuk semua tipe rekod seperti personal, grup, lembaga, public, arsip, dst.
10. Menjamin bahwa semua record disimpan dan dapat dipertukarkan menggunakan standar yang dapat diterima luas, seperti XML serta format yang sesuai untuk rekod tersebut.

Untuk itu pada setiap record minimal perlu ditambahkan atribut-atribut seperti dalam tabel di bawah, yang mampu memastikan :
1. Setiap rekod selalu terkelola dengan baik
2. Setiap rekod dapat diakses oleh pengguna yang berhak dengan mudah dan cepat
3. Konteks dimana sebuah rekod dibuat dan digunakan dapat dipahami.
4. Informasi yang wajib tersedia setiap saat di konten rekod elektronik.
Rekod elektronik yang baik mempunyai identitas institusi, misalkan Kementerian Komunikasi dan Informasi Republik Indonesia menampilkan konten tetap sebagai identitas lembaga dalam arsip elektronik, diantaranya:
a. Nama Instansi, yaitu nama dari pihak yang membuat rekod tersebut. Untuk surat biasanya mempunyai dua nama yaitu nama organisasi yang mengeluarkan surat dan nama orang yang bertanggung jawab terhadap surat itu.
b. Nomor, yaitu nomor dari arsip tersebut. Setiap dokumen resmi akan mempunyai nomor. Nomor ini antara lain menunjukkan nomor penerbitan dari arsip tersebut. Contoh: nomor surat.
c. Judul/Perihal/Subyek, yaitu identitas yang menunjukan masalah atau urusan yang terkandung dalam arsip tersebut.
d. Tanggal, yaitu tanggal pembuatan atau penerbitan rekod
e. Tempat, yaitu menunjukkan tempat dimana rekod tersebut dibuat atau diterbitkan.
f. Terkecuali informasi yang tidak boleh diungkap oleh Undang-Undang

Pengarsipan dokumen elektronik perlu dikelola secara elektronik untuk mendapatkan manfaat yang maksimal, antara lain :
1. Pengumpulan informasi yang lebih baik, konsisten dan mudah dicari kembali;
2. Memudahkan penggunaan dokumen secara bersama antar unit organisasi dalam lembaga pemerintah; memudahkan penyusunan informasi organisasi secara terstruktur;
3. Memudahkan pengambilan keputusan yang lebih cepat dan akurat;
4. Meningkatkan kualitas layanan publik;
5. Mengelola informasi sebagai suatu aset yang tumbuh dan berkembang;
6. Lebih responsif pada perubahan.


E. Isu – isu legal yang mempengaruhi Pengelolaan Rekod Elektronik
Dalam masa hidupnya, rekod memiliki siklus hidup yang lebih kompleks dari sumber informasi lainnya. Hal ini dikarenakan siklus hidup rekod berdasarkan pada nilai dan penggunaan (value & use). Siklus hidup rekod meluas dari saat ia diciptakan apapun bentuknya hingga tiba masanya untuk dimusnahkan. Secara sederhana Penn menyatakan bahwa siklus hidup rekod terdiri atas born (creation phase), lives (maintenance and use phase) dan dies (disposition phase). Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pengelolaan rekod elektronik, diantaranya adalah:
1. Rekod apa yang disimpan?
Dalam makalah ini mencontohkan jenis-jenis rekod elektronik yang tersimpan di web Arsip universitas Gadjah Mada, antara lain sebagai berikut :
a. Kebijakan universitas dan prosedur
b. Komite universitas dan makalah konferensi
c. Dokumen struktur dan organisasi
d. Strategi perencanaan operasional universitas
e. Program universitas
f. Laporan, misi dan audit dokumen
g. Pedoman yang ada Fakultas
h. Paper ujian
i. Kebijakan pemberian beasiswa dan penghargaan dilingkugan universitas
j. Riset dan publikasi
k. Consolidated annual reports.
l. Industrian dan perjanjian
m. Kegiatan kerjasama antar lembaga
n. Control records, misalnya indeksing dan katalog
o. Terbitan University media releases.
p. Terbitan artikel dan terbitan universitas
q. Addresses and presentations.
r. Kegiatan ulangtahun universitas dan tamu universitas
s. Peta Universitas

2. Berapa lama rekod akan disimpan?
Dalam menentukan retensi rekod, manajer rekod harus bekerja sama dengan stafnya dan para ahli agar dapat dihasilkan keputusan yang tepat. Apakah rekod itu akan disimpan dalam waktu lama atau disimpan berdasarkan ketentuan undang-undang. Akan ada negoisasi antara manajer dan staf dalam menentukan periode retensi tersebut. Ketika keputusan periode retensi itu dicapai, manajer rekod harus meyakinkan unit bisnis dan manajer fungsional terkait untuk menaati peraturan itu.
Kriteria Penilaian arsip
Nilai guna rekod adalah nilai guna rekod yang didasarkan pada kegunaan bagi kepentingan pengguna rekod.
a. Nilai guna Primer (Primary values)
Arsip yang penilaiannya didasarkan pada kegunaan dan kepentingan instansi pencipta arsip. Dasar penilaian tidak saja kegunaan dan kepentingan dalam menunjang pelaksanaan kegiatan organisasi yang sedang berlangsung dan kepentingan masa yang akan datang.
b. Nilai guna Sekunder (Secondary Values)
Arsip yang penilaiannya didasarkan pada kepentingan organisasi lain atau kepentingan umum sebagai bahan bukti pertanggungjawaban nasional.
Untuk menentukan criteria penilaian rekod dibutuhkan alat penilaian rekod, diantaranya adalah (1) Survey rekod, (2) Inventory rekod dan (3) Jadwal Retensi Arsip. Jadwal retensi arsip yang selanjutnya disingkat JRA adalah daftar yang berisi sekurang-kurangnya jangka waktu penyimpanan atau retensi, jenis arsip, dan keterangan yang berisi rekomendasi tentang penetapan suatu jenis arsip dimusnahkan, dinilai kembali, atau dipermanenkan yang dipergunakan sebagai pedoman penyusutan dan penyelamatan arsip (UU No. 43 tahun 2009).

3. Format/media apakah yang boleh digunakan?
Program penyimpanan rekod sebaiknya dapat menangani semua jenis media rekod, menyediakan tempat yang sesuai untuk semua jenis media rekod, memungkinkan keamanan yang lengkap, dan menyediakan untuk layanan rujukan yang lengkap. Setiap rekod elektronik memiliki spesifikasi besaran berkasnya, hingga alat yang digunakan ruang simpan, misalnya sebagai berikut:
1) Berkas rekam dari kamera foto digital disimpan sebagai ekstensi .RAW 600dpi
2) Berkas rekam dari kamera video digital disimpan sebagai ekstensi .MPEG PAL 726x576
3) Berkas rekam berupa audio disimpan sebagai ekstensi .FLAC
4) Berkas rekam yang diperoleh dari hasil scan kertas disimpan sebagai ekstensi .PDF 300dpi
Ada beberapa media yang dapat dipertimbangkan untuk digunakan sebagai penyimpan data dan informasi sesuai dengan perkembangan teknologi, diantaranya:
a. Pita magnetik merupakan media penyimpan yang terbuat dari bahan magnetik yang dilapiskan pada plastik tipis, seperti pita pada pita kaset. Pita magnetik dibedakan atas dua macam yaitu (1) reel tape dan (2) catridge tape. Reel tape merupakan pita magnetik yang digulung dalam wadah berbentuk lingkaran sedangkan catridge tape berbentuk seperti kaset video dan audio.

b. Piringan magentik yaitu (1) disk permanen yang lebih dikenal dengan hard disk dan (2) disk fleksibel yang disebut floppy disk atau disket.
c. Piringan optik merupakan piringan yang dapat menampung data hingga ratusan atau bahkan ribuan kali dibandingkan disket. Piringan optik dapat berupa (1) CD (Compact Disc), (2) DVD (Digital Video Disc) dan (3) Blue Ray.

Saving data to CD or DVD
d. UFD (USB Flash Disc) adalah piranti penyimpanan data yang berbentuk seperti pena dimana cara pemakaiannya dengan menghubungkan ke port USB. Menurut klaim produsen, alat ini mampu merekam 1 juta kali dan tahan disimpan sampai 10 tahun.

USB Flash Disk

e. Kartu memori (memory card) yaitu jenis penyimpanan seperti plastic tipis yang biasa digunakan pada PDA, kamera digital, ponsel, maupun handy came. Saat ini terdapat jenis yang beragam kartu memori seperti compact flash, Multimedia Card (MMC), smart card, memory stick, memory stick duo, Secure Digital card (SD Card), mini secure digital.

Multimedia MMC

4. Bagaimana memusnahkan rekod?
Prosedur dan teknik memusnahkan rekod secara garis besar dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu berdasarkan Jadwal Retensi Arsip (JRA) dan Nilai Guna Arsip, ini berdasarkan Surat Edaran Kepala Arsip RI Nomor SE/01/1981 Tentang Penanganan Arsip Inaktip Sebagai Pelaksana Ketentuan Peralian Peraturan Pemerintah Tentang Penyusutan Arsip.
Penghapusan dokumen elektronik perlu diatur secara khusus, mengingat masih akan meninggalkan jejak-jejak digital yang mungkin didapatkan kembali. Pemusnahan bisa dilakukan dengan format ulang, degaussing, partisi atau menata ulang susunan magnet pada hard disk, dan terkahir adalah pemusnahan secara fisik pada media penyimpananya, jadi tidak bisa dilakukan hanya proses delete. Dapat digambarkan penyusutan arsip elektronik, sebagai berikut: terhadap dokumen elektronik yang disimpan dalam media optik (CD-ROM, DVD, dan sebagainya), pemusnahan dilakukan dengan cara menghancurkan media penyimpanan secara fisik. Pemusnahan hendaknya dilakukan secara total, termasuk pemusnahan duplikat yang disimpan dalam media backup, maupun tempat penyimpanan lainnya.
Setelah mendapatkan persetujuan penyusutan, maka unit kearsipan wajib melaksanakan penyusutan dilengkapi dengan keterangan yang berisi rekomendasi tentang penetapan suatu jenis arsip dimusnahkan, dinilai kembali atau dipermanenkan yang dipergunakan sebagai pedoman penyusutan dan penyelamatan dan di tandatangani oleh petugas.

Contoh Berita Acara Penyusutan Arsip

ARSIP UNIVERSITAS “X”
BERITA ACARA REKOD DISPOSAL


Biro/Lembaga/Unit/Fakultas : ………………………………………………………………
Tanggal Disposal : ………………………………………………………………
Judul Rekod : ………………………………………………………………


Metode Disposal:
a. Musnah
b. Permanen

Saya menyatakan bahwa disposal ini dilaksanakan oleh Arsip Univrsitas “X”. Jadwal Retensi Rekod dilaksanakan pada tanggal ……………………

Kepala Arsip univeristas “X”




___________________________
NIP.

F. Arsip Elektronik Sebagai Alat Bukti
Pengakuan arsip elektronik di Indonesia menurut Fuad Gani, didasarkan pada kasus per kasus. Artinya ketika rekanan bisnis atau pengadilan mengetahui dan mengakui bahwa sistem manjemen arsip yang dimiliki oleh organisasi yang bersangkutan sudah baik dan dijalankan dengan penuh tanggung jawab, disiplin dan konsisten, maka tidak ada keraguan untuk mengakui arsip elektronik sebagai alat bukti yang sah.
Hal ini diperkuat dengan adanya Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik pasal 5 yang menyatakan bahwa:
(1) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah.
(2) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia.
(3) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dinyatakan sah apabila menggunakan Sistem Elektronik sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini.
Terkecuali :
a. Surat yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk tertulis
b. Surat beserta dokumennya yang menurut Undang-Undang harus dibuat akta notariil atau akta yang dibuat pejabat pembuat akta.
Dan ditegaskan dalam pasal 6, bahwa informasi elektronik dan atau dokumen elektronik dianggap sah sepanjang informasi yang tercantum didalamnya dapat diakses, ditampilkan, dijamin keutuhannya dan dapat dipertanggungjawabkan sehingga menerangkan suatu keadaaan. Dengan diakuinya rekod elektronik sebagai dokumen legal, maka rekod elektronik dapat dijadikan bukti secara eksplisit.

DAFTAR PUSTAKA

ANRI. 1981. Surat Edaran Nomor: SE/01/1981 tentang Penanganan Arsip Inaktif sebagai Pelaksanaan Ketentuan Peralihan Peraturan Pemerintah tentang Penyusutan Arsip
David O. Stephens. 2003. Electronic Records Retention, New Strategis for Data Life Cycle Management. Kansas : ARMA International
Fuad Gani. 2005. Masalah Sekitar Arsip Elektronik dalam Jurnal Ilmu Informasi, Perpustakaan dan Kearsipan Vol. 1 N0. 2, Juni 2005. Depok: Universitas Indonesia
International Standards Organization. 2001. ISO 15489-1. Information and Documentation-Records Management, Part 1: General. Geneva: International Standards Organization.
International Standards Organization. 2001. ISO 15489-2. Information and Documentation-Records Management, Part 2: Guidelines Pratique. Geneva: International Standards Organization.
Ira A. Penn. Records Management Hand Book
Jay Kennedy. 1998. Records Management : a guide to corporate record keeping. 2nd.ed. Melbourne: Addison Wesley Longman.
Julie McLeod and Chaterine Here. 2005. Managing Electronic Records. London, UK: Facet Publishing
KEMENKOINFO. 2003. Panduan Manajemen Sistem Dokumen Elektronik Versi 1.0
Machmoed Effendhie. 2007. Program University Archives UGM: Desain, Implementasi, Tantangan Sekarang dan Mendatang. Diakses tanggal 29 Desember 2010.http://www.arsipjatim.go.id/web/ARSIP/WebContent/web/berita/efendy%20naskah.pdf
Muhammad Rosyid Budiman. 2009. Dasar Pengelolaan Arsip Elektronik. Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah Provinsi DIY. Diakses tanggal 29 Desember 2010. http://www.arsipjogjaprov.info/archieve/artikel/ROSYID.DasarPengelolaan.pdf
Republik Indonesia. 1999. Peraturan Pemerintah Nomor 88 tahun 1999, Tentang Tata Cara Pengalihan Dokumen Perusahaan ke dalam Microfilm atau media lainnya dan Legalisasi
Republik Indonesia. 2008. Undang-Undang Republika Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
Republik Indonesia. 2009. Undang-Undang Republika Indonesia Nomor 43 Tahun 2009 Tentang Kearsipan
William Saffady. 2004. Records and Information Management : Fundamentals Practice. Kansas : ARMA International